Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Realisme Fotografis Dan Seks

Pameran lukisan karya sudarisman digelar di galeri edwin, jakarta. lukisannya tidak mengarah ke gaya surealistik, tapi karyanya dilukis realistik sesuai tepat fotografis.

24 Oktober 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LUKISAN realisme fotografis semakin tegas muncul sebagai perkembangan seni lukis kontemporer Indonesia. Dalam jangka hampir dua puluh tahun, kecenderungan yang muncul pada tahun 1970-an di Yogyakarta ini telah melahirkan sejumlah gaya yang mapan. Di antaranya, lukisan superealistik seperti karya Dede Eri Supriya dan lukisan-lukisan surealistik -- Ivan Sagita, Agus Kamal, dan Lucia Hartini. Sudarisman termasuk dalam jajaran pelukis yang akrab dengan realisme fotografis itu. Sekitar 30 lukisannya dipamerkan di Galeri Edwin, Jakarta, 9-18 Oktober lalu. Lukisan Sudarisman tidak mengarah ke gaya superealistik ataupun surealistik. Karena itu, aspek fotografis pada lukisannya lebih mudah dikaji. Sekilas, lukisannya seperti kolase foto, merupakan susunan macam-macam citra yang tidak berhubungan: potret wajah, sosok wanita, anggota tubuh, alam benda, dan bentuk-bentuk aneh. Semuanya dilukis realistik secara tepat fotografis. Tidak bisa dilacak dengan pasti objek-objek mana yang dilukis dari foto, dan mana pula yang dilukis dengan melihat langsung objek nyata. Namun, semua objek yang dilukisnya tampil di atas kanvas dengan citra fotografis. Berbeda dengan lukisan realistik masa lalu -- yang mengimitasi kenyataan dengan kemampuan optik mata -- realisme fotografis mengamati kenyataan dari hasil rekaman optik alat foto. Citra kenyataan ini kita sebut saja "realitas fotografis". Pada abad informasi ini, realitas fotografis mengurung kita melalui iklan, majalah, buku, film, televisi, dan sebagainya. Masuk akal bila persepsi visual kita sangat dipengaruhi realitas fotografis ini. Tidak terkecuali pelukis. Peritiwa melihat melalui mata bukan cuma peristiwa optik mata. Terbentuknya citra, yang terjadi melalui mekanisme sistem saraf, senantiasa dipengaruhi memori yang berasal dari pengalaman melihat. Maka, citra yang berasal dari realitas fotografis terbentuk tidak cuma ketika melihat foto. Ketika melihat kenyataan alam nyata, citra yang terbentuk dalam sistem saraf kita bisa jadi realitas fotografis yang mengendap dalam memorinya. Inilah persepsi sejumlah pelukis generasi masa kini -- hidup di tengah dominasi realitas fotografis -- yang tidak dimiliki pelukis generasi terdahulu. Karena itu, lukisan realistik Sudarisman tidak sama dengan lukisan realistik, misalnya, Basuki Abdullah. Ketepatan pada lukisan Sudarisman bukan upaya menyalin keindahan pada kenyataan. Citra realistik pada lukisan Sudarisman mengacu ke pengolahan "bahasa foto" untuk memancing citra dalam tujuan mengomunikasikan suatu gagasan. Warna-warna Sudarisman pun bukan warna yang berusaha meniru warna pada kenyataan alam. Warna-warna ini warna simbolik. Dengan warna dan bahasa foto, Sudarisman menampilkan terutama sosok dan wajah dalam lukisannya. Sosok dan wajah ini menampakkan kekhasan fotografi: snapshots. Kendati sosok dalam lukisan-lukisannya terlihat berpose, ada kesan sosok itu berada dalam keadaan tidak diatur (berbeda dari lukisan model). Gambarnya diambil dengan dicuri. Ketika melukiskan objek-objek ini, Sudarisman seperti berada pada posisi "mengintip". Wajah pada lukisan yang menatap ke arah pelukis (dan kita) seperti menghadap sebuah lensa foto tanpa ketegangan menghadapi subjek lain. Permainan warna pada lukisan Sudarisman menegaskan batas realitas fotografis. Artinya, warna membuat suasana lukisannya tidak sampai meloncat ke dunia imajiner seperti pada lukisan surealistik. Kebanyakan warna Sudarisman mengikuti keadaan sebenarnya -- tubuh berwarna sawo matang atau kekuningan, wajah berwarna cokelat gelap, mahkota berwarna kuning keemasan -- namun dengan sentuhan koreksi. Karena itu, warna sawo matang pada tubuh wanita menjadi lebih indah -- dan lebih sensual -- daripada warna aslinya. Pada lukisan Wanita dan Kuda, Saraswati, Berhias, Sudarisman menyoalkan perwatakan wanita, seperti dalam karakterologi Jawa (ilmu perwatakan yang mendasari simbolisme pewayangan). Melalui wajah wanita, pose, dan getaran tubuh di balik busana, ia mengekspresikan aneka sikap wanita. Lukisan Penari Laut Selatan lebih jauh memperlihatkan citra wanita, mengikuti penafsiran Sudarisman. Penari dalam lukisan ini tampil dengan citra stereotip: dengan mengambil sikap berjarak, menampilkan keangkuhan untuk memancing perhatian. Wanita pada kebanyakan lukisan Sudarisman tak berbeda jauh dari sampul majalah, poster, dan kebanyakan iklan adalah objek seks. Selain sosok, lukisan Sudarisman dipenuhi pula berbagai bentuk aneh menyerupai lembaran kain yang melipat lipat. Tak berbeda jauh dari wanita yang tampil sentral, bentuk-bentuk aneh tersebut mengekspresikan sensualitas. Sebagian, secara tersamar, mengasosiasikan organ seks. Pada lukisann Pasar Bringhardjo I dan II, Sudarisman menampilkan simbol-simbol kehidupan urban. Bringhardjo di sini jauh dari kekumuhan ekspresif seperti pada rekaman pelukis Affandi dan Hendra Gunawan. Bringhardjo di mata Sudarisman tidak cuma andong, perkutut, dan jajan pasar. Di sana ada seks dan Madonna. Jim Supangkat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus