Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEBIH dari 20 tahun lalu, Brenda Kokiai lolos dari upaya pemerkosaan dan pembunuhan oleh Angkatan Bersenjata Papua Nugini dalam perang sipil di Bougainville, pulau di timur daratan utama Papua Nugini. Kini dia akhirnya hampir mendapat apa yang selama ini ditunggu-tunggunya: membebaskan negerinya dari Papua Nugini. “Setelah segala penderitaan ini, saya kini sedang merayakannya,” katanya, Senin, 25 November lalu.
Perempuan 45 tahun itu bergabung dengan sekitar 200 ribu penduduk Bougainville yang mendatangi sebelas lokasi pencoblosan yang tersebar di pulau tersebut dan sepuluh lainnya di ibu kota-ibu kota provinsi lain di Papua Nugini. Kokiai mengikuti referendum, yang berlangsung 23 November-7 Desember 2019, untuk menentukan nasib pulaunya yang tercabik-cabik konflik selama 1988-1998. Perang itu pula yang membuat keluarganya tercerai-berai dan membunuh 20 ribu penduduk.
Kokiai baru 14 tahun ketika perang pecah dan menewaskan kakaknya. Keluarganya terpaksa meninggalkan kampung mereka agar tak dibunuh para tentara yang berafiliasi dengan militer Papua Nugini.
Kokiai remaja terpisah dari orang tuanya dan bersembunyi di hutan tanpa makanan dan air selama dua hari. Pada akhirnya, dia tak punya pilihan selain menyerahkan diri ke militer. Selama dua tahun kemudian, ia menjadi tahanan di Pusat Perawatan Wakunai, satu dari sejumlah kamp yang tersebar di pulau itu. “Saya dipukuli, saya diinterogasi. Mereka bahkan mencoba mengawini saya, mencoba memperkosa saya,” katanya kepada media Australia, ABC.
Para tentara menuduh kakaknya bergabung dengan Tentara Revolusioner Bougainville, milisi yang memperjuangkan kemerdekaan pulau itu. “Akibatnya, saya tidak boleh bersekolah atau mendapat jatah makanan. Jadi saya cuma menonton orang-orang membagi-bagikan makanan,” ucapnya.
Kokiai akhirnya selamat berkat bantuan seorang perwira militer yang kasihan kepadanya. Dia diselundupkan keluar dari pulau itu dan kemudian diadopsi. “Dia menyembunyikan saya ketika kabur. Saya pikir saya akan mati,” ujarnya. Kokiai adalah satu dari ratusan orang yang selamat dari perang sipil itu.
Sebelum terjadi perang, Bougainville, sebagai bagian dari Papua Nugini, dijajah Jerman hingga 1914, ketika Perang Dunia I pecah dan Australia merebut pulau itu. Berkat lobi Perdana Menteri Australia Billy Hughes, seusai Perang Dunia, Liga Bangsa-Bangsa, yang kemudian menjadi Perserikatan Bangsa-Bangsa, menyerahkan pengaturan negara itu kepada Canberra hingga 1975.
Menurut Lowy Institute, lembaga penelitian independen yang berbasis di Sydney, Australia, sebelum era penjajahan, penduduk Bougainville sudah merasa lebih dekat secara budaya dan etnis dengan Kepulauan Solomon, yang terletak di selatan, ketimbang dengan pulau utama Papua Nugini.
Penjajahan bangsa Eropa memperkuat identitas Bougainville. Identitas itu makin mengakar setelah tambang emas dan tembaga Panguna di dekat Arawa di pulau itu dibuka pada 1960-an. Tambang itu dijalankan Bougainville Copper Limited (BCL), anak perusahaan Rio Tinto Australia.
Pada 1980-an, berkat tambangnya, Bougainville menjadi provinsi terkaya dan termaju di negara tersebut. Arawa dilengkapi rumah sakit, sekolah, dan jalan yang terpelihara baik. Tambang itu menyumbang 14 persen pendapatan nasional Papua Nugini dan separuh dari komoditas ekspornya.
Meskipun demikian, ketidakpuasan mengental di kalangan rakyat Bougainville. Hanya sepertiga karyawan tambang itu yang orang Bougainville, sisanya orang asing dan warga dari daratan utama Papua Nugini. Dari keuntungan pertambangan selama 1972-1989, 1 miliar kina atau Rp 4.146 triliun (sekitar 20 persen dari nilai total produksi) masuk ke kantong pemerintah pusat dalam bentuk pajak dan royalti. Pemerintah lokal cuma menerima 5 persen dari total royalti atau sekitar Rp 456 miliar.
Penduduk Bougainville menilai pembagian ini tidak adil. Generasi kedua tuan tanah pulau itu kemudian membentuk New Panguna Landowners Association yang dipimpin Perpetua Serero dan Francis Ona, pekerja tambang. Mereka menuntut pembagian pendapatan yang lebih adil, tapi ditolak BCL.
Ona kemudian mendirikan Tentara Revolusioner Bougainville (BRA) pada 1988 dan meledakkan fasilitas pertambangan. Polisi dan tentara Papua Nugini datang untuk meredakannya. Tapi tindakan keras aparat keamanan itu mempertajam konflik. Setelah 17 tahun beroperasi, tambang Panguna ditutup pada Mei 1989 dan pemerintah menetapkan keadaan darurat untuk daerah tersebut. Perang sipil pun pecah.
Upaya perdamaian dimulai pada akhir 1997 melalui Perjanjian Burnham. Selandia Baru kemudian memimpin perundingan dengan dukungan Australia, yang membentuk Kelompok Pemantau Perdamaian yang beranggotakan 300 personel pasukan penjaga perdamaian. Perang berakhir setelah perdamaian dicapai melalui Perjanjian Perdamaian Bougainville yang ditandatangani pada 30 Agustus 2001 di Arawa oleh semua pihak yang berkonflik, termasuk Perdana Menteri Papua Nugini Mekere Morauta, Gubernur Provinsi Interim Bougainville John Momis, dan Kepala Pertahanan BRA Ishmael Toroama. Pemerintah berjanji mengamendemen konstitusi yang menjamin Bougainville menggelar referendum kemerdekaan, pembentukan Pemerintahan Otonomi Bougainville, dan perlucutan senjata.
Namun pemerintah tampaknya tak memenuhi semua komitmennya. John Momis, yang kini menjadi Presiden Pemerintahan Otonomi Bougainville, menyatakan rakyatnya kecewa karena setiap tahun pemerintah hanya memberikan sedikit dana hibah untuk pembangunan. “Tanpa dana yang memadai, kami hanya bisa sedikit meningkatkan layanan dan infrastruktur,” tuturnya.
Referendum yang kini digelar adalah bagian dari perwujudan perjanjian itu. Hasilnya akan diumumkan pada pertengahan Desember nanti. Dalam referendum ini, rakyat memilih satu di antara dua opsi: otonomi lebih luas atau kemerdekaan. Bila rakyat memilih “otonomi lebih luas”, Bougainville akan tetap menjadi bagian dari Papua Nugini tapi mendapat wewenang lebih besar dalam pengelolaan daerahnya, seperti pengaturan hubungan industrial, investasi asing, perdagangan internasional, dan penerbangan sipil. Bila rakyat memilih opsi “kemerdekaan”, Bougainville akan menjadi negara baru yang lepas dari Papua Nugini.
Dengan menimbang sentimen rakyat selama ini, peneliti Lowy Institute memperkirakan Bougainville memilih opsi kemerdekaan. Namun hasil referendum ini tidak mengikat dan tak serta-merta mengubah status Bougainville. Hasilnya nanti harus diratifikasi parlemen Papua Nugini melalui perundingan antara pemerintah dan Bougainville, yang diperkirakan berlangsung bertahun-tahun.
Parlemen Papua Nugini terbelah dalam soal kemerdekaan Bougainville. Sebagian mendukung, tapi lebih banyak yang menolak. Perdana Menteri Papua Nugini James Marape ingin Bougainville tetap menjadi bagian dari Papua Nugini. Dia telah menawarkan opsi ketiga: program sepuluh tahun dana pembangunan ekonomi utama senilai 1 miliar kina dan sepuluh tahun pembangunan infrastruktur.
Dalam kertas kerjanya, Lowy Institute memperingatkan pemerintah Papua Nugini mengenai dampak hasil referendum. Bila pemerintah menolak keputusan Bougainville merdeka, hal itu akan memicu konflik baru dan sangat mungkin Bougainville memproklamasikan diri secara sepihak.
Hingga Kamis, 28 November lalu, rakyat Bougainville masih antusias mendatangi tempat-tempat pencoblosan. Suasana pun seperti pesta. Mereka juga berkumpul di gereja-gereja terdekat untuk berdoa.
“Saya berterima kasih kepada Tuhan atas apa yang telah terjadi,” kata Francesca Semoso, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Pemerintahan Otonomi Bougainville, setelah mencoblos pada Kamis, 28 November lalu. “Kami belum bisa tidur, tapi apakah hari ini benar-benar tiba? Kami melakukan ini untuk anak cucu kami.”
IWAN KURNIAWAN (POST COURIER, ABC, RADIO NEW ZEALAND, GUARDIAN)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo