Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARI itu mereka mengiringi jenazah Abdul Rahman Shadi, remaja 13 tahun dari kamp pengungsi Aida di Betlehem, ke permakaman. Dua belas jam sebelumnya, peluru tajam tentara pendudukan Israel telah menyerempet jantung Abdul Rahman yang muda dan sehat. Dengan dada berlubang, ia tersungkur di hadapan kawan-kawannya, sesama remaja yang mencoba menantang pasukan yang bersenjata lengkap itu.
"Dia bukan martir yang pertama, bukan pula yang terakhir, tapi dia telah menyumbangkan hidupnya untuk tanah air," kata ayahandanya.
Hari itu puluhan teman sekolah dan tetangganya di kamp Aida bersumpah akan membalas darah kawannya yang tumpah, dengan menumpahkan darah orang Yahudi. Inilah Palestina, 12 tahun setelah penandatanganan Kesepakatan Oslo 1993. Tiga surat kabar Israel yang terbit pada akhir pekan menyebutkan kekerasan yang berlanjut dengan kekerasan ini dengan headline yang sama: intifadah III. Gerakan sporadis dan individual anak-anak remaja yang tak terorganisasi, tak berafiliasi dengan partai politik mana pun ini tentu saja mengandung "ancaman" bagi Israel—juga bagi pemimpin Otoritas Palestina, Mahmud Abbas.
Ironis sekali, belum lagi sebulan setelah "kemenangan diplomasi" yang ditandai oleh pengibaran bendera Palestina di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, konflik Palestina-Israel mengalami eskalasi dramatis. Kekerasan warga Palestina dengan tentara Israel dan warga Palestina dengan warga Israel terjadi di Yerusalem, Tepi Barat, bahkan di Israel sendiri. Awal Oktober, di Tepi Barat dan Yerusalem Timur, 410 orang Palestina terluka, 6 tewas. Sementara itu, di tempat lain, 8 warga Israel luka-luka karena ditikam orang Palestina.
Memang kekerasan terjadi setelah para ekstremis Yahudi, termasuk anggota Knesset, parlemen Israel, semakin sering berdoa di kompleks Masjid Al-Aqsa. Padahal, sejak berabad-abad silam, orang Yahudi hanya diizinkan masuk ke kompleks Al-Aqsa tapi tidak untuk beribadah.
Dalam Kesepakatan Oslo antara Yordania dan Israel (1994), status quo ini dipertahankan. Kendati Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menyatakan ia berkomitmen mempertahankan keadaan ini, pembicaraan mengenai adanya Kuil Sulaiman di bawah Masjid Al-Aqsa merupakan topik hangat di kalangan orang Israel. Apalagi diam-diam pemerintah Netanyahu pernah berusaha menggali terowongan di bawah kompleks Masjid Al-Aqsa untuk mengambil bukti sejarah—bila dibiarkan akan meruntuhkan Masjid Al-Aqsa.
Tentu saja itu bukan satu-satunya pemantik kekerasan di negeri itu. Pembangunan permukiman Yahudi di wilayah-wilayah Tepi Barat dan Yerusalem terbukti telah memperbesar peluang konflik horizontal Yahudi-Palestina. Para pemukim bersenjata di dekat Kota Hebron, dua pekan lalu, menewaskan seorang remaja Palestina di Jalan Syuhada, Hebron. Sebelum itu, sejumlah pemukim sayap kanan pernah berbaris maju ke Hebron dan melecehkan warga Palestina di kota tersebut.
Di Tepi Barat, keadaan serupa dihadapi warga Palestina. Israel membangun jalan-jalan tol sedemikian rupa yang memotong desa-desa Palestina sehingga terbentuk kantong-kantong Palestina yang tidak lagi merupakan kesatuan teritori sehingga mustahil untuk membayangkan berdirinya negara Palestina merdeka kelak. Sementara itu, sejak 1995, tidak ada lagi kemajuan dalam proses perdamaian Israel-Palestina.
Intifadah memang bukan jalan keluar, melainkan cermin dari kebuntuan dan frustrasi yang panjang. Issa Qaraka, pejabat Fatah, tak menganggap semua ini bagian dari intifadah. "Apa yang kita lihat sekarang adalah kemarahan bersama, supaya Israel dapat mengontrol para pemukim," ujarnya.
Sementara intifadah I muncul di Jalur Gaza dan diorganisasi Hamas (1987-1993) serta intifadah II meletus di Tepi Barat dan dimobilisasi Fatah (2000-2005), intifadah III, yang bermula di Yerusalem Timur kemudian meluas ke Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Israel utara, tempat warga Israel keturunan Palestina, tidak berafiliasi dengan kelompok atau partai mana pun. Para pelakunya adalah generasi Kesepakatan Oslo (1993). Yang juga menarik dari intifadah III adalah keikutsertaan remaja perempuan.
Sayang sekali, di saat bersamaan, warga Palestina menyaksikan meruyaknya korupsi di tubuh Otoritas Palestina. Tak bisa tidak, tergeruslah lah wibawa dan legitimasi Mahmud Abbas. Menurut hasil jajak pendapat di Palestina baru-baru ini, 51 persen masyarakat Palestina menghendaki Abbas mundur, sedangkan 65 persen tidak percaya bahwa Kesepakatan Oslo yang diarsiteki Abbas dapat berujung pada solusi dua negara.
Idrus F. Shahab (The Guardian, BBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo