Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Rusuh Tak Sudah Di Negeri Mullah

Demonstrasi besar di Iran menyebabkan lebih dari 140 orang tewas, 1.900 terluka, dan 7.000 ditangkap. Setidaknya 100 bank dan 57 toko terbakar. Dipicu kenaikan harga bensin.

30 November 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sisa kerusuhan akibat demonstrasi menentang kenaikan harga bahan bakar di Teheran, 20 November 2019. Reuters/Wana News Agency

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KERUSUHAN pecah di berbagai penjuru Iran. Sebuah video yang beredar setelah akses Internet negeri itu dibuka kembali pada Rabu, 27 November lalu, menunjukkan seorang perempuan tengah menatap seorang bocah yang terbarik genangan darah di sebuah trotoar. Seorang polisi antihuru-hara mengayun-ayunkan tongkatnya ke arah orang-orang yang berlari melintasinya.

Video lain menggambarkan kerumunan orang sedang mencoba menolong seorang pria yang terbaring diam di tanah di Kota Shiraz, Provinsi Fars, 933 kilometer sebelah selatan Ibu Kota Teheran. Sementara itu, orang-orang tampak berlari mundur di tengah jalanan penuh asap, teriakan, dan suara tembakan.

Rekaman video yang dirilis BBC itu sedikit menggambarkan kerusuhan yang melanda Negeri Mullah sejak pertengahan November lalu. Menurut data intelijen Iran yang dilansir Fars, aksi massa terjadi di 40 kota dan menyebabkan lebih dari 100 bank serta 57 toko terbakar. Iran tak merilis jumlah korban tewas, tapi Amnesty International mengklaim korbannya lebih dari 140 orang.

Pemicu protes ini adalah kebijakan kenaikan harga bensin yang diumumkan pemerintah pada Jumat, 15 November lalu. Kebijakan Presiden Hassan Rouhani ini sebagai upaya mengatasi perekonomian yang memburuk setelah Amerika Serikat mundur dari kesepakatan nuklir dan kembali menerapkan sanksi ekonomi.

Pemimpin Tertinggi Iran Ayatullah Khamenei menuding dua musuh bebuyutannya, Amerika Serikat dan Israel, berada di balik kerusuhan. “Konspirasi besar, luas, dan sangat berbahaya yang dilakukan kekuatan arogan global serta zionisme yang dapat menciptakan kehancuran, kejahatan, dan pembunuhan di Iran,” katanya di depan pasukan Basij (sukarelawan) Iran di Teheran, Rabu, 27 November lalu.

Penutupan salah satu stasiun pengisian bahan bakar seusai demo menolak kenaikan harga bahan bakar di Teheran, 20 November 2019. Reuters/Wana News Agency

Ekonomi Iran memang sedang terpuruk. Di bawah tekanan Amerika, lusinan perusahaan Eropa meninggalkan Iran dan membuat ribuan rakyat Iran menganggur. Sanksi Amerika terhadap perbankan juga membatasi investasi asing dan akses ke kredit internasional. Adapun sanksi minyak telah memangkas separuh ekspor minyak mentah Iran, sumber pendapatan utama Negeri Mullah. Dalam setahun, mata uang rial kehilangan 70 persen nilainya terhadap dolar Amerika. Inflasi juga tercatat lebih dari 35 persen. “Masalah kami terutama karena tekanan dari Amerika dan para pengikutnya,” ujar Rouhani.

Ekonomi yang terus memburuk itu menyebabkan negara berpenduduk 80 juta tersebut menghadapi defisit hampir dua pertiga dari anggaran tahunan US$ 45 miliar. Situasi inilah yang mendorong Iran menaikkan harga bensin dan memberlakukan sistem penjatahan yang ketat.

Harga bensin Iran sebenarnya tergolong murah karena disubsidi. Harga yang rendah ini juga yang dituding menjadikan konsumsinya tidak disiplin dan berkontribusi pada polusi di perkotaan. Harga bensin kini naik menjadi 15 ribu rial atau sekitar Rp 6.300 per liter, dari sebelumnya sekitar Rp 4.200 per liter.

Selain itu, akan ada jatah bensin bulanan untuk setiap mobil pribadi, yang ditetapkan sebanyak 60 liter. Untuk setiap pembelian yang melebihi batas itu, harganya menjadi 30 ribu rial atau sekitar Rp 12 ribu per liter. Pemerintah menyatakan kenaikan itu sebagai cara untuk membantu mendanai subsidi bagi sekitar 60 juta warga Iran atau tiga perempat populasi negara tersebut.

Menurut Henry Rome, analis Iran di Eurasia Group, konsultan politik di Washington, pengumuman kenaikan harga bensin yang disampaikan tanpa peringatan itu menunjukkan pemerintah khawatir akan reaksi keras saat ekonomi sedang tertekan dan inflasi sudah berada di kisaran 40 persen. “Jelas, membuat keputusan ini segera berlaku pada tengah malam, tepat sebelum akhir pekan, mencerminkan kekhawatiran mereka tentang implikasi politiknya,” kata Rome kepada New York Times. Di sana, seperti umumnya negara Arab, akhir pekan berlangsung pada Jumat dan Sabtu.

Beberapa jam seusai pengumuman itu, kerumunan orang terjadi di kota-kota besar, termasuk Shiraz, Mashhad, Ahwaz, dan Bandar Abbas. Di beberapa tempat, protes berubah menjadi kekerasan. Berdasarkan video yang diunggah di media sosial, polisi antihuru-hara menyemprotkan gas air mata dalam satu konfrontasi dan menghancurkan kaca depan kendaraan di tempat lain.

Warga Iran menunjukkan kemarahan mereka di media sosial. Mereka menyebutkan kenaikan harga ini hanya akan menyakiti rakyat dan menciptakan lebih banyak celah untuk korupsi. Seperti banyak protes di sejumlah negara, tuntutan yang semula mempersoalkan ekonomi itu dengan cepat menjadi sikap anti-pemerintah.

Di Mashhad, kota konservatif religius di timur laut, orang-orang mematikan mobil mereka untuk membuat lalu lintas macet dan meneriakkan, “Rouhani, Anda memalukan. Pergi dari negara ini!” Pada hari kedua demonstrasi juga ada teriakan dari demonstran di lingkungan kelas menengah Teheran: “Kami tidak menginginkan Republik Islam.”

Dengan dalih mencegah kekerasan meluas, pemerintah mulai membatasi Internet. Menurut NetBlocks, organisasi non-pemerintah yang memantau akses Internet di seluruh dunia, gangguan dan pemadaman Internet mulai terjadi pada Jumat dan berlanjut sampai Sabtu. Pada hari ketiga unjuk rasa, Internet negara itu hampir mati total.

Ahmad, sopir taksi di Teheran, mengatakan, ketika ia mencoba terhubung ke Internet melalui telepon selulernya, sebuah pesan yang direkam mengatakan bahwa koneksi diputus atas keputusan Dewan Keamanan Nasional Iran. WhatsApp dan Instagram, yang digunakan secara luas oleh orang Iran, juga diblokir.

Mehdi Yahyanejad, direktur organisasi nirlaba NetFreedom Pioneers yang juga pakar keamanan dunia maya di Iran, menyebutkan pemblokiran ini untuk para pemrotes. “Dengan memutuskan Iran dari konektivitas Internet global, pihak berwenang berharap dapat menyembunyikan tindakan keras dan berdarah mereka terhadap rakyatnya,” ucap Michael Page, Wakil Direktur Human Rights Watch Timur Tengah.

Di sejumlah kota, seperti Behshahr, Shiraz, Teheran, dan Karaj, protes berubah menjadi kekerasan ketika orang-orang menyerang gedung-gedung pemerintah, membakar bank, mengoyak bendera nasional, serta menendang dan membakar monumen revolusioner.


 

“Pejabat keamanan mengancam keluarga dan menuntut kami segera mengakhiri kerja sama dengan Iran International.”

 


 

Sejumlah anggota parlemen mengaku tidak diberi tahu soal kebijakan ini dan berencana membuat undang-undang yang membatalkannya. Salahshouri, anggota parlemen reformis yang mewakili Teheran, ditelepon banyak konstituennya yang mengeluhkan soal ini.

Saat demonstrasi memasuki hari ketiga, Ayatullah Khamenei menyatakan mendukung kebijakan penjatahan dan kenaikan harga bensin ini karena sudah diputuskan oleh presiden, kehakiman, dan parlemen. Dukungan ini secara efektif mengakhiri upaya parlemen menentang keputusan tersebut.

Namun protes masyarakat terus berlanjut. Menurut New York Times, setidaknya dua anggota parlemen mengundurkan diri karena tidak diajak berkonsultasi soal kebijakan penting ini.

Menurut komandan polisi Teheran, Mohsen Khancherli, pasukan keamanan menangkap enam orang dalam operasi terpisah di Robat-Karim, daerah sebelah barat Provinsi Teheran. Dia mengatakan para tersangka telah mengakui aksi sabotase mereka. Jumlah pasti korban yang ditangkap belum diketahui. Menurut jurnalis Iran yang dikutip New York Times, jumlah korban tewas setidaknya 218 orang, lebih dari 1.900 orang terluka, dan sekitar 7.000 orang ditangkap.

Agen intelijen Iran juga mengancam jurnalis Iran yang melaporkan situasi buruk negaranya ke media luar negeri. Saman Rasoulpour, editor senior di stasiun televisi satelit Iran International yang berbasis di London, mengatakan anggota keluarganya diperingatkan bahwa ia dapat terluka jika terus bekerja di sana. “Pejabat keamanan mengancam keluarga dan menuntut kami segera mengakhiri kerja sama dengan Iran International,” katanya kepada Pusat Hak Asasi Manusia Iran (CHRI).

ABDUL MANAN (NEW YORK TIMES, TEHRAN TIMES, AL JAZEERA, PRESS TV)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Abdul Manan

Abdul Manan

Meliput isu-isu internasional. Meraih Penghargaan Karya Jurnalistik 2009 Dewan Pers-UNESCO kategori Kebebasan Pers, lalu Anugerah Swara Sarasvati Award 2010, mengikuti Kassel Summer School 2010 di Jerman dan International Visitor Leadership Program (IVLP) Amerika Serikat 2015. Lulusan jurnalisme dari kampus Stikosa-AWS Surabaya ini menjabat Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia 2017-2021.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus