JAM 21.00 malam, lima belas tahun yang lalu, 22 November 1965,
Aidit tertangkap. Ketua Umun PKI ini ditemui bersembunyi di
suatu ruangan rahasia yang sempit yang terletak di antara dua
dinding papan dan tertutup sebuah lemari. Persembunyian ini
terletak di rumah seorang pensiunan pegawai PJKA, seorang
anggota PKI di Desa Samben, pinggiran Kota Sala.
Apa yang terjadi kemudian tidak jelas. Yang pasti: Aidit
kemudian ditembak mati. Namun kejadian di seputar kematiannya
tidak pernah diungkapkan. Di mana ia dikuburkan? Betulkah ia
membuat pengakuan sebelum meningal?
Beberapa pertanyaan itu mungkin tidak akan pernah terjawab. Dan
rupanya orang juga tidak ribut mempersoalkannya. Tapi pengakuan
para tokoh PKI yang tertangkap umumnya menuding Aidit --
dibantu Ketua Biro Khusus PKI Sjam alias Kamaruzzaman -- sebagai
otak utama Gerakan 30 September.
Hanya sehari setelah gerakan ini dilancarkan, Aidit melarikan
diri ke Jawa. Tengah. Ia mendarat di Yogyakarta, 2 Oktober 1965
jam 02.00. Ia naik pesawat terbang -- khusus disediakan Omar
Dhani, Panglima AU waktu itu.
Aidit tampaknya sadar, usaha perebutan kekuasaan yang
didalamnya telah gagal. Semua rencananya berantakan. Presiden
Soekarno -- yang ia andalkan sebagai sandaran utamanya -- tak
kunjung mengeluarkan pernyataan mendukung G30S. Sementara itu
Angkatan Darat, di bawah komando Panglima Kostrad Mayjen
Soeharto, mulai menyusun kekuatan. Saat itu dikabarkan: Soeharto
akan menyerbu wilayah sekitar lapangan udara Halim
Perdanakusuma di Jakarta bagian timur, yang diduga menjadi
pusat kekuatn para pemberontak.
Dan Aidit pun memilih menyingkir. Di Jawa Tengah ia sempat
bergerak di bawah tanah. Sekitar 50 hari. Namun usaha perlawanan
yang disusunnya, terutama di daerah Sala, Boyolali dan Klaten,
dipatahkan ABRI. Dalam waktu 3 minggu, praktis seluruh kekuatan
PKI berhasil dilumpuhkan.
Di banyak daerah lain kehancuran PKI lebih cepat. Tanpa adanya
instruksi yang jelas, para anggota partai yang terkenal
berorganisasi rapi itu kebingungan. Banyak cabang yang kemudian
membubarkan diri.
Sehari setelah dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966, PKI
dibubarkan Pangkopkamtib Jenderal Soeharto -- yang disambut
gembira oleh masyarakat.
Hancurnya PKI dalam waktu singkat mencengangkan banyak orang.
Bagaimana mungkin partai yang konon punya pengikut sekitar 20
juta itu bisa "habis" dalam waktu yang begitu pendek?
DI tahun 1965, PKI memang telah tumbuh jadi kekuatan yang
begitu mengesankan, hingga banyak yang meramalkan dalam waktu
singkat Indonesia akan jadi negara komunis. Waktu itu hanya
Angkatan Darat yang dianggap punya kekuatan yang bisa
mengimbangi PKI, tapi sudah ada tanda, bahwa angkatan bersenjata
umumnya, juga AD sendiri, sudah disusupi.
Kemajuan PKI memang menyolok, hanya beberapa tahun setelah
peristiwa Madiun 1948, ketika PKI berontak dan dipukul oleh
pemerintah dalam pertikaian senjata. Kebangunan kembali PKI
dimulai tahun 1951 tatkala Aidit dkk. mengambil alih pimpinan
PKI. Mereka membentuk suatu politbiro baru. Semuanya orang muda.
Aidit wakm itu berusia 27 tahun, M.H. Lukman 30 tahun, Sudisman
30 tahun dan yang termuda Nyoto, 25 tahun.
Sejak 1951 itu PKI mengambil taktik membina front persatuan
nasional dari atas. Artinya, bekerjasama dengan "kekuatan
borjuis", selama kekuatan buruh dan tani masih lemah. PKI juga
beruntung. Peristiwa Madiun praktis tak sempat diungkit lagi,
karena segera sesudah itu negara harus menghadapi serbuan
Belanda.
Taktik PKI ternyata berhasil. Bila pada awal 1952 jumlah anggota
partainya 7.910, pada 1954 jumlahnya melonjak jadi lebih dari
165.000. Pada Pemilu 1955 PKI memperoleh lebih dari 6 juta
suara -- atau 16,4, dan menduduki tempat ke empat. Dengan
bersandar pada Bung Karno dan memanfaatkan tiap kesempatan, PKl
tumbuh makin cepat. Agustus 1965, Aidit dengan bangga
mengumumkan jumlah anggota PKI yang terdaftar meliputi 3,5
juta, sedang jumlah anggota berbagai organisasi yang berafiliasi
pada PKI lebih dari 20 juta. PKI merupakan partai komunis
terbesar di luar negeri komunis.
Tapi beberapa petunjuk memperlihatkan bahwa cara penyusunan
kekuatan seperti itu bukan satu-satunya jalan. Secara diam-diam
rupanya dipersiapkan juga alternatif lain. Garis ini disebut
Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan (MKTBP) yang secara
resminya dirumuskan tahun 1955. Menurut Buku Putih Kopkamtib,
MKTBP meliputi: perjuangan gerilya di desa yang pelakunya
terdiri dari kaum buruh tani dan tani miskin.
Kedua, perjuangan revolusioner oleh kaum buruh di kota-kota,
terutama oleh kaum buruh transpor. Dan yang ketiga, pekerjaan
yang intensif di kalangan kekuatan bersenjata (ABRI). Yang
terakhir ini sangat dirahasiakan dan dilaksanakan oleh Biro
Khusus -- sebuah biro yang secara resmi dibentuk pada 1964 dan
semula bernama Biro Penghubung.
Penyusupan Biro Khusus dalam tubuh ABRI dimulai sejak 1959. Yang
"dibina" adalah para anggota ABRI bekas Pesindo, Biro Perjuangan
dan organisasi perjuangan lain yang pada zaman revolusi
kemerdekaan merupakan kekuatan bersenjata PKI.
Setelah kegagalan G30S, banyak pertanyaan timbul. Mengapa
pimpinan PKI memilih akhir September itu untuk mencetuskan
gerakan? Yakinkah Aidit bahwa kekuatan PKI sudah siap untuk
menghadapi ABRI? Tidakkah Aidit menganggap kekuatan PKI terlalu
tinggi?
Berbagai kritik dilancarkan ke alamat Aidit oleh sisa-sisa PKI
setelah kegagalan G30S. Ia dianggap terlalu mengabaikan
organisasi PKI dalam melancarkan kup. Untuk menjaga kerahasiaan,
para pimpinan PKI baru diberi briefing beberapa hari sebelum
kup.
Dalam otokritiknya pada 1966, Sudisman mengecam pimpinan PKI
maksudnya Aidit -- yang melakukan langkah "avonturir", artinya
melanggar garis organisasi, dengan melibatkan diri aalam suatu
gerakan yang tidak didasarkan pada keyakinan tinggi massa.
Dikecamnya juga adanya kekuasaan Aidit yang bisa membentuk suatu
Biro Khusus dan berada di luar kontrol Politbiro dan Komite
Sentral.
Yang juga dikritik adalah ketergantungan PKI pada Bung Karno.
PKI juga terlalu membiarkan diri terhanyut oleh ideologi yang
dirumuskan Sukarno. Partai jadi menyeleweng dari garis. Namun
kecaman paling pedas ditujukan "teori dua aspek" Aidit yang
percaya bahwa suatu kekuasaan rakyat bisa dicapai "secara
damai". Maksudnya: apa pun yang disiapkan Aidit, tak ada
penggalangan yang serius untuk suatu perang grilya.
Tapi kenapa kemudian berubah mendadak? Ada anggapan, sakitnya
Presiden Sukarno pada awal Agustus 1965 menyebabkan Aidit
buru-buru bertindak. Aidit yang pada waktu itu sedang
mengunjungi beberapa negara antara lain RRC, buru-buru pulang
setelah mendengar keadaan Bung Karno. Konon Aidit memutuskan
bergerak dahulu - sebelum didahului oleh Angkatan Darat yang
dianggapnya akan memukul PKI bila Bung Karno meninggal.
Sampai seberapa jauh kebenaran teori-teori itu? Ada beberapa
faktor lain yang patut juga diperhitungkan. Menurut sebuah
sumber, salah satu cerita yang diketahui orang-orang penting
partai mengatakan bahwa bukan Bung Karno yang sakit, tapi Aidit
sendiri. Djalam kunjungannya yang terakhir ke RRC itu, Aidit
memeriksakan kesehatannya. Ini suatu hal yang rutin. Para tokoh
PKI waktu itu umumnya selalu memeriksakan kesehatannya setiap
kali mengunjungi RRC. Tapi kabarnya dalam pemeriksaan terakhir
itu diketahui Aidit menderita tumor otak yang tak tersembuhkan.
Dalam cerita ini, Aidit diduga akan bisa bertahan paling empat
tahun lagi.
Apakah faktor ini yang menyebabkan Aidit buru-buru melancarkan
kup? Atau, mungkinkah RRC -- lewat dokter-dokternya - berusaha
mendorong Aidit mempercepat "revolusi proletar Indonesia"?
Dalam satu laporan CIA, RRC tak diketahui terlibat. Tapi Beijing
memang menghendaki PKI secara cepat menentukan untuk memilih
Uni Soviet atau RRC, dan untuk itu kalau perlu pecah. Apakah
desakan ini mempengaruhi Aidit, tak jelas. Namun ada dugaan
Presiden Liu Shaoqi membantu garis keras PKI, bahkan mungkin
dengan mengirim senjata.
Pimpinan PKI memang tidak seutuh seperti yang dikesankan.
Beberapa penulis asing, seperti Rex Mortimer pernah menyinggung
masalah ini, misalnya mengenai pertentangan sengit antara Nyoto
dan Oloan Hutapea. Namun yang terjadi rupanya lebih jauh dari
itu.
Central Comite (CC) PKI paling tidak terpecah dalam tiga blok.
Pertama, kelompok Aidit yang didukung oleh Sudisman dan Hutapea.
Mereka merupakan yang terkuat dan dengan kekuasaannya bisa
melakukan tindakan disiplin.
Kelompok kedua berakar di Jawa Barat, dipimpin oleh Ketua CDB
(Comite Daerah Besar) Ja-Bar Ismail Bakri. Kelompok ini
menentang jalan damai yang dianut Aidit, dan lebih, menyetujui
perjuangan bersenjata. Grup ini telah menyiapkan kekuatan
bersenjata di Ja-Bar, terutama di perkebuan-perkebunan. Menurut
"Buku Putih", PKI memang telah menyiapkan daerah Sukabumi
Selatan, di samping Blitar Selatan dan Merbabu Merapi Kompleks
(dulu MMC) sebagai basis perjuangan bersenjata jangka panjang.
Dalam perkembangan kemudian, kelompok ini dapat dukungan dari
Jawa Timur dan Kalimantan.
Kelompok ketiga adalah kelompok Nyoto, Wakil Ketua II CC PKI,
anggota Politbiro dan Kepala Departemen Agitasi dan Propaganda.
Yang bisa dimasukkan dalam kelompok ini kebanyakan seniman
anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), yang dekat dengan
Nyoto.
AGAKNYA yang paling ditakuti Aidit adalah kelompok kedua.
Sekitar 1965 sudah beredar desas-desus kemungkinan adanya
"pemisahan diri" dari kelompok ini. Bahkan dikabarkan kelompok
ini akan "mendahului" Aidit, dengan mengambil alih pimpinan
partai.
Faktor inikah yang turut mendorong Aidit untuk cepat-cepat
melancarkan gerakannya, sebelum didahului kelompok Jawa Barat
ini Aidit sendiri seperti terombang-ambing antara bersandar
pada Bung Karno -- sebagai ganjalan jika berhadapan dengan ABRI
-- dan niat mengejar ketinggalan dalam menghadapi perjuangan
bersenjata. Mungkin itulah sebabnya ia pertengahan 1965
mengusulkan dibentuknya "Angkatan Ke-5", di samping Angkatan
Darat, Udara, Laut dan Kepolisian. Usul ini ditolak keras oleh
AD - yang sudah mencium bau.
Toh di tengah perpecahan dan kebingungan itu Aidit diketahui
sejak 1963 menggeser lawan-lawannya di dalam partai. Beberapa
tokoh dikirim ke luar negeri, termasuk anggota Politbiro Jusuf
Adjitorop yang dikirim ke Beijing sebagai Ketua Delegasi CC PKI.
Kelompok Nyoto tak memiliki kekuatan fisik. Para seniman dan
intelektual ini dijadikan bulan-bulanan. Gampang diejek
"burjuis" dan dicopot dari posisi. Lekra di hari-hari terakhir
malah mulai dicoba dibereskan. Yang mengkhawatirkan Aidit
agaknya, Nyoto makin dekat dengan Bung Karno.
Tokoh ini mungkin bisa dekat dengan Bung Karno karena keduanya
punya banyak persamaan suka membaca, suka bergurau, dan makan
enak. Ia bahkan turut menyusun berbagai pidato Bung Karno,
termasuk pidato 17 Agustus 1965. Sekitar 1965, malah ada kabar
Bung Karno ingin "menarik" Nyoto untuk membentuk suatu partai
aksi massa yang baru yang lebih sesuai dengan kehendak Bung
Karno.
Benarkah beberapa faktor itu turut berperan pada 1965? Belum
pasti. Yang ada pada sejarah barulah yang tercatat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini