Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pesan politik lewat bom

George bush atau bill clinton tetap akan membom irak, jika saddam hussein tetap tak mengindahkan resolusi pbb. politik as di timur tengah masih politik minyak dan investasi.

23 Januari 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEORGE Bush boleh berlalu, tapi Irak tampaknya akan tetap dikepung pangkalan militer AS dan sekutunya. Setidaknya, selama Saddam Hussein masih menjadi presiden di negara berpenduduk 57 juta itu. Masalahnya, Bill Clinton, presiden baru AS yang dilantik Rabu pekan ini, sudah menyatakan tak akan mengubah ke- bijaksanaan Gedung Putih terhadap Saddam. ''Jika ia (Saddam) menginginkan perubahan hubungan Irak dengan AS dan PBB, yang perlu dilakukan hanyalah mengubah perilakunya,'' kata Clinton. Jadi, jika setelah pengeboman Rabu malam pekan lalu Irak tetap bandel, bom akan jatuh lagi. Misalnya Irak tak mau memindahkan rudal-rudalnya dari kawasan larangan terbang, dan tak mau membubarkan enam pos penjagaan di perbatasan Kuwait, tetap ada kemungkinan Saddam memperoleh kado sejumlah bom pintar lagi. Dan kemungkinan itu tetap berlaku, baik selagi bos di Gedung Putih masih George Bush maupun sudah Bill Clinton. Keseriusan AS bisa dilihat dengan dikirimkannya sekitar 1.000 pasukan AS dan 800 tank ke Kuwait. Kemungkinan bom Amerika dan sekutunya meledak lagi di Irak memang tak perlu dicari-cari. Saddam Husein tetap arogan. ''Lawanlah mereka seperti kalian melawan musuh Allah sebelum ini,'' kata presiden Irak itu mengobarkan semangat serdadunya. Dan perlawanan Rabu malam itu memang ada. Tapi semua pesawat penyerang AS dan sekutunya kembali kandang dengan selamat. ''Mereka menembakkan artileri penangkis serangan udara dan peluru kendalinya, tapi tak ada yang mengenai sasaran,'' tutur seorang pilot AS yang berpangkalan di kapal induk Kittyhawk yang berada di lepas pantai Teluk Persia itu. Ini dapat dimaklumi. Peluru kendali buatan Rusia SAM 2 dan SAM 3 itu meluncur tanpa kendali. Radar penuntun rudal-rudal itu sudah dihajar lebih dahulu oleh enam pesawat tempur penyelinap (Stealth) F-117 yang menyerang paling dini. Selain itu, ini kata Irak, sebagian radar sengaja dimatikan pancaran sinyal elektroniknya agar tak dapat dihajar oleh rudal AS yang khusus dirancang mencari gelombang radar. Tipu daya Irak itu ternyata ada manfaatnya juga. Pentagon mengaku bahwa tak semua bom pintarnya mengenai sasar- an.''Kami perkirakan 21 pesawat mengenai sasarannya,'' kata Pete William, juru bicara Pentagon. Yang lain ternyata me- lenceng, bahkan ada yang mengenai bangunan apartemen sekitar 1,5 km dari sasaran sebenarnya. Pemerintah Irak mengumumkan 19 orang tewas akibat serangan ini, termasuk dua orang sipil yang katanya adalah ayah dan anak. Tapi keberhasilan yang lebih dari 50% itu sudah membuat Presiden Bush menganggap serangan itu berhasil. Terutama berhasil ''memberi pesan yang tegas kepada Saddam''. Bagi Bush, pesan politik tindakan militer ini memang jauh lebih penting daripada hasil-hasilnya secara militer. Apa pesan itu? Kata Richard Haas, pakar Timur Tengah di Dewan Keamanan Nasional AS, serangan itu untuk ''menunjukkan kepada Irak bahwa pelanggaran yang dilakukannya tak dapat ditoleransi''. Pelanggaran yang dimaksudkan oleh Haas ada beberapa macam. Awalnya adalah tindakan Irak memasang sejumlah rudal an- tipesawat di dalam kawasan larangan terbang di selatan garis lintang 32 derajat. Itulah kawasan tempat pesawat terbang ataupun helikopter Irak tak boleh mengudara. AS dan sekutunya menganggap ini adalah bagian dari resolusi PBB nomor 688 yang mengecam Irak karena menggempur kelompok minoritas Syiah di selatan dan Kurdi di utara. Tapi benarkah pesan kitu sampai? Irak mempunyai interpretasi lain. ''Kami harus bereaksi terhadap pengukuhan kawasan la- rangan terbang yang ilegal dan tidak adil itu,'' kata Wakil Perdana Menteri Tariq Aziz. Maklum, resolusi 688 memang tak menyebut soal no fly zone ini, melainkan hanya melarang Irak menghantam kedua suku minoritas Syiah dan Kurdi berdasarkan alasan kemanusiaan (lihat Syiah dan Kurdi Tetap Sengsara). Tapi seandainya penafsiran AS terhadap resolusi PBB satu itu terlalu jauh, mestinya Dewan Keamanan PBB akan membuat te- guran pada anggota tetapnya ini. Tampaknya ini semua ada latar belakangnya. Pihak PBB tak menjelaskan secara rinci perlindungan terhadap suku Kurdi dan Syiah dengan menerapkan kawasan larangan terbang, karena belum-belum RRC -- juga salah satu anggota tetap Dewan Keamanan PBB -- mengancam akan memvetonya. RRC khawatir ini akan menjadi preseden perestuan tindakan militer PBB terhadap anggotanya hanya berdasarkan alasan kemanusiaan. ''Irak memang sudah mengadu kepada Biro Koordinasi Gerakan Nonblok mengenai perlakuan yang dianggapnya tak adil ini,'' kata Nugroho Wisnumurti, ketua Biro Koordinasi Gerakan Nonblok di New York. ''Hanya saja tak ada satu anggota pun yang menanggapi keluhan itu. '' Soalnya, memang Irak dianggap tak hanya melanggar kawasan larangan terbang. ''Irak juga mengabaikan kesepakatan PBB tentang penentuan tapal batas Irak-Kuwait,'' kata wakil tetap RI di PBB itu. Tapi Irak memang boleh kecewa terhadap penentuan perbatasan setelah Perang Teluk II usai, dan Irak di pihak yang kalah itu. Sebagian daerah yang oleh Irak diakui sebagai wilayahnya dinyatakan oleh panitia sebagai wilayah Kuwait. Dan ini bukan cuma sebidang tanah, melainkan mencakup pangkalan angkatan laut Irak satu-satunya di Teluk Persia, dan sebuah sumur minyak yang diduga sangat besar potensinya. Jadi bisa dipahami jika Irak ngotot ingin mempertahankan pintu satu-satunya ke laut bebas itu. Antara lain dengan mengirim ratusan warga berpakaian sipil untuk mengambil kembali berbagai perangkat perangnya yang disita oleh inspektur PBB. ''Kami menganggap barang itu sudah di- kembalikan kepada kami karena tak termasuk sebagai senjata yang harus dimusnahkan,'' kata Duta Besar Irak di PBB, Nizar Hamdoon. Pelanggaran Irak yang lain adalah menyatakan melarang in- spektur PBB menggunakan pesawat miliknya sendiri di wilayah Irak. ''Kalau rakyat Irak tak boleh terbang di wilayahnya sendiri, pejabat PBB juga harus mengalaminya,'' kata Hamdoon. Pejabat PBB baru boleh terbang di wilayah Irak bila memakai pesawat Irak. Pihak PBB langsung menolaknya karena, ''Pesawat Irak tak terjamin keselamatannya dan kami jadi tak bebas melakukan inspeksi.'' Tapi Irak meremehkan semua ancaman, maka bom pun berjatuhan dari armada udara AS. Apa kata Saddam? Konon Irak berbangga karena serangan itu tak menimbulkan kerusakan besar. Tapi, harap dimaklumi, AS dan sekutunya tak menghendaki Irak porak-poranda dan kacau karena serangan dahsyat. Sebab, serangan yang sampai membuat Irak terpecah, apalagi menimbulkan perang saudara besar yang mungkin tak akan ada ujung-pangkalnya, misalnya sebagaimana yang terjadi di Somalia, bisa merugikan politik dan kepentingan AS dan sekutunya di Timur Tengah. Keberadaan Irak masih diharapkan oleh AS dan juga kelompok negara-negara Arab untuk menjadi benteng kuat menghadapi Iran. Penyebaran revolusi Islam Khomeini sangat dicemaskan. Berubahnya monarki di Arab menjadi republik Islam yang radikal mirip Iran dikhawatirkan merugikan kepentingan Amerika, terutama. Lihat saja menurut The World Almanac and Book of Facts 1992, ketergantungan Amerika akan minyak dari Timur Tengah masih lebih dari 13% dari kebutuhan seluruhnya. Dan di kawasan ini (Mesir, Israel, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab) investasi Amerika, swasta maupun pemerintah, hampir US$ 5,5 triliun. Jadi, misalnya terjadi nasionalisasi perusahaan AS di negara-negara Arab, dan hubungan dengan negara-negara itu retak karena revolusi Iran menyentuh kawasan tersebut, kerugian Amerika akan sangat besar. Itu sebabnya, Amerika tak benar-benar menyokong berdirinya negara suku Kurdi yang merdeka, karena etnis ini dianggap dekat dengan Iran. Juga, kawasan larangan terbang di wilayah kelompok Syiah di Irak baru diterapkan Agustus tahun lalu, setelah Amerika yakin bahwa kelompok ini tak berniat melepaskan diri dari Irak dan mendirikan negara yang dekat dengan Iran yang Syiah itu. Walhasil, boleh saja orang menyimpulkan, bila Saddam harus jatuh, ia jatuh oleh revolusi dari dalam, misalnya oleh kelompok militernya sendiri. ''Selain sebagai pelajaran, serangan udara AS ke Irak tampaknya dimaksud sebagai pemancing munculnya pemberontakan di dalam negeri,'' kata John Wallach, pakar Timur Tengah yang disewa jaringan televisi Amerika ABC. Ini lebih aman, karena diduga tak akan menimbulan gejolak di kawasan Timur Tengah, dan Irak masih bisa tetap bisa dijadikan momok oleh AS bagi kawasan ini. Tapi, ada pendapat lain. Tindakan Amerika selama ini sebenarnya tak mencerminkan ke arah jatuhnya Saddam. Justru serangan itu menjadi bahan buat Saddam untuk membelokkan kemarahan dan kebencian rakyat Irak padanya ke arah Amerika. Amerika, itulah yang membuat sengsara kalian, begitu kira- kira Saddam bisa berujar. Mengapa Saddam harus menggoda AS agar mengebom wilayahnya bila ia memang tak membutuhkan peristiwa itu? Dengan kata lain, Saddam sengaja mencari gara-gara agar perhatian rakyat Irak yang menderita secara ekonomis berpaling menjadi patriotis. Juga, serangan ini bisa saja menimbulkan simpati internasional, terutama di Dunia Ketiga, terhadap Irak. Lihat saja reaksi pertama beberapa negara Arab, langsung mengkritik Amerika memakai standar ganda. Mengapa Irak di- gebuk sedangkan Israel yang juga bandel terhadap resolusi Dewan Keamanan PBB (terakhir tentang pengusiran 400-an warga Palestina) dibiarkan? Namun, tak jelas adakah karena suara negara Arab atau memang ada tanda-tanda Amerika akan berubah, ternyata di Israel muncul kekhawatiran juga. ''Kami sadar Dewan Keamanan mungkin akan menelurkan resolusi yang tak mengenakkan kami,'' kata seorang pejabat negara Yahudi ini kepada harian New York Times. Dan boleh jadi, teori ''sekadar protes'' akan surut, untuk digantikan tindakan nyata terhadap negara pelanggar kesepakatan internasional. Teori lama itu, tulis Hemi Sha- lev, koresponden harian Davar, ''tampaknya cuma berlaku bagi tata dunia lama.'' Tapi itu memang baru teori dan baru kekhawatiran Israel. Sejauh ini yang bisa dilihat: tanpa ada kepentingan tertentu, AS setidaknya ogah-ogahan bertindak. Politik AS di Timur Tengah masih politik minyak dan investasi. Bila Amerika benar-benar ingin menjatuhkan Irak, tulis editorial majalah Inggris The Economist, mesti diingat nasihat ayah bagi anak-anaknya ketika menghadapi teman-teman penggodanya: jangan diperhatikan. Perhatian terhadap Saddam, apa pun bentuknya, justru akan lebih mengukuhkan keberadaannya. Bambang Harymurti (Washington DC)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus