Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pesan Damai kepada Amerika

Mantan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter mendapat hadiah Nobel Perdamaian 2002.

13 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Telepon berdering di sebuah rumah di Atlanta pada pukul 04.30 pagi. Dan tuan rumah, Jimmy Carter, terpaksa bangun lebih cepat 30 menit dari waktu bangun tidurnya yang biasa. Namun telepon itu, yang datang dari Norwegia, ternyata membawa sebuah kabar istimewa. Jimmy Carter, mantan Presiden Amerika Serikat (AS), ditetapkan sebagai pemenang hadiah Nobel Perdamaian 2002. Laki-laki berusia 78 tahun ini juga mendapat US$ 1 juta (sekitar Rp 9 miliar). "Saya amat berterima kasih kepada Komite Nobel karena memilih saya," komentar Carter. Jumat pekan silam, dia terpilih untuk Nobel paling bergengsi itu setelah mengalahkan 156 unggulan lain. Nama Carter baru diketahui publik ketika Komite mengumumkannya pada hari H, 11 Oktober 2002. Ini berbeda dengan acara Nobel Perdamaian tahun-tahun sebelumnya—ketika selalu ada bocoran akurat tentang pemenangnya. Kelima anggota Komite Nobel Norwegia rupanya sudah sepakat betul untuk tutup mulut rapat-rapat sampai saat pengumuman. Padahal, pada awal Oktober lalu, Geir Lundestad, Kepala Institut Nobel, menyatakan komite penilai sudah mencapai kata sepakat. Pengumuman pemenang Nobel Perdamaian ini merupakan puncak acara setelah pemberian hadiah Nobel kepada 12 orang di bidang sastra, kimia, fisika, kesehatan, dan ekonomi. Dalam pertimbangan mereka, panitia Nobel menyebutkan bahwa Carter berjasa karena "usaha yang tiada henti dalam mencari solusi damai konflik-konflik internasional, mengembangkan demokrasi dan hak asasi manusia, serta membantu pengembangan ekonomi dan sosial". Kiprah mantan presiden dari kota kecil Plains—penghasil kacang di Atlanta, Georgia—sebagai aktivis perdamaian dilakukan atas nama Carter Center. Selama 20 tahun, yayasan yang dia dirikan bersama istrinya, Rosalynn, aktif melakukan berbagai mediasi damai antara dua negara yang bermusuhan. Mereka juga menjadi pengawas independen pemilihan umum di negara-negara yang belum demokratis dan memberikan bantuan makanan, obat-obatan, serta layanan kesehatan di negara-negara miskin. Banyak negara termiskin di Asia dan Afrika serta daerah konflik di dunia ini sudah pernah dijamah oleh aktivitas Carter Center. Sebenarnya, presiden Partai Demokrat 1978-1981 ini sudah berkali-kali dicalonkan menjadi penerima Nobel Perdamaian. Pada 1978, Carter bahkan hampir mendapat Nobel Perdamaian karena jasanya mempertemukan Presiden Mesir Anwar Sadat dengan Perdana Menteri Israel Menachem Begin untuk menandatangani Perjanjian Champ David. Perjanjian ini menjadi landasan perdamaian di Timur Tengah. Mengiringi Nobel Perdamaian kali ini, pemimpin Komite Nobel Gunnar Berge memberikan "pesan sponsor" kepada Carter. Dalam pidato pengumuman hadiah, Berge menyebutkan, dalam dunia yang didominasi penggunaan kekuasaan, Carter tetap percaya bahwa setiap konflik jauh lebih baik diselesaikan melalui perundingan yang menghormati hak asasi manusia. "Posisi Carter (sebagai pemenang Nobel Perdamaian) dapat dan harus dilihat sebagai kritik terhadap garis kebijakan pemerintah AS terhadap Irak," kata Berge. Pilihan pada pemenang Nobel Perdamaian umumnya selalu dikaitkan dengan upaya meredakan konflik internasional. Pada 1994, misalnya, Nobel Perdamaian diberikan kepada tiga orang sekaligus yang dinilai berjasa dalam perdamaian Timur Tengah. Mereka adalah Yasser Arafat (saat itu jabatannya masih Pemimpin Organisasi Palestina Merdeka), Menteri Luar Negeri Israel Shimon Peres, dan Perdana Menteri Yitzak Rabin. Sayang, "pesan sponsor" itu tidak selalu berhasil. Konflik Israel-Palestina tetap berlanjut. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Kofi Annan, yang mendapat Nobel Perdamaian pada 2001, juga tidak berhasil mencegah tentara AS menghujani bom ke Afganistan—yang dianggap sarang Usamah bin Ladin dan Al-Qaidah—sebagai serangan balasan terhadap tragedi 11 September 2001. Pertanyaannya, apakah pesan Komite Nobel kali ini akan berpengaruh terhadap kebijakan pemerintah AS terhadap Irak. Apakah hadiah ini akan membuat jengah pemerintah Amerika yang sudah gregetan betul untuk menghajar Saddam Hussein? Boleh jadi hal ini akan menjadi prioritas Carter: melobi juniornya, Presiden George Bush—yang beberapa jam sebelum Nobel diumumkan, mendapat persetujuan Kongres untuk menyerang Irak. Bina Bektiati (CNN, Hompage Nobel, The Economist, The Washington Post)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus