Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Cinta dalam darah dan kegelapan

Sutradara : francis ford copola skenario : james v. hart pemain : gary oloman, winona ryder, anthony hopkins, keanu reeves produksi: zoetrope/osiris resensi oleh:nirwan dewanto

23 Januari 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LONDON, 1897. Seorang lelaki berambut hitam panjang, dengan setelan jas abu-abu rapi, topi tinggi, dan kaca mata gelap berdiri di keramaian jalan. Ia khusyuk memandangi seorang perempuan cantik bergaun panjang warna biru muda yang berjalan tergesa. Dan mata keduanya beradu. Lelaki yang berasal dari Rumania itu terharu: ia teringat pada wajah yang sama -- wajah istrinya, yang mati bunuh diri empat abad sebelumnya. Dengan ini sebuah kisah cinta dimulai. Lelaki yang mengaku bernama Pangeran Vlad itu (Gary Oldman) bukan lelaki biasa. Ia pernah jadi panglima Kristen dalam Perang Salib, tapi balik menghujat Tuhan setelah kematian istrinya. Ia tak bisa mati, ia hidup ''di luar kasih Tuhan''. Dan perempuan itu, Mina Murray (Winona Ryder), juga bukan perempuan biasa. Ia reinkarnasi istri si pangeran. Dan kisah cinta dalam film arahan Coppola ini bukan cuma bumbu. Sekalipun tetap setia pada plot dan penokohan dalam novel horor karya Bram Stoker itu penulis skenario, Jim Hart, begitu membesarkan percintaan antara Vlad alias Dracula dengan Mina. Di sana sang vampir bukan lagi sosok hitam yang membenci seperti yang biasa diperankan Boris Karlov atau Christopher Lee, tapi sebuah watak kompleks yang merindukan kemuliaannya kembali. Bagi Vlad, vampirisme adalah beban yang disandangnya dengan capek, dan kini ia beroleh kesempatan: cinta yang bakal membebaskan jiwanya. Kita pun melihat pelbagai wujud lain makhluk pengisap darah itu: lelaki tua bangka berkuku panjang dan berjubah merah di istananya yang kuno, manusia setengah serigala setengah kera, sosok mirip kelelawar, ribuan tikus hitam, dan asap berwarna hijau. Wujud-wujud aneh itu tampak merupakan teror bagi jiwa si pangeran sendiri. Seakan-akan kejahatan Dracula bukanlah sesuatu yang primer, tapi harus ada demi bertahan diri selama empat abad, demi perburuan terhadap arwah istri tercintanya. Percintaan Vlad-Mina mungkin adalah cara terbaik untuk menggambarkan jiwa yang menjerit ingin dibebaskan. Dracula di tangan Coppola adalah sosok yang pantas dikasihani. Kehadirannya di London akhir abad lalu adalah sebuah paradoks. Sebagai sisa dari aristokrasi Eropa Timur pada Abad Perengahan, Vlad begitu kikuk menghadapi borjuasi Inggris yang sudah mulai akrab dengan bioskop, mesin telegraf, dan gramofon. Pemaparan masyarakat London yang begitu meyakinkan, dalam gambar-gambar bergaya baroque, telah membuat sang vampir begitu terasing. Seakan menolak vampirisme yang dihidupinya selama berabad-abad, suatu kali Vlad berkata kepada Mina bahwa sains tak mengenal batas. Dan musuh-musuh Dracula adalah wakil-wakil borjuasi yang terbaik: Abraham Van Helsing (Anthony Hopkins), dokter dan ahli hipnosa, yang memburu Dracula sebagaimana objek penelitian ilmiahnya, dan Jonathan Harker (Keanu Reeves), kekasih Mina dan pekerja firma hukum yang mengurus pembelian rumah oleh sang pangeran di London. Coppola (dengan dukungan Hart tentu saja) tetap saja mengejutkan. Konflik sang vampir dengan musuh-musuhnya itu misalnya. Pada saat tertentu hal itu tampak seperti konflik kelas, pada saat lain seperti perang dalam batin sang vampir sendiri. Cara bercerita melalui sudut pandang beberapa tokoh (yang memang sudah terkandung dalam novel Stoker) bukan saja untuk menggambarkan kehadiran sang vampir, tapi juga telah menelanjangi moralitas para pencerita masing-masing. Coppola juga mengaduk kengerian dan kelezatan dengan cepat. Misalnya, adegan pemenggalan kepala disusul cepat dengan adegan perjamuan di meja makan. Horor dalam film ini benar-benar tidak biasa. Hart dan Coppola dengan cerdik menyisipkan gagasan tentang penyelamatan jiwa dalam iman Kristiani. ''Hidupku dalam bentuknya yang terbaik adalah penderitaan,'' kata Dracula suatu kali. Wajah Pangeran Vlad mengingatkan kita pada wajah Kristus. Luka di dadanya sewaktu bercinta dengan Mina seperti luka Kristus di tiang salib. Hidupnya selama lebih dari empat abad mirip dengan kebangkitan Kristus setelah penyaliban. Tentu saja Dracula adalah anti-Kristus. Paralelisme semacam itu telah dimunculkan dengan unik untuk menggambarkan jiwa yang gelap, yang terbelenggu, yang menunggu dibebaskan. Film ini berakhir semacam melodrama. Mina, yang telah menjadi makhluk setengah vampir (karena cinta dan darah Vlad), menusuk jantung sang pangeran di istananya di Pegunungan Carpathia. Dalam sakaratul maut, wajah ngeri dan tua sang vampir berubah menjadi muda dan teduh -- seperti wajah Kristus lagi. Ia tersenyum, dan cahaya terang menyaput wajahnya. Lalu Mina memenggal kepala sang pangeran. Dan riwayat vampirisme berakhir: sang pahlawan Perang Salib mendapat kematian sejati, yang juga cinta dan pembebasaan jiwanya. Sudah 70 tahun film tentang vampir dibikin. Bersama Nosferatu karya Werner Herzog -- pernah ditayangkan RCTI beberapa waktu lalu -- Bram Stoker's Dracula agaknya merupakan puncak tertinggi yang dapat dicapai oleh sinema jenis itu. Nirwan Dewanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus