Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJAK ditunjuk menjadi Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) pada 8 Desember 2023, Komisaris Jenderal Marthinus Hukom sering mengunjungi berbagai daerah dan negeri tetangga. Ia berupaya memetakan beragam masalah penanganan dan pencegahan peredaran narkotik dan obat-obatan terlarang atau narkoba.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jebolan Akademi Kepolisian 1991 ini juga berupaya mendekati negara lain yang ditengarai menjadi lokasi persembunyian jaringan narkoba asal Indonesia. Salah satunya Thailand, yang ditengarai menjadi tempat persembunyian gembong narkotik pimpinan Fredy Pratama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Marthinus Hukom turut menyorot sejumlah jaringan internasional yang beroperasi di Indonesia. Pada Desember 2023, BNN mengungkap penyelundupan sabu dari Meksiko ke Jakarta menggunakan jasa distribusi logistik. Mantan Kepala Detasemen Khusus 88 Antiteror ini juga sedang mengkampanyekan proses rehabilitasi pencandu narkoba ketimbang mempidanakannya.
Ia menyitir salah satu metode proses deradikalisasi pelaku teror, yaitu mencabut stigma teroris untuk mengubah seseorang. “Kita harus datang dan menemui mereka sehingga mereka tidak merasa termarginalkan,” ucap pria 55 tahun itu. Berikut ini petikan wawancara Marthinus dengan tim Tempo di ruang kerjanya di kantor BNN, Cawang, Jakarta Timur, pada Selasa, 2 Juli 2024.
Bagaimana peta jaringan narkotik internasional saat ini?
Dulu masih banyak heroin masuk ke Indonesia, tapi sekarang jarang sekali kami temukan. Para pengguna lebih banyak memakai sabu. Jumlah pengguna narkotik di Indonesia mencapai 3,3 juta orang. Maka, melihat pasar yang besar di Indonesia, negara lain yang sebelumnya memproduksi koka, seperti di kawasan Golden Peacock—kawasan produksi narkotik di Amerika Latin—beralih memproduksi sabu.
Termasuk jaringan yang mendatangkan sabu dari Meksiko pada Desember 2023?
Itu memang jaringan dari Amerika Latin, namanya Kartel Sinaloa, terbesar di Amerika Latin. Tepatnya di Meksiko. Mereka mengirim 5 kilogram sabu ke sini lewat jalur logistik udara. BNN mengungkap jaringan ini. Biasanya, kalau dari Amerika Latin, fokus kami adalah koka, tapi mereka sekarang bergeser memproduksi sabu.
Bagaimana awal pengungkapan kasus itu?
Kami menangkap enam orang di sini. Satu orang yang mengontrol peredaran dari Meksiko ke sini adalah warga negara Australia yang tinggal di Filipina. Namanya Gregor Johann Haas. Dia inilah sebenarnya representatif Kartel Sinaloa di Asia Tenggara. Dia ditangkap di Filipina setelah kami buat red notice. Kami lagi bernegosiasi agar dia dideportasi ke sini.
Bagaimana caranya Haas bisa dibawa ke Indonesia?
Sewaktu Haas ditangkap di Filipina, langsung saya kirim deputi ke sana untuk berdiskusi dengan polisi setempat dan petugas keimigrasian. Karena dia ditangkap dan ditahan sementara di kantor imigrasi. Saya juga sudah berkoordinasi dengan AFP (Australian Federal Police). Dalam waktu dekat, saya akan ke Duta Besar Australia untuk Republik Indonesia guna berdiskusi. Diperkirakan akan terjadi tarik-menarik karena Indonesia masih menganut hukuman mati. Ancaman hukuman ini yang akan menjadi pertimbangan Australia.
Apa argumentasi BNN kepada Australia agar mau mendatangkan Haas ke Indonesia?
Saya sudah menjelaskan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia yang terbaru memberikan semacam kelonggaran kepada terpidana mati. Hukuman mati akan diperbarui ketika terpidana menjalani hukuman selama sepuluh tahun, dinilai apakah berubah atau tidak. Kedua, supaya dia bisa dibawa ke sini, kami juga membikin surat bahwa kami menjamin ia tidak akan dihukum mati.
Apa pentingnya mendatangkan Haas?
Kenapa penting? Karena dia melakukannya di sini. Aset dia ada di sini. Dia pengusaha properti di Gili Trawangan, Nusa Tenggara Barat. Dia yang mengontrol kedatangan sabu itu dari Meksiko.
Bukankah bisa dilakukan pengadilan in absentia?
Bisa saja. Tapi, kalau in absentia, itu kan perbuatan. Kalau untuk aliran uang, itu harus dibuktikan. Jadi perlu bawa dia pulang ke sini. Sampai hari ini kami terus berusaha. Kalaupun Australia tidak memberikan, ya kami mungkin terpaksa membikin investigasi gabungan kalau memang dia juga punya kasus di Australia.
Apakah ada jaringan Amerika Latin lain yang beroperasi di Indonesia?
Kami baru menemukan jaringan Haas. Tapi saya juga meminta anggota mendalami kasus orang asing yang ditangkap karena menembak di Bali, lalu ditangkap di Ngawi, Jawa Timur. Kami harus menelusuri siapa orang ini. Saya sudah berkoordinasi dengan sejumlah pihak. Kabarnya, korban penembakan adalah bagian sindikat narkotik.
Benarkah jaringan narkotik di Indonesia makin berkembang?
Ada fenomena seperti itu. Akhir-akhir ini, kami lihat justru orang Indonesia sendiri yang datang membawa narkotik ke sini. Contohnya jaringan Fredy Pratama di Golden Triangle, kawasan produksi narkotik di sekitar Myanmar, Laos, dan Thailand. Kami juga baru menemukan seorang perempuan yang mengirim narkotik lewat Medan, Sumatera Utara. BNN menangkap jaringannya dan terungkap ternyata sudah ada penerimanya di sini.
Ini jaringan yang terhubung dengan Fredy Pratama?
Saya belum tahu. Tapi dia ada di Laos. Asalnya dari Jawa Timur. Dia juga yang mengatur pengiriman narkotik itu sampai ke sini.
Dulu para bandar memacari atau memperistri warga negara Indonesia untuk direkrut sebagai kurir narkotik. Kasus seperti ini tidak ditemukan lagi?
Sekarang hampir tidak kami temukan. Artinya, orang Indonesia sudah “naik kelas”. Jadi, menurut saya, di samping Indonesia menjadi pasar narkotik, WNI juga direkrut masuk tim inti jaringan internasional. Ini yang sedang kami pelajari, siapa sih yang sebenarnya masuk ke sini untuk mendidik mereka?
Benarkah BNN juga tengah mendorong daun kratom dikategorikan sebagai narkotik jenis baru?
Ini tanaman endemis di Asia Tenggara. Kami punya rujukan penelitian bahwa di tanaman ini ada beberapa zat alkaloid. Yang lebih berbahaya adalah 7-hydroxymitragynine. Kekuatannya 13 kali lebih berbahaya daripada morfin. Saat ini BNN merawat 133 pengguna kratom. Mereka rata-rata pernah mengalami ketergantungan pada obat lain, lalu disarankan menggunakan kratom untuk sarana terapi. Tapi pola ini membuat mereka memiliki ketergantungan pada kratom.
Bukankah kratom sudah menjadi komoditas ekspor yang memiliki nilai ekonomi tinggi?
Memang benar begitu. Tapi kami tetap menyampaikan bahwa ada dampak buruk yang lebih besar ketimbang nilai ekonomi ekspor kratom. Kami menyarankan dibuat riset yang lebih netral untuk menempatkan kratom sebagai narkotik atau tidak.
Bagaimana dengan fungsi BNN untuk mencegah peredaran narkotik di berbagai daerah?
Kami berupaya mencegah narkotik tidak melembaga. Sudah ada upaya itu, khususnya di daerah yang tak bisa dimasuki polisi. Saat masuk, polisi malah dikeroyok. Contohnya kampung narkoba di Beting, Pontianak, Kalimantan Barat; Sokabanah di Madura, Jawa Timur; dan Batam, Kepulauan Riau.
Suasananya mirip seperti yang dulu terjadi di Kampung Ambon, Jakarta Barat?
Iya, seperti itu. Dalam hubungan sosial, ada patron-klien. Teroris seperti itu juga, karena doktrin. Sedangkan narkotik karena hubungan simbiosis mutualisme. Tugas kami memutus patron dan klien itu.
Apakah BNN akhirnya berhasil menembus kampung-kampung narkoba itu?
BNN mencoba datangkan, misalnya, ahli otomotif untuk melatih anak-anak di situ. Pertama datang, mereka bertanya, “Ada duit atau enggak?”. Terpaksa kami kasih ongkos, ha-ha-ha.... Kami mencoba mencari cara baru dengan membuat mereka bergantung kepada BNN, bukan narkotik. Kalau sudah tergantung, baru kami pengaruhi agar menjauhi narkotik.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo