Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Menuang Minyak ke dalam Api

Mengabaikan resolusi PBB, Amerika mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

13 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Puing dan mesiu masih mengambang di Ramallah. Dan belum lagi kantor Presiden Palestina Yasser Arafat sepenuhnya berfungsi, Amerika Serikat menjatuhkan "bom politik" ke situ. Ia adalah bom yang lebih dahsyat dari serangan mortir pasukan Israel beberapa pekan sebelumnya, yang secara fisik sukses melumpuhkan kota itu. Dua pekan lalu Presiden George W. Bush meratifikasi usulan Kongres Amerika soal anggaran luar negeri, yang meliputi operasi diplomatik di Timur Tengah. Dengan meratifikasi usulan itu, Bush secara tak langsung mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Di samping mengusulkan bantuan baru sebesar US$ 300 juta kepada Israel, yang sepertiga di antaranya untuk pembelian senjata, Kongres mengusulkan agar Amerika memindahkan kedutaan dari Tel Aviv ke Yerusalem. Kongres juga meminta agar semua dokumen pemerintah Amerika yang berkaitan dengan Israel menyebutkan Yerusalem sebagai ibu kota negeri itu. Langkah Bush membuat geram Palestina. "Tindakan tersebut sangat tercela dan ilegal," ujar Nabil Shaath, menteri dalam kabinet Arafat. "Amerika tidak punya hak menyerahkan ibu kota rakyat Palestina kepada Israel," ia melanjutkan. Selama 30 tahun terakhir, Palestina memang menganggap bagian timur Kota Yerusalem sebagai ibu kotanya yang sah. Gedung Putih mencoba meredakan amarah. Meski meratifikasi usulan Kongres, kata juru bicara Gedung Putih, Ari Fleischer, Presiden Bush tidak akan mematuhi semua pasal, khususnya dalam soal Yerusalem. Presiden Bush, kata Fleischer, berjanji tak akan memindahkan Kedutaan Amerika ke Yerusalem. "Kebijakan kami mengenai Yerusalem belum berubah," ujar Fleischer, "Kami memandang apa yang dikeluarkan Kongres hanyalah advisory, bukan kewajiban." Janji itu tidak menghentikan kecaman. Sebab, pada 1995, Kongres pernah mengajukan usulan serupa, tapi Presiden Bill Clinton tak pernah mau menandatanganinya. Presiden Bush sebaliknya. Dalam rangka membujuk Kongres mendukung serangan ke Irak, ia mengor bankan Palestina. Bagaimanapun, mendukung klaim Israel atas Yerusalem memang menjadi salah satu tema kampanye Bush dalam pemilihan presiden dua tahun lalu. Timur Tengah berderak. Sehabis salat Jumat di Masjid Al-Aqsa, Yerusalem, rakyat Palestina berdemo dan melempari Tembok Ratapan Yahudi, tak jauh dari masjid. Di Mesir, ribuan orang juga melakukan demo di Al-Azhar. Para perempuan mendatangi Kedutaan Amerika di Kairo. Para pemimpin dunia juga bersuara. Pemerintah Suriah, Yordania, Arab Saudi, dan Mesir mengecam Kongres. Rusia dan Malaysia menyusul. "Kebijakan itu tidak membantu sama sekali," ujar Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, "Seperti menuang minyak ke api." Dan, menurut Mahathir, itu hanya akan meningkatkan kemarahan rakyat Palestina. Status Yerusalem memang menjadi faktor penting dalam setiap perundingan damai Timur Tengah. Sejak 1948 hingga 1967, seperti Berlin, kota itu terbelah menjadi dua. Israel menguasai bagian barat, sementara Yordania, mewakili Palestina, menguasai bagian timur. Yerusalem Timur berisikan kota tua alias Al-Quds, tempat terdapat tempat suci tiga agama: Masjidil Aqsa (Islam), Gereja Sepulchre (Kristen), dan Tembok Ratapan (Yahudi). Pada 1967, Israel merebut bagian timur itu dan menyatakan Yerusalem seluruhnya sebagai ibu kota baru mereka. Masyarakat internasional tidak mengakuinya. Sebagian besar negara dunia tidak memiliki kedutaan di Yerusalem. Dewan Keamanan PBB mengeluarkan beberapa resolusi, memerintahkan Israel menarik diri ke batas sebelum Perang 1967, termasuk melepaskan Yerusalem Timur. Namun, dengan dukungan Amerika, Israel berhasil menancapkan kukunya hingga sekarang. Tak hanya mengabaikan resolusi PBB, Presiden Bush pekan lalu juga menolak konferensi internasional Timur Tengah yang diusulkan Perdana Menteri Inggris Tony Blair. Seperti dikutip harian The Guardian, seorang pejabat Inggris mengatakan sikap dingin Amerika dan Israel telah "meracuni semua hal di kawasan itu". Purwani D. Prabandari (The Washington Post, The Palestine Chronicle, The Jerusalem Post)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus