Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETEGANGAN antara Israel dan Hizbullah, kelompok milisi Syiah di Libanon selatan, makin meningkat belakangan ini. Kedua pihak bergantian mengirim rudal dan drone ke pihak lawan, meskipun belum tampak ada serbuan secara fisik ke wilayah musuh. Hizbullah menyerang Israel sebagai bentuk solidaritas terhadap masyarakat Palestina di Jalur Gaza, yang dihancurkan Israel sejak 7 Oktober 2023 sebagai reaksi atas serangan Hamas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasukan penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa di Libanon (UNIFIL) yang berjaga di Garis Biru, kawasan demiliterisasi di perbatasan Israel-Libanon, mencatat 8.918 proyektil berseliweran dari kedua pihak yang melintasi Garis Biru selama 21 Oktober 2023-20 Februari 2024. Israel paling banyak mengirim proyektil, yakni 7.948 proyektil, sedangkan Hizbullah 978 proyektil. Kebanyakan proyektil adalah artileri dan mortar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketegangan makin meningkat ketika Houthi, milisi Islam Syiah yang menguasai sebagian Yaman, dan milisi Perlawanan Islam di Irak bergabung. Kedua kelompok ini berkoalisi untuk menyerang perairan Israel sejak dua pekan lalu. Pada 5 Juli 2024, mereka mengklaim telah merusak basis militer Israel di wilayah Umm al-Rashrash, yang disebut juga Eilat, kota pelabuhan Israel di pesisir Teluk Aqaba di Laut Merah. Berbagai serangan itu membuat pelabuhan Eilat nyaris bangkrut karena tak ada lagi aktivitas perdagangan dan pelayaran.
Sekretaris Jenderal PBB António Guterres memperingatkan soal kemungkinan meluasnya konflik di Timur Tengah bila ketegangan antara Hizbullah di Libanon dan Israel berlanjut. “Mari kita perjelas: masyarakat di kawasan ini dan masyarakat di dunia tidak boleh membiarkan Libanon menjadi Gaza yang lain,” katanya, akhir Juni 2024. “Satu tindakan gegabah—satu kesalahan perhitungan—dapat memicu bencana yang melampaui batas negara dan, sejujurnya, di luar imajinasi.”
Guterres mendesak Hizbullah dan Israel kembali berkomitmen menerapkan Resolusi Dewan Keamanan 1701 dan segera menghentikan permusuhan. Diadopsi pada 2006, resolusi itu menyatakan gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah, penarikan pasukan Israel dari Libanon selatan, serta pembentukan zona demiliterisasi, yang dijaga UNIFIL.
“Dunia harus menyatakan dengan lantang dan jelas: penurunan eskalasi dalam waktu dekat tidak hanya mungkin dilakukan, tapi hal ini penting,” ujar Guterres, seraya menyatakan bahwa “tidak ada solusi militer” untuk masalah tersebut.
Hizbullah, dari bahasa Arab yang berarti Partai Tuhan, berdiri pada 1982 saat terutama komunitas Syiah menguat di Libanon. Ideologi Hizbullah mengacu pada pandangan para ulama Syiah di Iran, terutama Ayatullah Ruhullah Khomeini, pemimpin Revolusi Islam Iran.
Kekuatan Hizbullah terletak pada menyatunya ideologi dan otoritas tradisional ulama. Salah satu ulama terkuat sekarang adalah Hassan Nasrallah, Sekretaris Jenderal Hizbullah. Itu sebabnya Iran mendukung kelompok ini dan diduga memasok senjatanya ke sana.
Kelompok ini makin kuat karena Libanon lemah. Negara itu tak dapat menjinakkan kelompok perlawanan seperti Hizbullah dan bahkan Hizbullah masuk pula ke pemerintahan dan badan legislatif.
Hizbullah dan Hamas punya pandangan sejalan. Keduanya menginginkan Palestina merdeka di wilayah Arab, tapi bukan “solusi dua negara”, gagasan berdirinya negara Israel dan negara Palestina berdampingan secara damai. Mereka justru ingin mengusir Israel dari tanah Arab, yang tentu menjadi tantangan serius bagi Israel dan pendukungnya, seperti Amerika Serikat.
Hassan Nasrallah mengumumkan pada Rabu, 10 Juli 2024, telah menahan 100 ribu pejabat dan serdadu Israel. Menurut media Libanon, Al-Manar, Hizbullah berjanji menghentikan perang di perbatasan bila gencatan senjata antara Hamas dan Israel di Gaza terjadi. “Kapan pun tank Israel muncul di perbatasan dengan Libanon, Hizbullah akan menyerang dan menghancurkannya,” tutur Nasrallah.
Hizbullah, kata Ibnu Burdah, guru besar kajian dunia Arab Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, sedang berusaha menunjukkan peningkatan kapasitasnya dan memperlihatkan bahwa keseimbangan baru ke dua kekuatan itu telah berubah. “Pesannya, Israel akan memperoleh perlawanan yang tak mudah jika berhadapan dalam perang besar dengan Hizbullah,” ujarnya kepada Tempo, Rabu, 11 Juli 2024.
Hizbullah memang menunjukkan kekuatan militernya dengan menembakkan rudal dan mengirim drone. Namun, menurut Ibnu, perimbangan kekuatan riil keduanya belum tercipta. “Menghitung kekuatan Hizbullah tidak mudah karena harus berhitung juga seberapa besar Teheran akan terlibat atau membantu,” ucapnya.
Menurut Ibnu, eskalasi memang sudah meningkat dalam beberapa waktu terakhir, baik dalam pernyataan maupun di lapangan. Hizbullah telah memamerkan kemampuan senjata-senjata barunya untuk menegaskan kapasitasnya dan meningkatkan serangannya. Israel juga mengintensifkan ancamannya dengan menyasar kader-kader atau pemimpin menengah Hizbullah.
“Perang besar terbuka tentu makin tinggi kemungkinannya, tapi saya yakin Israel memandang sekarang bukan waktu yang tepat untuk melawan Hizbullah dalam perang besar. Pimpinan Hizbullah juga cenderung berpendapat demikian meski retorikanya sudah seperti dalam perang besar,” tutur Ibnu.
Ibnu memperkirakan eskalasi ini berhubungan dengan makin dekatnya gencatan senjata di Gaza. “Ada pola semacam itu. Sementara di selatan akan ada gencatan senjata, di utara makin panas situasinya,” katanya.
Asap dari rumah yang hancur akibat serangan Israel di Lebanon selatan, 25 Juni 2024. Reuters/Stringer
Rencana gencatan senjata itu digulirkan Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan terdiri atas tiga fase. Fase pertama berupa gencatan senjata penuh serta pertukaran sejumlah sandera antara Hamas dan Israel. Pada fase kedua, akan ada pertukaran sandera yang tersisa dan penghentian permusuhan secara permanen. Fase terakhir adalah rencana pembangunan kembali Gaza.
Hamas mendukung gencatan senjata permanen, tapi Israel menolaknya. Menurut The New York Times, serangan Hizbullah menjadi faktor penekan bagi perundingan gencatan senjata, yang akan digelar di Mesir dalam waktu dekat. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah mengirim delegasinya ke Mesir dengan permintaan bahwa Israel harus mengendalikan wilayah Gaza yang berbatasan dengan Mesir.
Ibnu Burdah belum melihat tanda-tanda akan pecah perang terbuka antara Hizbullah dan Israel dalam waktu dekat. “Untuk sampai perang seperti Hamas di Gaza itu masih panjang. Kedua pihak sama-sama sangat paham kekuatan masing-masing. Mereka sangat siap berperang, tapi mereka sangat berpikir panjang,” ujarnya. “Saya belum melihat tanda-tanda yang cukup meyakinkan, kecuali eskalasi meningkat dan meluas.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo