JURI pertama terhadap serangan Amerika Serikat ke Irak adalah Farouk al-Sharaa. Kata menteri luar negeri Suriah itu, setelah sejumlah bom jatuh di Irak Rabu malam pekan lalu, Amerika dan sekutunya berperan ganda dalam menjalankan sanksi Dewan Keamanan PBB. Benar. Jika Irak mesti dibom karena dianggap melanggar resolusi Dewan Keamanan PBB yang merupakan kesepakatan internasional, mengapa terhadap Israel tak dilakukan apa pun? Pertemuan menteri luar negeri negara Arab pekan lalu, di Kairo, mendesak Dewan Keamanan PBB agar ''mengambil langkah-langkah yang bisa mempengaruhi dengan segera penerapan Resolusi Dewan Keamanan PBB nomor 799.'' Itulah resolusi yang dikeluarkan 18 Desember yang lalu, sehari setelah Israel mengusir 415 warga Palestina dari wilayah pendudukan Israel. Resolusi itu menyatakan bahwa Israel melanggar Konvensi Jenewa, dan minta agar orang usiran itu dibolehkan kembali ke rumah masing-masing. Pengusiran itu sungguh perbuatan yang melangar hak asasi, karena begitu saja mereka dibiarkan hidup di daerah tak bertuan, ketika di situ salju turun dan suhu anjlok di bawah nol derajat Celsius. Dan kata Yitzhak Rabin, perdana menteri Israel yang katanya moderat itu, mereka baru boleh kembali setelah sembilan bulan sampai dua tahun. Konon, Boutros Boutros Ghali, Sekretaris Jenderal PBB, sudah menyatakan kepada Menteri Luar Negeri Israel Shimon Peres, akan melakukan ''tindak lanjut''. Tak jelas yang dimaksudkan oleh Sekjen PBB itu. Tapi di Washington duta besar Israel sudah mengirimkan pesan ke negaranya. Katanya, Israel tak perlu khawatir. Sudah ada jaminan dari Amerika Serikat, anggota tetap Dewan Keamanan PBB yang memiliki hak veto, yang bisa mempending apa pun keputusan Dewan Keamanan, tak akan membiarkan ada resolusi yang bisa membuat Israel terkena sanksi. Kalau kemudian Presiden Mesir Husni Mubarak marah dan menilai Amerika Serikat tak adil, hal itu sangat bisa dimengerti. Kritik dari Mubarak ini bisa dianggap sangat serius. Sebab, ketika Amerika mengusir Irak dari Kuwait, Mesir ikut membantu Amerika. Dan kini pun, Mubarak marah juga pada Saddam Hussein, yang dikatakannya sengaja memancing-mancing Amerika agar menyerang Irak. Sejauh ini belum ada jawaban dari Presiden George Bush maupun penggantinya yang dilantik pekan ini, Bill Clinton. Padahal Bush, dibandingkan dengan presiden Amerika yang lain, bisa dikatakan paling tidak akrab dengan Israel, negeri Yahudi yang punya lobi kuat dengan pemimpin-pemimpin Amerika Serikat. Dialah satu-satunya presiden Amerika yang berani membekukan kredit yang sudah dijanjikan Amerika pada israel sebesar US$ 10 miliar, hingga negeri Yahudi itu mengalamai kesulitan keuangan. Bahwa uang itu sangat berarti, terbukti kemudian pihak Israel akhirnya bersedia menghadiri Konperensi Damai Timur Tengah yang semula ditang- gapi dengan acuh tak acuh. Kini bisa dikatakan hampir mustahil Bush akan bertindak pada Israel, karena pekan ini ia turun dari Gedung Putih. Dan Clinton diduga bakal lebih akrab dengan Yahudi. Banyak pernyataannya sebelum terpilih menjadi presiden Amerika menunjukkan hal itu. Misalnya, ia menyatakan, karena Israel adalah negara demokratis sebagaimana Amerika, tentulah ia siap membelanya. Maka, agak aneh bila di Amerika pekan lalu terdengar kabar bahwa Israel cemas bila karena kasus pengusiran itu PBB men- jatuhkan sanksi. Agak berbeda dalam sikapnya, para pengamat juga mengaitkan sikap AS kepada Irak dengan sikap AS pada etnis Serbia di Bosnia. Tapi sebenarnya Bush mengecam perilaku milisia Serbia yang melakukan penghapusan etnis itu. Bila ia tak lalu mengirimkan pasukannya untuk menghentikan ulah mereka, banyak pertimbangannya. Antara lain, seperti yang dikatakan panglima angkatan bersenjata Colin Powell, tak mudah mengumpulkan pasukan AS kini untuk menyerbu Serbia. Selain berapa kebutuhan tentara dalam serbuan itu agar efektif belum dihitung, juga banyak pasukan AS kini sedang dalam tu- gas lain, misalnya di Somalia. Yang masih bisa sejalan dengan sikap ganda Amerika adalah tak berkomentarnya negeri superkuat ini terhadap kasus di Aljazair, tahun lalu. Jelas, pemerintah Aljazair melanggar hak asasi dan prinsip demokrasi dengan membatalkan rencana pemilihan umum karena partai oposisi dinilai akan menang. Bahkan kemudian Pemerintah Aljazair memenjarakan sejumlah tokoh partai oposisi itu. Dan Amerika cuma diam -- termasuk terhadap kasus-kasus pelanggaran hak asasi yang tak begitu besar di banyak negara. DP
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini