Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perundingan Rusia dan Ukraina untuk mengakhiri perang.
Kedua pihak masih berkukuh dengan posisi masing-masing.
Kemungkinan perundingan multilateral yang melibatkan sejumlah pemimpin dunia perlu dibuka.
UPAYA perundingan untuk mengakhiri perang Rusia-Ukraina, yang sudah berlangsung sebulan, masih macet. Setelah lima kali putaran perundingan di perbatasan Belarus, tak ada kemajuan yang dicapai. “Proses negosiasi sangat sulit,” kata Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba pada Jumat, 25 Maret lalu, seperti dikutip Reuters.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Delegasi Ukraina telah mengambil posisi yang kuat dan tidak akan melepaskan tuntutan. Kami berkukuh, pertama-tama, pada gencatan senjata, jaminan keamanan, dan integritas teritorial Ukraina,” ujar Kuleba.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keterangan Kuleba berbeda dengan pernyataan Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan pada Kamis, 24 Maret lalu. Dalam konferensi pers setelah Konferensi Tingkat Tinggi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Brussels, Erdoğan menyatakan Kyiv dan Moskow hampir mencapai konsensus untuk empat dari enam poin negosiasi utama, yakni ihwal NATO, perlucutan senjata, jaminan keamanan, dan perlindungan bahasa Rusia.
“Namun ada masalah Krimea dan Donbas yang tidak mungkin disetujui Ukraina. Saya pikir Zelenskyy telah menunjukkan kepemimpinan yang bijaksana untuk membawa masalah ini ke referendum dengan mengatakan, ‘Itu keputusan yang harus dibuat oleh seluruh rakyat Ukraina’,” tutur Erdoğan dalam siaran pers yang dikeluarkan Kantor Kepresidenan Turki. Meskipun demikian, “Kami akan melanjutkan pembicaraan kami dengan (Presiden Rusia Vladimir) Putin dan (Presiden Ukraina Volodymyr) Zelenskyy.”
Kuleba menyatakan penjelasan Erdoğan itu tidak benar, tapi Ukraina sangat berterima kasih kepada Turki “atas bantuan politik dan kemanusiaan mereka serta upaya diplomatik yang bertujuan mengakhiri perang Rusia-Ukraina”. Dia menegaskan, tidak ada konsensus tentang poin-poin penting perundingan dengan Rusia, termasuk mengenai bahasa. “Bahasa Ukraina adalah dan akan menjadi satu-satunya bahasa negara di Ukraina,” katanya.
Turki masuk ke gelanggang perundingan Rusia-Ukraina setelah Presiden Rusia Vladimir Putin menelepon Erdoğan pada Kamis, 17 Maret lalu. Dalam perbincangan selama setengah jam itu, Putin menyampaikan sejumlah tuntutan Rusia untuk kesepakatan damai dengan Ukraina.
Menurut keterangan juru bicara Erdoğan, Ibrahim Kalin, kepada BBC, Rusia, antara lain, meminta Ukraina netral dan tidak mengajukan diri untuk bergabung dengan NATO. Ukraina juga harus menjalani perlucutan senjata untuk memastikan negeri itu bukan ancaman bagi Rusia. Rusia juga meminta perlindungan bahasa Rusia di Ukraina dan sesuatu yang disebut “denazifikasi”.
Selain itu, ada tuntutan Rusia yang, menurut Putin, membutuhkan perundingan langsung antara dia dan Zelenskyy. Menurut Kalin, tuntutan itu antara lain menyangkut status Donbas dan Krimea.
Donbas adalah kawasan Ukraina timur yang telah lama bergolak yang meliputi pula Donetsk dan Luhansk. Kelompok separatis di dua daerah itu kemudian mendirikan Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Luhansk. Salah satu alasan Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari lalu adalah melindungi penduduk Donetsk dan Luhansk. Putin juga menyebut operasi militer Rusia itu bertujuan melakukan demiliterisasi dan denazifikasi di Ukraina.
Duta Besar Rusia untuk Indonesia, Lyudmila Vorobyova, menyebut istilah “denazifikasi” itu merujuk pada ideologi rezim Ukraina pro-Barat yang anti-Rusia. “Bagi rezim Kyiv, orang-orang yang berbicara dalam bahasa Rusia tidak manusiawi. Dan mereka mulai menindas orang-orang yang dianggap Rusia di Ukraina,” ujarnya kepada Tempo pada Februari lalu.
Vladimir Medinsky, mantan Menteri Kebudayaan Rusia dan pemimpin perundingan dengan Ukraina, menyatakan Moskow menghendaki perjanjian komprehensif yang memperhitungkan hal-hal penting bagi Rusia. “Kami berkeras diadakan perjanjian yang komprehensif, yang, selain status netral dan jaminan keamanan Ukraina, memperhitungkan sejumlah posisi yang sangat penting bagi negara kami—demiliterisasi, denazifikasi, penentuan dan pengakuan Krimea dan Donbas,” ucap Medinsky dalam konferensi pers pada Jumat, 25 Maret lalu.
Ukraina, kata Medinsky, terutama khawatir mengenai jaminan keamanan dari pihak ketiga jika Ukraina tidak bergabung dengan NATO. “Posisi ini cukup bisa dipahami,” tuturnya.
Rusia secara eksplisit menawarkan status netral Ukraina dengan mengizinkan negara itu memiliki angkatan bersenjata yang terbatas sebagai bentuk kompromi. “Ukraina menawarkan versi Austria atau Swedia dari negara netral, negara demiliterisasi, tapi pada saat yang sama sebuah negara dengan tentara dan angkatan lautnya sendiri,” ujar Medinsky.
Menurut Medinsky, perundingan berjalan lambat karena delegasi Ukraina tidak bisa memberikan jawaban langsung. “Sayangnya, kami melihat rekan-rekan Ukraina berusaha menunda negosiasi. Mereka tidak bergegas, percaya bahwa waktu ada di pihak mereka, dan secara terbuka mengatakan bahwa mereka memiliki banyak pusat pengambilan keputusan yang perlu berkoordinasi satu sama lain,” ucapnya seperti dikutip Interfax.
Di tengah kemacetan perundingan ini, selain Turki, beberapa negara berusaha maju sebagai penengah. Perdana Menteri Israel Naftali Bennett, misalnya, berusaha menjembatani kedua negara dan telah menelepon Zelenskyy dan Putin. Zelenskyy memberi isyarat kemungkinan perundingan bisa dilakukan di Israel daripada di Belarus seperti sekarang. Namun belum ada tanda-tanda kemajuan dari rencana Bennett ini. Presiden Prancis Emmanuel Macron sudah bercakap-cakap dengan Putin, tapi belum bermuara pada rencana perundingan damai.
Duta Besar Ukraina untuk Indonesia, Vasyl Hamianin, tidak yakin perundingan langsung Ukraina dan Rusia akan berhasil karena pihak Rusia hanya melemparkan propaganda. Menurut dia, masalah ini membutuhkan beberapa mediator. “Pengalaman kami mengajarkan bahwa satu mediator tidak bisa menekan Rusia,” katanya dalam konferensi pers virtual pada Selasa, 22 Maret lalu.
Hamianin cenderung setuju perundingan dilakukan secara multilateral dengan melibatkan sejumlah negara dan para pemimpin dunia harus berpartisipasi di dalamnya. Namun, “Perundingan ini harus cepat karena kami tidak punya banyak waktu. Setiap hari orang-orang mati, warga sipil terbunuh, bom jatuh di tanah air kami.
Perundingan ini haruslah sangat-sangat cepat,” ujarnya.
Hamianin berharap peran aktif anggota G20 dan posisi Indonesia sebagai Presiden G20 tahun ini dapat membantu perundingan damai tersebut. Saat berkunjung ke Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan, Hamianin bahkan berharap Vladimir Putin tidak diundang ke pertemuan puncak G20 pada Oktober nanti.
Presiden Amerika Serikat Joe Biden menegaskan kembali bahwa militer Amerika tidak akan mengintervensi langsung perang di Ukraina karena hal itu bisa menciptakan bencana yang lebih besar. Namun dalam konferensi pers setelah pertemuan NATO di Belgia, dia mengatakan langkah-langkah lain untuk mengisolasi Rusia sedang dijalankan, termasuk mendesak Rusia dikeluarkan dari G20.
“Hal itu mengemuka hari ini dan saya mengangkat kemungkinan bahwa, jika hal itu tidak dapat dilakukan—jika Indonesia dan (anggota G20) yang lain tidak setuju—menurut saya, kita harus meminta Ukraina juga dapat menghadiri pertemuan tersebut,” tuturnya seperti dikutip CNN.
IWAN KURNIAWAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo