Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Demi Menjegal Pemasok Martir

13 Oktober 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAHMOUD Zaghloul baru saja melenggang keluar dari sebuah toko di Nablus ketika tank-tank Israel tiba-tiba melintas di depannya. Kendaraan perang itu tiba-tiba menyalak dan memuntahkan peluru ke segala arah. Sebutir pelor singgah di dada kiri Zaghloul, melubangi pinggangnya, dan melayangkan nyawanya dalam seketika. "Semua ayah telah menasihati anaknya agar menjauhi tank-tank Israel. Tapi dia tetap saja akan lari ke jalanan," ujar Hamze Zaghloul, sang ayah. Kematian Mahmoud Zaghloul adalah hal biasa di Nablus, tempat pasukan Israel selalu mondar-mandir untuk "membersihkan jalanan" dari pelanggar larangan keluar rumah. Diterapkan sejak lama, larangan ini kembali diperketat sejak dua pekan lalu setelah tank-tank Israel mundur dari Ramallah seusai mengepung markas besar Yasser Arafat selama 10 hari. Dengan larangan itu, Israel menjadi pengatur agenda kehidupan warga sebuah negeri yang bukan wilayahnya. Absurd. Tapi itulah yang terjadi selama beberapa tahun terakhir. Larangan keluar rumah—bahkan selama 24 jam—adalah senjata andalan Pasukan Pertahanan Israel (IDF) yang dipaksakan di berbagai kota dalam wilayah Palestina. Alasannya? Tanpa larangan ini, warga Palestina akan mudah saja petantang-petenteng di Israel sembari menenteng bom bunuh diri di tubuh mereka. Dan Nablus adalah kota yang paling parah menerima hukuman kolektif ini. Lebih dari 100 hari, kota terbesar di Tepi Barat ini dikenai aturan larangan keluar rumah. Hanya empat jam dalam sepuluh hari pasukan Israel melonggarkan hukuman agar warga tidak mati kelaparan. Bagi Israel, Nablus adalah pemasok martir serangan bom bunuh diri. "Orang-orang di Nablus bertanggung jawab untuk lebih dari 80 persen bom bunuh diri di Israel," ujar Kolonel Noam Tibon, Komandan Brigade Nahal di Nablus. Maka kota itu seolah menjelma menjadi daerah mati. Jalanan sepi, penuh dengan bekas lindasan tank. Toko dan restoran hanya sedikit yang buka—itu pun pada jam-jam terbatas. Gedung perkantoran dan pabrik tertutup rapat. Tembok-tembok bangunan carut-marut dengan pecahan peluru meriam. Orang-orang menganggur dan berkumpul di balik pintu yang nyaris tak pernah dibuka. Dan Nablus bukan satu-satunya. Sekitar 431 ribu rakyat Palestina terpenjara dalam rumah mereka—di Ramallah, Jenin, Tulkarm, Hebron, Tubas, dan kota lain di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Selasa pekan silam, enam bocah bersimbah darah karena terkena peluru tentara Israel di Jenin gara-gara nekat ke sekolah. Di tengah jalan, mereka tak lupa melempari tank pasukan Israel dengan batu. Tanpa ampun tentara Israel ganti mengedor bocah-bocah itu. Dampak larangan ini bagi Palestina—generasi mudanya, terutama—amat mengenaskan. Laporan Badan Koordinasi Bantuan Kemanusiaan PBB (OCHA) pada awal Oktober menyebutkan, 226 ribu—angka ini setara dengan seperlima jumlah anak-anak Palestina—anak usia sekolah putus belajar. Lebih dari 200 sekolah hancur. Trauma dan ketakutan menghantui masa pertumbuhan mereka. Suatu ketika, murid-murid di sebuah sekolah langsung tiarap tanpa dikomando tatkala tank-tank Israel melintas. Dunia internasional pun tak bisa berbuat banyak. Peter Hansen dari United Nations Relief and Works Agency (UNRWA) menyebutkan, sekitar 30 misi kemanusiaan yang dikontrak Uni Eropa kini tertahan di pos penjagaan pasukan Israel. Guru kiriman UNRWA tak semuanya bisa lolos ke wilayah Palestina. Karena itu, baik UNRWA maupun United Nations Children's Fund (UNICEF) meminta agar Israel segera mencabut larangan tersebut, terutama bagi anak-anak sekolah. Pada Rabu lalu, IDF sempat menghentikan larangan keluar rumah di Nablus. Dan Noam Tibon menyatakan hasilnya, "Tidak ada satu pun pelaku bom bunuh diri yang berasal dari Nablus selama 100 hari terakhir." Selain itu, pasukan Israel berhasil menahan 15 orang yang dianggap berpotensi menjadi pelaku bom bunuh diri. Namun warga Palestina justru memberikan "jawaban" berbeda. Kian banyak penduduk Nablus, Jenin, Ramallah, dan sejumlah kota lain yang melawan larangan tersebut. Anak-anak dan remaja keluar dari rumah sembari melemparkan batu ke pasukan Israel. "Pergilah ke sekolah. Itulah cara perlawanan kalian," ujar Abd al-Hadi, direktur sebuah radio di Nablus, saat memberikan program interaktif tentang pendidikan. Dan anak-anak Palestina tampaknya mematuhi seruan itu. Sejak pekan lalu, mereka mulai ramai melintasi jalanan. Dengan tas di punggung, anak-anak itu melewati pasukan dan tank-tank Israel menuju sekolah masing-masing sembari mempraktekkan sikap tidak patuh alias melawan tanpa kekerasan. Purwani D. Prabandari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus