PEKAN ini, orang yang kalah perang, dua tahun lalu, masih tetap duduk di kursi kepresidenan. Orang yang menang, Rabu pekan ini, turun. Yang satu Saddam Hussein di Irak, dan yang lain George Bush di Amerika Serikat. Dua tahun lalu, kedua orang itu memenuhi media massa internasional, bahkan mengatrol tirasnya. Konfrontasi keduanya kala itu diperhatikan oleh mata dunia, dan sebelum perang meledak, berbagai analisa pun mengalir. Dan ternyata orang hanya menemukan sebuah antiklimaks. Sebagaimana Bush, yang menggerakkan mesin perang mahadahsyat, dibantu Inggris, Perancis, dan beberapa negara Arab, orang juga salah terka tentang kekuatan Saddam. Perang darat yang diduga bakal seperti Bharatayudha, habis-habisan, ternyata, ''plup'', hanya berjalan dalam hitungan hari. Itu pun lebih sebagai cerita pasukan yang tak menemukan perlawanan karena lawan ngacir atau angkat tangan. Lalu apa pasal bila pekan lalu Saddam seperti meledek keunggulan Amerika, dan sekali lagi kena hajar? Mungkin ia hendak mengejek Bush, yang segera tak lagi menjadi presiden, dan ia tetap saja pemimpin sebuah negeri, yang menurut judul sebuah buku, bernama Republik Ketakutan. Dan Bush sekali lagi hendak menunjukkan bahwa ia kuasa memaksa orang yang mengganggu untuk menaati peraturan atau menjatuhkan sanksi. Tapi waktu berada di pihak Saddam, karena ia tak perlu mengadakan pemilihan umum untuk memilih presiden baru Irak. Bush mestinya tak merasa perlu menantang dunia internasional dengan cara melanggar kedaulatan Irak, misalnya lalu menyerbu masuk lewat Kuwait. Musuh lamanya itu cukup ia titipkan saja pada Bill Clinton, yang meski banyak berbeda pandangan dengan Bush, dalam hal Irak keduanya, setidaknya sampai pekan ini, sepaham. Boleh disimpulkan, aksi Saddam pekan lalu tampaknya untuk menantang Clinton. Tapi mengapa Amerika (lebih tepat mengapa Bush) begitu ketat mengawasi Saddam? Ada banyak analisa, salah satunya, seperti dituangkan dalam bagian pertama Laporan Utama ini, itu merupakan bagian dari politik Bush di Timur Tengah. Amerika yang punya cukup besar investasi, dan cukup besar membutuhkan minyak dari kawasan ini. Dan agar itu semua berjalan baik, negara-negara di kawasan ini dibuat bergantung pada AS. Caranya, menghadirkan tokoh kuat yang siap meneror Timur Tengah, yang hanya bisa dilawan oleh AS. Dan itulah Saddam. Satu kemungkinan yang tak banyak dicoba dikaji, apakah sikap mengawasinya Bush itu tak juga berangkat dari sebuah nilai moral. Bukankah ia yang menjadikan Saddam kuat karena ia ingin melihat Iran dikalahkan Irak, dan karena itu Bush merasa wajib juga menjaga Saddam untuk tak menyebarkan kesengsaraan? Apakah bukan hal yang semacam ini pula kemudian membuat Bush mengambil jarak dengan Israel: Amerika yang membuat kuat Israel, dan karena itu Amerika pula yang mesti mengontrolnya bila kekuatan itu digunakan tak semestinya. Adanya dua tokoh menarik yang bermain catur di Timur Tengah inilah yang membuat pilihan Laporan Utama adalah soal pengeboman oleh AS dan sekutunya di wilayah larangan terbang di Irak pekan lalu. Dua hal dicoba disajikan. Pertama masalah politik AS di Timur Tengah, yang oleh beberapa pemimpin Arab dinilai berstandar ganda. Yang kedua, apa sebenarnya yang terjadi di Irak setelah kalah perang dua tahun lalu. Bisa jadi, di dalam negeri Irak (baca Saddam) tak merasa kalah. Dan konon itulah yang diajarkan di sekolah-sekolah Irak. Menurut majalah The Economist, seorang gadis 12 tahun yang ditanya soal perang yang lalu itu menjawab, ''Kuwait adalah bagian dari Irak, dan Irak menang perang.'' Dan karena kepemimpinan di AS berganti, dicoba juga menyajikan bagaimana kira-kira kebijaksanaan Clinton di Timur Tengah, terutama, nanti. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini