TETAP merah, tapi kapitalistis. Korea Utara tampaknya sedang menuju ke kondisi seperti itu. Kamis pekan silam, 24 Mei, Kongres Rakyat Tertinggi (KRT) ke-9 memilih kembali Kim Il Sung alias "Pemimpin Besar" alias "Matahari Bangsa" sebagai presiden untuk kelima kalinya, untuk masa jabatan 1990-1994, di bawah UU baru yang berlaku sejak 1972. Sebelumnya, sejak 1948 ketika negara itu berdiri, Kim Il Sung adalah perdana menteri. Banyak yang menduga, naiknya kembali Kim berarti komunisme konservatif dan garis keras masih akan lama menjadi warna negara berpenduduk sekitar 22 juta itu. Pemilihan kembali Kim Il Sung, 78 tahun, yang juga dikenal sebagai Kim Senior, enam bulan lebih cepat, sebenarnya tak terduga. Sejak tahun silam, timbul desas-desus bahwa ia akan pensiun dan segera akan menyerahkan jabatannya kepada anaknya, Kim Jong Il atau Kim Yunior, kini 48 tahun. Tak mustahil, yang akan terjadi nanti adalah alih kekuasaan di tengah masa jabatan dari Pemimpin Besar ke "putra mahkota". Indikasi itu kuat karena KRT juga memilih Kim Yunior sebagai Wakil Ketua I Dewan Pertahanan Nasional (DPN) yang diketuai oleh -- tentu saja -- Kim Senior. Menurut seorang pengamat kemiliteran Korea Utara di Tokyo, pengangkatan Kim Jong Il sebagai Wakil Ketua DPN tak lain dari usaha mengangkat namanya menjadi pahlawan di bidang pertahanan. Dan itu tak bisa lain bahwa komunisme masih berotot di Korea Utara. Kuatnya komunisme, repotnya, bukan jaminan bahwa ekonomi makin baik. Tahun lampau, negeri itu menghabiskan dana sebesar US$ 4,7 milyar untuk membiayai pesta mahasiswa dan kaum muda internasional. Pemerintahan Kim Il Sung juga menggunakan US$ 4,2 milyar atau 9% dari GNP-nya untuk membiayai tentara. Malah, menurut sumber Korea Selatan, sebenarnya persentase untuk membayar ongkos-ongkos angkatan bersenjata itu mencapai 20-30%. Sementara itu, dewasa ini, keadaan dunia sungguh tak menguntungkan Korea Utara. Hubungannya dengan Uni Soviet memperlihatkan tanda-tanda keretakan. Gorbachev memutuskan untuk tidak meningkatkan bantuannya kepada Pyongyang. Malah dengan perestroikanya Moskow lebih suka berhubungan dengan Korea Selatan yang jelas-jelas lebih menguntungkan secara ekonomi. Moskow akan segera mengadakan hubungan normal dengan Seoul. Konon, Moskow juga akan menghentikan bantuan pengiriman minyak mentah ke Korea Utara. Selain itu, di Uni Soviet sendiri tengah berlangsung kampanye untuk memburuk-burukkan dinasti Kim. Beberapa pekan lalu, di koran-koran Soviet muncul pengungkapan, ketika Kim datang "membebaskan" Korea ia bukan sebagai seorang gerilyawan Korea, melainkan seorang kapten Soviet. Menyadari berubahnya situasi, Kim pun membuka jurus baru. Yakni mendekati "imperialisme" Amerika. Pengembalian lima kerangka tentara Amerika yang tewas dalam Perang Korea (1950-1953), Senin pekan lalu, merupakan langkah pertama. (Menurut pihak AS, masih lebih dari 8.150 tentara Amerika dalam perang Korea yang lalu yang tak ketahuan nasibnya). Bahkan Pyongyang juga sudah mulai meniti "jalan kapitalis". Menurut kabar, baru-baru ini pemerintah Korea Utara menandatangani kontrak pengagentunggalan sebuah hotel tertinggi di dunia. Dalam perjanjian tersebut Korea Utara, katanya, setuju untuk mengelola hotel bertingkat 103 itu dengan cara "kapitalis". Sejauh yang pernah terjadi, mengkombinasikan komunisme dengan ekonomi kapitalistis hanya membuka peluang lahirnya ketidakpuasan. Contohnya adalah RRC. Sementara demokrasi ditekan, perbaikan ekonomi tak kunjung terwujud nyata. Seiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini