Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pergolakan di Atap Dunia

Tibet rusuh menjelang Olimpiade. Cukup menarik perhatian dunia, tapi tak mengubah sikap pemerintah Cina.

24 Maret 2008 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Empat truk melintasi jalan utama ibu kota Tibet, Lhasa. Di dalamnya, belasan orang duduk berjajar dengan tangan terikat di bagian belakang tubuh. Mereka dijaga tentara yang berdiri sembari memegangi bagian belakang kepala para tahanan itu, agar tetap menunduk. Mereka para pesakitan, para demonstran yang ditangkap.

Dari pengeras suara di truk, terdengar ancaman: siapa saja yang terlibat dalam aksi kekerasan harus segera menyerahkan diri atau akan diganjar hukuman keras. Tapi pengumuman itu hanya menggema di sela jalan-jalan kecil di antara dinding tanah. Kota lengang. Di sekitar kuil di tengah kota, yang biasanya ramai oleh dengungan doa-doa, juga sepi. Tentara berjaga di mana-mana. Truk-truk penuh tentara dari berbagai daerah dikerahkan ke Tibet.

Lhasa, Senin pekan lalu. Hari itu batas akhir yang diberikan pemerintah Cina bagi para perusuh—istilah mereka untuk demonstran yang dimotori para biksu—untuk menyerah. Di beberapa bagian kota terpampang tulisan dalam huruf kanji: ”Stabilitas adalah Kebahagiaan” dan ”Separatisme adalah Kerusakan”. ”Tak satu negara pun mengizinkan perusuh atau penjahat bebas dari tangan keadilan. Cina bukan perkecualian,” ujar Gubernur Daerah Otonomi Tibet Champa Puntsok.

Ini semua adalah buntut dari perayaan peringatan hari kebangkitan rakyat Tibet, 10 Maret 1959. Ketika itu, tentara Cina membasmi penduduk Tibet yang menuntut kemerdekaan. Akibatnya, Tenzin Gyatso atau Dalai Lama ke-14 terpaksa lari ke luar Tibet bersama sekitar 80 ribu orang lainnya. Pemimpin spiritual ini menetap di Dharamsala, India, dan menjadi pemimpin pemerintah Tibet di pengasingan.

Pada hari peringatan itu, Senin dua pekan lalu, puluhan biksu berdemonstrasi menuntut pembebasan Tibet dari belenggu Cina—aksi ini juga dilakukan pendukung Dalai Lama di berbagai negara. Namun mereka dihadang dan diserang polisi Cina, hingga akhirnya ditahan.

Aksi menuntut pembebasan para biksu kemudian berlanjut di hari-hari berikutnya. Puncaknya terjadi Jumat dan Sabtu dua pekan silam. Bentrokan antara warga dan polisi pecah. Pemerintah menyebutkan 13 tewas dalam kejadian itu. Tapi pemerintah Tibet di pengasingan mengajukan datanya sendiri: 99 orang tewas; 80 di antaranya di Lhasa dan sisanya di tempat lain di Tibet.

Aksi damai massa memperingati kebangkitan warga Tibet sebenarnya rutin dilakukan setiap tahun. Namun kali ini berbeda. Cina di ambang pesta olah raga internasional, Olimpiade 2008, Agustus nanti. Sebagai tuan rumah, pemerintah Cina tidak ingin terjadi peristiwa yang merusak citra. Apalagi api Olimpiade dijadwalkan melewati Lhasa, Mei mendatang.

Sebaliknya, warga Tibet prokemerdekaan juga tak menyia-nyiakan momen tersebut untuk menarik perhatian dunia. Berbagai seruan dikumandangkan, terutama oleh pendukung Dalai Lama di luar Tibet, tentang kekejaman dan penindasan pemerintah Cina. Bahkan ada yang mengajak memboikot Olimpiade.

Maka berbenturanlah kepentingan mereka. Cina memperkeras tekanan dan ancaman untuk membungkam keributan. Rabu pekan lalu, televisi Tibet dan Lhasa mengumumkan nama dan identitas 24 orang tersangka pemicu kerusuhan—dua di antaranya biarawan. Menurut seorang sumber pemerintah Cina, lebih dari 1.000 orang ditahan, baik yang sudah menjadi tersangka maupun belum.

Beijing—seperti biasa—menuding pendukung Dalai Lama sebagai biang keladi aksi berdarah tersebut. ”Orang-orang Dalai Lama terus-menerus menyatakan memilih dialog damai, bukan kemerdekaan. Itu bohong belaka,” ujar Perdana Menteri Wen Jiabao. Bahkan Sekretaris Partai Komunis, Zhang Qingli, menyebut Dalai Lama sebagai ”serigala dalam jubah biksu”.

Kemerdekaan bagi rakyat Tibet adalah perjuangan yang seakan tak berujung. Sejak abad ke-18, ketika Cina mengklaim wilayah yang dikenal dengan sebutan Atap Dunia itu sebagai bagian dari negaranya, pergolakan untuk merdeka seperti tak pernah berhenti. Setelah wilayah itu sempat diduduki Inggris, Cina kembali memperkuat klaimnya pada 1950. Sekitar 15 tahun kemudian, Cina menjadikan Tibet sebagai daerah otonomi, meski beberapa wilayah di kawasan ini dipecah menjadi provinsi tersendiri.

Rakyat Tibet tetap tak berhenti melawan. Apalagi banyak tanah biara yang direbut pemerintah pusat dalam program reformasi pertanahan pada 1950-an. Puncaknya terjadi pada 1959, ketika tentara Cina menumpas warga Tibet. Tempat yang identik sebagai pusat ibadah umat Buddha itu kian buruk kondisinya setelah Revolusi Kebudayaan 1966. Agama di seluruh tanah Cina diberangus. Kuil dihancurkan, para biarawan diusir dari biara. Banyak dari mereka dipaksa menikah, melawan prinsip selibat. Penggunaan bahasa Tibet dilarang. Foto Dalai Lama haram dipasang—ini terjadi hingga sekarang.

Tekanan Beijing atas Tibet terus berlangsung, dengan kadar dan gaya berbeda. Meski investasi, terutama di bidang pariwisata, digenjot sejak 2000 dan jalur kereta api dari beberapa kota besar Cina dibuka sejak dua tahun silam, Tibet tetap bukan area bebas dan terbuka. Beijing menerapkan peraturan ketat melalui mekanisme perizinan khusus bagi turis. Mereka tidak bisa masuk Tibet dengan bebas, tapi harus didampingi orang dari biro perjalanan yang sudah mendapat izin khusus pemerintah sebagai penyelenggara perjalanan wisata di Tibet.

Ketika pemerintah Cina banyak menghapus prosedur birokratis bagi wartawan yang ingin meliput peristiwa di Cina tahun silam—ini juga untuk kepentingan Olimpiade 2008—perizinan liputan di Tibet tetap sesuatu yang nyaris muskil. Apalagi bagi wartawan negara Barat, yang selalu dianggap musuh oleh pemerintah Cina. Mereka dianggap mengeruhkan stabilitas di Tibet.

Dengan semua pembangunan fisik, warga Tibet tetap menjadi penduduk kelas dua—kecuali kelompok yang membuktikan diri loyal kepada pemerintah Beijing, seperti Gubernur Tibet Champa Puntsok, yang sudah menjadi kader Partai Komunis Cina sejak 1974. Kesediaan Dalai Lama menerima tawaran Beijing menjadikan Tibet hanya sebagai daerah otonomi tidak mengendurkan kontrol Cina atas Tibet.

Identitas kultural Tibet juga perlahan dihapus. Bangunan-bangunan khas Tibet di Lhasa diruntuhkan, diganti dengan hotel dan bangunan modern. Orang Cina Han deras berdatangan ke wilayah Tibet, menguasai berbagai sektor ekonomi, dari yang atas hingga bawah. Bahkan sopir taksi di Lhasa kebanyakan etnik Han. Kini dua pertiga penduduk Lhasa adalah orang Cina Han.

Nah, protes dari Atap Dunia sudah bergema di segala arah mata angin. Pemerintah berbagai negara mendesak Cina menyelesaikan masalah Tibet dengan damai dan tanpa kekerasan. Usul berdialog dengan Dalai Lama dilontarkan. Pihak yang bersikap lebih keras terhadap pemerintah Cina, seperti mengajak memboikot Olimpiade, juga ada.

Nah, bagaimana Beijing menghadapi semua kisruh lima bulan menjelang pesta olahraga dunia itu? Sulit dibayangkan Cina akan melunak. Yang dilakukan adalah berwajah manis di luar, tapi penuh intimidasi terhadap segala hal yang bergerak di luar kehendaknya di dalam. Pemerintah Cina, misalnya, meyakinkan Perdana Menteri Inggris Gordon Brown akan berbicara dengan Dalai Lama dan menjamin tidak terjadi kekerasan.

Kini kantor berita resmi Xinhua melansir berita bahwa aktivitas di Lhasa sudah kembali normal. Tak ada penetapan keadaan darurat, bahkan jam malam. Juga tak ada larangan bagi wartawan asing. Televisi pemerintah juga menayangkan gambar bahwa yang berjaga di Lhasa adalah polisi, bukan tentara. Ini untuk menunjukkan bahwa kerusuhan adalah soal kriminal biasa, bukan masalah politik.

Ya, itu taktik lama yang cukup membuahkan hasil. Reaksi masyarakat dunia tak sekeras seperti ketika pemerintah Burma menumpas para demonstran biksu. Suara boikot Olimpiade hanya sayup terdengar. Tibet seperti ditinggalkan sendirian. Cina tetap berbangga sebagai tuan rumah Olimpiade. Petinggi dunia pun siap berdatangan sebagai tamu kehormatan.

Purwani Diyah Prabandari (The Times, BBC, CNN, Wall Street Journal, China Daily)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus