SEJAK kawasan larangan terbang diberlakukan di Irak bagian selatan Agustus tahun lalu oleh Amerika Serikat, Inggris, dan Perancis, sebenarnya Irak sudah beberapa kali melakukan pelanggaran. Beberapa hari setelah diberlakukan, Presiden Saddam Hussein masih mengirimkan pesawat tempur bersayap campuran dan helikopter AU, untuk menggempur basis-basis pemberontak Syiah di selatan Irak. Baru setelah AS dan sekutunya mengerahkan sejumlah pesawat tempur -- antara lain Stealth dan pesawat pengintai AWACS dan Tornado dari Inggris untuk melakukan patroli udara -- pelanggaran oleh Irak mulai mereda. Dan baru terjadi lagi Januari ini, dan akhirnya sebuah MiG-25 Irak ditembak jatuh oleh AS. Sebenarnya ulah Irak di kawasan larangan terbang itu tak sepenuhnya salah. Larangan itu sebenarnya ditetapkan secara sepihak oleh AS, Perancis, dan Inggris, tanpa melalui persetujuan Dewan Keamanan PBB. Ketiga negara itu menyepakati menerapkan kawasan larangan terbang hanya bersandar pada Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 688, April 1991. Padahal resolusi tersebut hanya mengecam perlakuan Presiden Saddam Hussein terhadap suku Kurdi dan kaum Syiah di Irak, tanpa adanya ancaman sanksi. Saddam, yang menggunakan pesawat untuk mengebomi Kurdi dan kaum Syiah, akhirnya lebih menyengsarakan anak-anak dan wanita kedua kelompok tersebut. Ketika ketiga negara Barat itu sepakat menerapkan kawasan larangan terbang di Irak bagian selatan itu, alasan yang dikatakan adalah untuk melindungi kaum Syiah dan Kurdi dari pengeboman itu. Kenyataannya, setelah hampir setahun larang- an diterapkan, kaum Syiah tak merasakan manfaat perlindungan tersebut. Memang, kemudian tak ada lagi pesawat Irak yang mengebom permukiman Kurdi dan Syiah. Tapi, tanpa menggunakan satu pesawat pun, tentara Irak bisa melakukan serangan ke desa-desa kaum Syiah di wilayah selatan Irak itu melalui darat. Deru pesawat pengintai Sekutu, yang melakukan patroli udara di langit Irak, bisingnya sampai ke bawah. Tapi di bawah, penindasan tentara Saddam terhadap kaum Syiah dibiarkan saja oleh patroli itu. Musim panas tahun lalu, misalnya, Saddam memerintahkan penghancuran 360 gubuk di perkampungan Syiah. ''Beri mereka uang dan lokasi baru. Gilas dengan buldoser, kalau mereka tak mau,'' perintah Saddam yang disiarkan televisi lokal. Insiden yang dilaporkan oleh majalah Middle East itu menyusul berita penyerangan oleh sekitar 6.000 tentara Irak ke kawasan Syiah. Selain serangan darat dari tentara Irak, kaum Syiah di selatan itu pun menderita karena ulah Saddam yang lain. Sumber-sumber air di selatan makin lama makin tipis. Sebabnya, Saddam Hussein memerintahkan untuk menyalurkan air dari rawa-rawa di selatan. Alasan yang disiarkannya, itu untuk mencegah penyusup dari Iran masuk ke Irak. Sebab, kata Saddam, kaum Syiah berani memberontak karena adanya bantuan dari Iran. Mungkin soal penyusupan dari Iran ada benarnya. Tapi proyek pengeringan rawa itu pun ada tujuannya yang lain. Ternyata air rawa itu disalurkan ke Baghdad dan Irak tengah melalui sungai bikinan, untuk dipakai mengairi pertanian di wilayah itu. Tentu saja setelah air rawa itu diproses. Manfaat kawasan larangan terbang di Irak bagian utara pun, yang sudah terlebih dahulu diterapkan oleh Amerika Serikat dan sekutunya, tak jelas. Di selatan katanya untuk melindungi kaum Syiah, sedangkan yang di utara, yang sudah sejak April 1991 diterapkan, untuk melindungi suku Kurdi di Irak. Perlu dicatat, suku Kurdi tersebar bermukim di tiga negara: Irak, Turki, dan Iran. Suku Kurdi di Irak pada akhir 1980-an memang paling menderita. Ceritanya, dalam perang Irak-Iran, suku Kurdi di Irak ternyata berpihak pada Iran. Inilah yang menyebabkan pada awal 1988 tentara Iran berhasil menguasai Kurdistan (Irak), karena dibantu suku Kurdi yang tinggal di Irak. Sebaliknya, serbuan pasukan Irak ke Kurdistan (Iran) dipukul mundur karena tentara Iran dibantu suku Kurdi di Iran. Maka, begitu gencatan senjata dicapai, Agustus 1988, Saddam memburu-buru suku Kurdi yang dianggapnya berkhianat. Tapi, sampai 1991, Saddam tak pernah benar-benar bisa mendepak suku Kurdi keluar dari Irak. Yang bisa dilakukan Saddam hanya mengebomi permukiman Kurdi di Irak. Akibatnya, suku Kurdi terlunta-lunta mengungsi ke bukit-bukti dan terpaksa hidup di kemah-kemah. Ini yang menyebab kan Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang mengecam Irak. Ketika itulah AS, Perancis, dan Inggris tergerak menerapkan kawasan larangan terbang untuk melindungi suku Kurdi dari pengeboman pesawat-pesawat Irak. Memang, dibandingkan dengan kaum Syiah Irak di selatan, manfaat kawasan larangan terbang dirasakan oleh suku Kurdi. Soalnya, tak mudah bagi tentara Irak menyerang suku Kurdi di bukit-bukit Kurdistan tanpa bantuan pesawat tempur. Tapi, hal ini tak membantu suku Kurdi mendapatkan wilayah otonom yang aman. Seperti diketahui, setelah putus asa karena diburu oleh tentara Saddam, suku Kurdi di Irak meninggalkan cita-cita mendirikan negara untuk suku Kurdi, dan hanya ingin memperoleh wilayah otonom. Ini juga karena Turki dan Iran, dua negara yang juga ketempatan suku Kurdi, tak setuju berdirinya sebuah negara Kurdi merdeka. Dikhawatirkan, suku Kurdi di Iran dan Turki akan tersulut semangatnya, dan menuntut hal yang sama: wilayah independen. Bila dua kawasan larangan terbang ternyata tak benar-benar bisa melindungi suku Kurdi dan kelompok Syiah, untuk apalagi bila tak untuk mengontrol Irak, persisnya mengawasi Saddam Hussein? DP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini