Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERANG memang tak selalu memerlukan pemberitahuan sebelumya. Itulah yang terjadi antara Iran dan Irak. Permusuhan kedua negara itu, selama ini berlangsung secara diam-diam, akhirnya mencapai klimaks. Tanpa mengumumkan perang, Irak mengebom lapangan terbang Mehrabad, Teheran, awal pekan lalu. Dan sejak hari itu puluhan pesawat tempur menerobos perbatasan kedua negara, dan saling menjatuhkan bom dan peluru meriam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tindakan Irak ini tampak sejalan dengan sumpah Presiden Saddam Hussein yang berjanji akan merebut kembali wilayah Irak yang diduduki Iran sejak letusan tahun yang lalu (TEMPO, 27 September). Dan pada hari keempat setelah pecahnya perang itu, Irak dikabarkan telah menduduki Khorramshahr, kota pelabuhan yang terletak dekat kompleks penyulingan minyak Abadan. Sementara itu Abadan--satu di antara tempat penyulingan minyak yang terbesar di dunia--dikabarkan terbakar.
Menurut laporan, tentara Irak sudah berada sekitar 15 km dari wilayah itu dan bersiap-siap untuk merebutnya. Tapi menurut seorang konsul Jepang di Khorrmshahr, pekan lalu, kota itu masih belum berhasil direbut Irak. Hal yang sama juga dikemukakan sumber diplomat Barat di Baghdad. Sasaran utama kedua belah pihak, selain instalasi minyak, juga pangkalan militer.
Pesawat jet Iran dikabarkan telah mengebom pabrik gas bumi di Ain Zala--wilayah perbatasan Irak-Suriah--serta ibukota Irak, Baghdad. Serangan itu dibalas Irak dengan menembaki terminal minyak Iran di Pulau Khar, dan menghancurkan beberapa pangkalan militer. Perang Iran-lrak ini amat mengkhawatirkan dunia. Efek sengketa bisa mengganggu arus lalu lintas minyak di Selat Hormuz--selama ini digunakan untuk menyalurkan lebih dari seperempat hasil minyak dunia. Dan juga merupakan jalan masuk ke Teluk Persia.
Itulah makanya Presiden Jimmy Carter pagi-pagi telah mengimbau Soviet untuk tidak campur tangan dalam pertikaian kedua negara itu. Carter juga telah mengusulkan suatu pertemuan antara negara industri untuk membahas cara-cara yang bisa ditempuh dalam menjamin keselamatan pelayaran di Selat Hormuz. Dan ia telah menulis surat kepada kepala pemerintahan Inggris, Jerman Barat, Prancis, Italia, dan Jepang.
Tapi di Bonn, Kanselir Jerman Barat Helmut Schmidt mengatakan bahwa usaha untuk menjamin keselamatan pelayaran itu belum perlu. "Sebegitu jauh belum terlihat adanya ancaman militer yang akan mengganggu kelangsungan pelayaran di selat itu," kata Schmidt.
Dalam perang kali ini Iran benar-benar sendirian. Dari Yordania, Raja Hussein mengimbau dunia Arab untuk menghukum Irak. Ajakan itu dicabut oleh Raja Hassan II dari Maroko. Ia menyatakan bahwa Maroko, "sepenuhnya siap untuk mengirimkan bantuan militer ke Irak." Raja Khaled dari Arab Saudi, walau tidak menyebut soal bantuan militer, mengatakan berdiri sepenuhnya di belakang Irak dalam menghadapi konflik dengan bangsa Persia yang merupakan musuh bangsa Arab.
Demi Perjuangan Melawan Israel
Di samping itu ada juga negara Arab yang mengimbau dihentikannya peperangan itu. Imbauan ini dikemukakan oleh pemimpin Libya, Kolonel Moamar Khaddafi. Alasannya: demi perjuangan melawan Israel. Beberapa negara Teluk Persia, juga menghimbau agar peperangan itu dihentikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mesir lain lagi. Presiden Anwar Sadat sejak menandatangani perjanjian perdamaian dengan Israel diasingkan dari pergaulan negara Arab, mengatakan bahwa konflik ini merupakan kesempatan baik untuk menggulingkan Ayatullah Khomeini, maupun Saddam Hussein. Ia juga mengingatkan sekutunya, AS, agar tidak menyia-nyiakan waktu dalam memanfaatkan kesempatan ini. "Demi Tuhan, jangan berikan kesempatan emas ini kepada Soviet yang selamanya mengambil keuntungan tanpa risiko," kata Sadat.
Dukungan terhadap Iran baru terdengar dari Aljazair. Presiden Aljazair Chadli Bendjedid dalam pembicaraan telepon dengan Presiden Abollmssan Bani Sadr, telah menyampaikan dukungannya pada Iran. PM Iran Mohammad Ali Rajai menolak usul Organisasi Konperensi Islam (OIC) yang bermaksud menengahi komflik Iran-lrak itu. "Kami tidak bersedia menerima delegasi jasa baik dari mana pun," katanya.
Selepas pernyataan Rajai itu, OIC langsung membatalkan pengiriman delegasi yang semula akan dipimpin Presiden Pakistan Zia ul-Haq. Itulah makanya kunjungan Presiden Zia ke Teheran pekan lalu, tanpa disertai anggota delegasi. Tapi Irak siap untuk menerima kehadiran penengah. Dalam jumpa pers di Baghdad, PM Saadoun Hammadi mengatakan bahwa pemerintahan menghargai usul internasional untuk mengakhiri perang dengan Iran.
Hanya, isyarat yang diberikan Irak ini menimbulkan tanda tanya, terutama di kalangan pengamat militer. Soalnya, Irak sedang menghadapi kesulitan dalam memenuhi kebutuhan militernya. Sedang Soviet yang selama ini merupakan pensuplai keperluan tidak lagi mengirimkan tambahan baru. Soviet paling tidak ingin menunjukkan bahwa ia berada di luar konflik ini. Kapan perang ini berakhir sukar diperkirakan. Apalagi Saddam Hussein sah bersumpah. Kecuali sumpah itu sekadar gertak.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Dan Iran Pun Sendirian"