Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Perjanjian Nuklir Iran di Ujung Tanduk

NASIB perjanjian nuklir Iran yang disepakati pada 2015 tak menentu setelah Amerika Serikat menarik diri dari perjanjian itu tahun lalu.

30 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tampilan nuklir Iran di Baharestan Square, Teheran, September 2017. Nazanin Tabatabaee Yazdi/TIMA via REUTERS

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Langkah itu diikuti Presiden Donald Trump dengan memulihkan sanksi ekonomi terhadap Iran, yang berkontribusi pada memburuknya situasi ekonomi di Negeri Mullah. Iran merespons dengan melanjutkan kegiatan nuklirnya.

Pada 4 November lalu, Iran mengoperasikan mesin sentrifugal canggih 60 IR-6 yang dapat memproduksi uranium yang diperkaya 10 kali lebih cepat dari IR-1 generasi pertama. Dengan mesin sentrifugal ini, negara itu bisa memangkas waktu kurang dari setahun buat memiliki cukup bahan untuk membuat senjata nuklir.

Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas mengatakan keputusan Iran ini membahayakan perjanjian nuklir. “Mereka mengumumkan pada awal September lalu bahwa mereka tidak akan mematuhi perjanjian nuklir dan kami pikir itu tidak dapat diterima,” kata Maas.

Iran membantah jika disebut mengingkari komitmennya. “Iran telah menunjukkan iktikad baik dengan menerapkan semua komitmennya di bawah kesepakatan dengan sepenuh hati,” ujar Duta Besar Iran untuk Badan Energi Atom Internasional (IAEA), Kazem Gharib Abadi, seperti dilansir TRT World, Rabu, 27 November lalu.

Kesepakatan nuklir itu diteken oleh Iran dengan Cina, Prancis, Rusia, Inggris, Amerika Serikat, dan Jerman. Setelah Amerika keluar, Inggris, Prancis, dan Jerman berusaha menyelamatkan pakta tersebut. Menurut Reuters, pihak-pihak yang tersisa dalam kesepakatan itu berencana bertemu di Wina pada 6 Desember mendatang.

Dalam Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), nama resmi perjanjian nuklir itu, Iran bersedia menghentikan program nuklirnya dan memberikan akses luas kepada pengawas internasional ke fasilitas-fasilitasnya dengan imbalan pencabutan sanksi ekonomi.

Pada Januari 2016, IAEA menyatakan Iran telah memenuhi persyaratan awal perjanjian nuklir, termasuk membuat ribuan mesin sentrifugalnya, termasuk reaktor air berat Arak, tidak dioperasikan dan menjual kelebihan uraniumnya ke Rusia. Amerika, Uni Eropa, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa lantas mencabut atau menangguhkan sanksi ekonomi mereka.

Dalam laporan triwulanan sejak itu, IAEA telah menyertifikasi kepatuhan Iran. Amerika kemudian menghentikan sanksi ekonomi tambahan yang menargetkan sektor minyak. Ini yang memungkinkan Iran meningkatkan ekspor minyaknya. Amerika juga mencairkan uang yang sebelumnya disita dari Iran.

Masalah mulai muncul saat Trump mencalonkan diri menjadi presiden. Ia mengkritik perjanjian tersebut dan berjanji mengoreksinya. Ia memenuhi ucapannya. Menurut Council on Foreign Relations, langkah Trump itu membuat perdagangan dan investasi ke Iran lesu. Perdagangan Uni Eropa-Iran mencapai lebih dari 20 miliar euro setahun sebelum penarikan Amerika dari kesepakatan nuklir. Khawatir terhadap sanksi Amerika, banyak perusahaan besar Eropa keluar dari pasar Iran.

Trump secara resmi menarik Amerika keluar dari perjanjian itu pada Mei 2018 serta menerapkan kembali sanksi ekonomi dan minyak. Sanksi ini berlaku bagi siapa saja yang berdagang dengan Iran, baik warga negara Amerika maupun asing.

Dalam upaya menjaga perjanjian nuklir tetap hidup, Prancis, Jerman, dan Inggris menjalankan sistem barter, yang dikenal sebagai INSTEX, untuk memfasilitasi transaksi dengan Iran di luar sistem perbankan Amerika. Tapi transaksi itu hanya untuk makanan dan obat-obatan, yang sudah dibebaskan dari sanksi Washington.

Setelah Amerika keluar, beberapa negara sekutu Amerika terus mengimpor minyak Iran di bawah keringanan yang diberikan pemerintah Trump dan Iran terus mematuhi komitmennya. Tapi, setahun kemudian, Amerika mengakhiri keringanan itu. Gedung Putih menargetkan ekspor minyak Iran menjadi nol dan menyetop sumber pendapatan utama negara itu.

Ini adalah titik kritis bagi Iran, yang mengatakan tidak akan terikat dengan komitmennya selama pihak lain tidak melanggar perjanjian itu. “Iran Makin Dekat dengan Bom Nuklir, Terima Kasih kepada Trump”, begitu judul artikel Kimberly Ann Elliott dalam World Politics Review edisi 26 November 2019.

ABDUL MANAN (REUTERS, DEUTSCHE WELLE, COUNCIL ON FOREIGN RELATIONS)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus