Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mengapa Aidit Memilih 30 September?

Timbulnya berbagai pertanyaan, faktor apa yang menyebabkan aidit buru-buru melancarkan pemberontakan. karena perpecahan dalam tubuh PKI atau karena aidit mengidap tumor otak.

4 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAM 21.00 malam, lima belas tahun yang lalu, 22 November 1965, Aidit tertangkap. Ketua Umun PKI ini ditemui bersembunyi di suatu ruangan rahasia yang sempit yang terletak di antara dua dinding papan dan tertutup sebuah lemari. Persembunyian ini terletak di rumah seorang pensiunan pegawai PJKA, seorang anggota PKI di Desa Samben, pinggiran Kota Sala. Apa yang terjadi kemudian tidak jelas. Yang pasti: Aidit kemudian ditembak mati. Namun kejadian di seputar kematiannya tidak pernah diungkapkan. Di mana ia dikuburkan? Betulkah ia membuat pengakuan sebelum meningal? Beberapa pertanyaan itu mungkin tidak akan pernah terjawab. Dan rupanya orang juga tidak ribut mempersoalkannya. Tapi pengakuan para tokoh PKI yang tertangkap umumnya menuding Aidit -- dibantu Ketua Biro Khusus PKI Sjam alias Kamaruzzaman -- sebagai otak utama Gerakan 30 September. Hanya sehari setelah gerakan ini dilancarkan, Aidit melarikan diri ke Jawa. Tengah. Ia mendarat di Yogyakarta, 2 Oktober 1965 jam 02.00. Ia naik pesawat terbang -- khusus disediakan Omar Dhani, Panglima AU waktu itu. Aidit tampaknya sadar, usaha perebutan kekuasaan yang didalamnya telah gagal. Semua rencananya berantakan. Presiden Soekarno -- yang ia andalkan sebagai sandaran utamanya -- tak kunjung mengeluarkan pernyataan mendukung G30S. Sementara itu Angkatan Darat, di bawah komando Panglima Kostrad Mayjen Soeharto, mulai menyusun kekuatan. Saat itu dikabarkan: Soeharto akan menyerbu wilayah sekitar lapangan udara Halim Perdanakusuma di Jakarta bagian timur, yang diduga menjadi pusat kekuatn para pemberontak. Dan Aidit pun memilih menyingkir. Di Jawa Tengah ia sempat bergerak di bawah tanah. Sekitar 50 hari. Namun usaha perlawanan yang disusunnya, terutama di daerah Sala, Boyolali dan Klaten, dipatahkan ABRI. Dalam waktu 3 minggu, praktis seluruh kekuatan PKI berhasil dilumpuhkan. Di banyak daerah lain kehancuran PKI lebih cepat. Tanpa adanya instruksi yang jelas, para anggota partai yang terkenal berorganisasi rapi itu kebingungan. Banyak cabang yang kemudian membubarkan diri. Sehari setelah dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966, PKI dibubarkan Pangkopkamtib Jenderal Soeharto -- yang disambut gembira oleh masyarakat. Hancurnya PKI dalam waktu singkat mencengangkan banyak orang. Bagaimana mungkin partai yang konon punya pengikut sekitar 20 juta itu bisa "habis" dalam waktu yang begitu pendek? DI tahun 1965, PKI memang telah tumbuh jadi kekuatan yang begitu mengesankan, hingga banyak yang meramalkan dalam waktu singkat Indonesia akan jadi negara komunis. Waktu itu hanya Angkatan Darat yang dianggap punya kekuatan yang bisa mengimbangi PKI, tapi sudah ada tanda, bahwa angkatan bersenjata umumnya, juga AD sendiri, sudah disusupi. Kemajuan PKI memang menyolok, hanya beberapa tahun setelah peristiwa Madiun 1948, ketika PKI berontak dan dipukul oleh pemerintah dalam pertikaian senjata. Kebangunan kembali PKI dimulai tahun 1951 tatkala Aidit dkk. mengambil alih pimpinan PKI. Mereka membentuk suatu politbiro baru. Semuanya orang muda. Aidit wakm itu berusia 27 tahun, M.H. Lukman 30 tahun, Sudisman 30 tahun dan yang termuda Nyoto, 25 tahun. Sejak 1951 itu PKI mengambil taktik membina front persatuan nasional dari atas. Artinya, bekerjasama dengan "kekuatan borjuis", selama kekuatan buruh dan tani masih lemah. PKI juga beruntung. Peristiwa Madiun praktis tak sempat diungkit lagi, karena segera sesudah itu negara harus menghadapi serbuan Belanda. Taktik PKI ternyata berhasil. Bila pada awal 1952 jumlah anggota partainya 7.910, pada 1954 jumlahnya melonjak jadi lebih dari 165.000. Pada Pemilu 1955 PKI memperoleh lebih dari 6 juta suara -- atau 16,4, dan menduduki tempat ke empat. Dengan bersandar pada Bung Karno dan memanfaatkan tiap kesempatan, PKl tumbuh makin cepat. Agustus 1965, Aidit dengan bangga mengumumkan jumlah anggota PKI yang terdaftar meliputi 3,5 juta, sedang jumlah anggota berbagai organisasi yang berafiliasi pada PKI lebih dari 20 juta. PKI merupakan partai komunis terbesar di luar negeri komunis. Tapi beberapa petunjuk memperlihatkan bahwa cara penyusunan kekuatan seperti itu bukan satu-satunya jalan. Secara diam-diam rupanya dipersiapkan juga alternatif lain. Garis ini disebut Metode Kombinasi Tiga Bentuk Perjuangan (MKTBP) yang secara resminya dirumuskan tahun 1955. Menurut Buku Putih Kopkamtib, MKTBP meliputi: perjuangan gerilya di desa yang pelakunya terdiri dari kaum buruh tani dan tani miskin. Kedua, perjuangan revolusioner oleh kaum buruh di kota-kota, terutama oleh kaum buruh transpor. Dan yang ketiga, pekerjaan yang intensif di kalangan kekuatan bersenjata (ABRI). Yang terakhir ini sangat dirahasiakan dan dilaksanakan oleh Biro Khusus -- sebuah biro yang secara resmi dibentuk pada 1964 dan semula bernama Biro Penghubung. Penyusupan Biro Khusus dalam tubuh ABRI dimulai sejak 1959. Yang "dibina" adalah para anggota ABRI bekas Pesindo, Biro Perjuangan dan organisasi perjuangan lain yang pada zaman revolusi kemerdekaan merupakan kekuatan bersenjata PKI. Setelah kegagalan G30S, banyak pertanyaan timbul. Mengapa pimpinan PKI memilih akhir September itu untuk mencetuskan gerakan? Yakinkah Aidit bahwa kekuatan PKI sudah siap untuk menghadapi ABRI? Tidakkah Aidit menganggap kekuatan PKI terlalu tinggi? Berbagai kritik dilancarkan ke alamat Aidit oleh sisa-sisa PKI setelah kegagalan G30S. Ia dianggap terlalu mengabaikan organisasi PKI dalam melancarkan kup. Untuk menjaga kerahasiaan, para pimpinan PKI baru diberi briefing beberapa hari sebelum kup. Dalam otokritiknya pada 1966, Sudisman mengecam pimpinan PKI maksudnya Aidit -- yang melakukan langkah "avonturir", artinya melanggar garis organisasi, dengan melibatkan diri aalam suatu gerakan yang tidak didasarkan pada keyakinan tinggi massa. Dikecamnya juga adanya kekuasaan Aidit yang bisa membentuk suatu Biro Khusus dan berada di luar kontrol Politbiro dan Komite Sentral. Yang juga dikritik adalah ketergantungan PKI pada Bung Karno. PKI juga terlalu membiarkan diri terhanyut oleh ideologi yang dirumuskan Sukarno. Partai jadi menyeleweng dari garis. Namun kecaman paling pedas ditujukan "teori dua aspek" Aidit yang percaya bahwa suatu kekuasaan rakyat bisa dicapai "secara damai". Maksudnya: apa pun yang disiapkan Aidit, tak ada penggalangan yang serius untuk suatu perang grilya. Tapi kenapa kemudian berubah mendadak? Ada anggapan, sakitnya Presiden Sukarno pada awal Agustus 1965 menyebabkan Aidit buru-buru bertindak. Aidit yang pada waktu itu sedang mengunjungi beberapa negara antara lain RRC, buru-buru pulang setelah mendengar keadaan Bung Karno. Konon Aidit memutuskan bergerak dahulu - sebelum didahului oleh Angkatan Darat yang dianggapnya akan memukul PKI bila Bung Karno meninggal. Sampai seberapa jauh kebenaran teori-teori itu? Ada beberapa faktor lain yang patut juga diperhitungkan. Menurut sebuah sumber, salah satu cerita yang diketahui orang-orang penting partai mengatakan bahwa bukan Bung Karno yang sakit, tapi Aidit sendiri. Djalam kunjungannya yang terakhir ke RRC itu, Aidit memeriksakan kesehatannya. Ini suatu hal yang rutin. Para tokoh PKI waktu itu umumnya selalu memeriksakan kesehatannya setiap kali mengunjungi RRC. Tapi kabarnya dalam pemeriksaan terakhir itu diketahui Aidit menderita tumor otak yang tak tersembuhkan. Dalam cerita ini, Aidit diduga akan bisa bertahan paling empat tahun lagi. Apakah faktor ini yang menyebabkan Aidit buru-buru melancarkan kup? Atau, mungkinkah RRC -- lewat dokter-dokternya - berusaha mendorong Aidit mempercepat "revolusi proletar Indonesia"? Dalam satu laporan CIA, RRC tak diketahui terlibat. Tapi Beijing memang menghendaki PKI secara cepat menentukan untuk memilih Uni Soviet atau RRC, dan untuk itu kalau perlu pecah. Apakah desakan ini mempengaruhi Aidit, tak jelas. Namun ada dugaan Presiden Liu Shaoqi membantu garis keras PKI, bahkan mungkin dengan mengirim senjata. Pimpinan PKI memang tidak seutuh seperti yang dikesankan. Beberapa penulis asing, seperti Rex Mortimer pernah menyinggung masalah ini, misalnya mengenai pertentangan sengit antara Nyoto dan Oloan Hutapea. Namun yang terjadi rupanya lebih jauh dari itu. Central Comite (CC) PKI paling tidak terpecah dalam tiga blok. Pertama, kelompok Aidit yang didukung oleh Sudisman dan Hutapea. Mereka merupakan yang terkuat dan dengan kekuasaannya bisa melakukan tindakan disiplin. Kelompok kedua berakar di Jawa Barat, dipimpin oleh Ketua CDB (Comite Daerah Besar) Ja-Bar Ismail Bakri. Kelompok ini menentang jalan damai yang dianut Aidit, dan lebih, menyetujui perjuangan bersenjata. Grup ini telah menyiapkan kekuatan bersenjata di Ja-Bar, terutama di perkebuan-perkebunan. Menurut "Buku Putih", PKI memang telah menyiapkan daerah Sukabumi Selatan, di samping Blitar Selatan dan Merbabu Merapi Kompleks (dulu MMC) sebagai basis perjuangan bersenjata jangka panjang. Dalam perkembangan kemudian, kelompok ini dapat dukungan dari Jawa Timur dan Kalimantan. Kelompok ketiga adalah kelompok Nyoto, Wakil Ketua II CC PKI, anggota Politbiro dan Kepala Departemen Agitasi dan Propaganda. Yang bisa dimasukkan dalam kelompok ini kebanyakan seniman anggota Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat), yang dekat dengan Nyoto. AGAKNYA yang paling ditakuti Aidit adalah kelompok kedua. Sekitar 1965 sudah beredar desas-desus kemungkinan adanya "pemisahan diri" dari kelompok ini. Bahkan dikabarkan kelompok ini akan "mendahului" Aidit, dengan mengambil alih pimpinan partai. Faktor inikah yang turut mendorong Aidit untuk cepat-cepat melancarkan gerakannya, sebelum didahului kelompok Jawa Barat ini Aidit sendiri seperti terombang-ambing antara bersandar pada Bung Karno -- sebagai ganjalan jika berhadapan dengan ABRI -- dan niat mengejar ketinggalan dalam menghadapi perjuangan bersenjata. Mungkin itulah sebabnya ia pertengahan 1965 mengusulkan dibentuknya "Angkatan Ke-5", di samping Angkatan Darat, Udara, Laut dan Kepolisian. Usul ini ditolak keras oleh AD - yang sudah mencium bau. Toh di tengah perpecahan dan kebingungan itu Aidit diketahui sejak 1963 menggeser lawan-lawannya di dalam partai. Beberapa tokoh dikirim ke luar negeri, termasuk anggota Politbiro Jusuf Adjitorop yang dikirim ke Beijing sebagai Ketua Delegasi CC PKI. Kelompok Nyoto tak memiliki kekuatan fisik. Para seniman dan intelektual ini dijadikan bulan-bulanan. Gampang diejek "burjuis" dan dicopot dari posisi. Lekra di hari-hari terakhir malah mulai dicoba dibereskan. Yang mengkhawatirkan Aidit agaknya, Nyoto makin dekat dengan Bung Karno. Tokoh ini mungkin bisa dekat dengan Bung Karno karena keduanya punya banyak persamaan suka membaca, suka bergurau, dan makan enak. Ia bahkan turut menyusun berbagai pidato Bung Karno, termasuk pidato 17 Agustus 1965. Sekitar 1965, malah ada kabar Bung Karno ingin "menarik" Nyoto untuk membentuk suatu partai aksi massa yang baru yang lebih sesuai dengan kehendak Bung Karno. Benarkah beberapa faktor itu turut berperan pada 1965? Belum pasti. Yang ada pada sejarah barulah yang tercatat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus