LEWAT siaran radio Islamabad, Jenderal Mohammed Ziaul Haq
berkata: "Rezim Bhutto sudah berakhir."
Ucapan ini tersiar Selasa pagi pekan silam beberapa jam setelah
Angkatan Darat Pakistan melancarkan kudeta tak berdarah
menggulingkan pemerintahan Perdana Menteri Ali Bhutto. Kecuali
sebuah demonstrasi kecil di kota Rawalpindi pada Selasa malam,
hampir tidak dilaporkan sesuatu insiden mengikuti kudeta
tersebut. "Jenderal Ziaul Haq akan memimpin administrasi keadaan
darurat, tapi Presiden Fazal Elahi Houdari akan tetap menjadi
kepala negara," kata seorang juru bicara militer Selasa siang.
Jenderal Ziaul Haq, 53 tahun, militer karir yang diangkat oleh
Bhutto menjadi KASAD Pakistan tahun silam, mengumumkan sendiri
penahanan Bhutto serta sejumlah tokoh oposisi lainnya. "Ini
penahanan sementara demi keamanan mereka," begitu ia berkata.
Tidak dijelaskan di mana orang-orang itu ditahan.
Menjanjikan pemilihan umum pada bulan Oktober nanti,
pemerintahan militer Pakistan telah membubarkan parlemen hasil
pemilihan umum Maret yang lalu, membekukan kegiatan politik,
memecat empat gubernur serta menunda berlakunya beberapa bagian
dari undang-undang dasar. "Semua ini akan dipulihkan kembali
setelah pemilu bulan Oktober," kata Jenderal Haq.
Kudeta yang digerakkan pada pukul dua dinihari itu dilaporkan
telah mencapai sasarannya secara sempurna pada pukul 7.30 pagi.
Lewat radio pada pagi hari itu, Jenderal Haq meyakinkan rakyat
Pakistan: "Saya ingin meyakinkan anda semua bahwa saya tidak
melakukan ini demi ambisi politik. Tindakan ini tidak dilakukan
untuk kepentingan siapa pun." Kepada penduduk Pakistan yang
mayoritas Islam, Jenderal Haq juga menjanjikan bahwa Pakistan
akan tetap sebagai negara Islam.
Bagi para peninjau politik yang mengamati Pakistan empat bulan
terakhir ini, kudeta tanggal 5 Juli pekan silam bukanlah
kejadian yang amat mengejutkan. Selain karena keadaan memang
memburuk empat bulan terakhir ini Pakistan yang kini berusia 30
tahun, separuh sejarahnya memang terlewatkan di bawah
pemerintahan militer. Di tahun 1958 Presiden Pakistan, Jenderal
Iskandar Mirza - yang menghadapi berbagai masalah - membawa
negara itu ke dalam suatu keadaan darurat. Iskandar Mirza
digantikan oleh Jenderal Ayyub Khan, tapi keadaan darurat
militer tetap dipertahankan. Keadaan darurat itu terus
berlangsung hingga Jenderal Yahya Khan menggantikan Ayyub pada
tahun 1969. Baru di tahun 1971, ketika India mengalahkan tentara
Pakistan di (waktu itu) Pakistan Timur yang memungkinkan
berdirinya negara Bangladesh, pemerintahan militer merasa harus
menyerahkan kekuasaan kepada orang-orang sipil. Tokoh yang
menerima penyerahan kekuasaan waktu itu adalah Ali Bhutto,
pemimpin Partai Rakyat Pakistan.
Terlalu Gembira Oleh Demokrasi
Ketika 20 Desember 1971 Jenderal Yahya Khan dengan damai
menyerahkan kekuasaan kepada Ali Bhutto sejumlah orang
bergembira melihat kelahiran demokrasi di Pakistan. Barangkali
karena terlalu gembira oleh demokrasi itulah maka para politisi
Pakistan cukup berani bertentangan secara tajam setelah pemilu
tanggal 7 Maret yang lalu.
Hasil pemilihan itu amat menguntungkan partai pimpinan Ali
Bhutto, hal yang sangat memarahkan partai oposisi yang
dikalahkan. "Kemenangan itu dicapai lewat kecurangan," kata
Mufti Mahmud, tokoh Aliansi Nasional Partai Awami (PNA). Dan
karena protes para pemimpin oposisi dianggap sepi oleh Bhutto,
demonstrasi terbuka di jalan raya pun berlangsung. Bhutto
bereaksi keras, pertumpahan darah tidak bisa dihindarkan.
Sejumlah besar orang mati, kebakaran besar melanda kota Karaci,
dan nyaris semua tokoh oposisi dipenjarakan.
Di pusat-pusat kegiatan oposisi, Bhutto bertindak keras. Keadaan
darurat diberlakukan di Karaci, Hyderabad dan Lahore. Tentara
menutup semua jalan ke Rawalpindi. Bhutto bertindak lebih yakin
dan keras setelah gabungan kepala staf tentara Pakistan
mendukung presiden lewat sebuah pernyataan pada akhir bulan
April. Pernyataan tersebut dengan tegas mendukung "pemerintahan
yang sah" serta menganjurkan kepada semua prajurit untuk membela
kemerdekaan tanah air mereka kendati dengan "risiko jiwa sekali
pun".
Bhutto yang bergembira oleh dukungan militer itu kemudian
mengangkat Jenderal Tikka Khan (dikenal sebagai pembantai di
Bangladesh, karena pasukannya membunuh banyak orang Benggali
menjelang kelahiran Bangladesh) sebagai menteri pertahanan.
Sikap keras kalangan oposisi yang meminta diulanginya pemilu
serta mundurnya perdana menteri ditanggapi dengan lebih keras
oleh Bhutto. Dalam sebuah pidatonya secara terbuka Bhutto
menuduh Amerika Serikat mendalangi usaha penyingkiran dirinya
dari jabatan perdana menteri. Pada pidato yang sama itu pulalah
Bhutto mengumumkan hasil penyadapannya terhadap percakapan
telepon dua orang pejabat kedutaan Amerika Serikat di Islamabad.
Salah seorang pembicara di telepon itu kabarnya berkata: "Pesta
telah berakhir bagi Bhutto." Kata Bhutto: "Tuan-tuan, pesta
belum berakhir. Pesta tidak akan pernah berakhir hingga
dikehendaki oleh Allah."
Campurtangan Arab
Dan kehendak Allah kelihatannya telah berlaku hari Selasa
dinihari pekan silam. "Kita telah mengikuti perkembangan secara
saksama selama empat bulan terakhir," kata seorang juru bicara
militer pekan silam. Karena melihat keadaan makin memburuk,
tentara merasa tidak bisa tinggal diam. Sebuah sumber yang dekat
dengan kalangan militer menyebutkan bahwa rencana perampasan
kekuasaan itu sebenarnya sudah mulai menjadi bahan pembicaraan
di kalangan militer hanya beberapa saat setelah terjadi
kekerasan dan penangkapan sehabis pemilu yang lalu. "Hanya
campur tangan negara-negara Arab yang mencoba jadi perantara
sengketa politik dalam negeri Pakistan itulah yang memperlambat
kudeta tersebut," kata sumber tersebut.
Keterangan tadi nampaknya sulit dipisahkan dengan tindakan
Bhutto yang secara mendadak melakukan kunjungan keliling ke
Timur Tengah beberapa saat sebelum terjadinya kudeta. Setelah
memenuhi sebagian tuntutan golongan oposisi - berkat bujukan
para pendamai yang dikirim oleh Saudi Arabia dan Persatuan
Emirat Arab -- Bhutto tiba-tiba melakukan perjalanan ke berbagai
negara Arab. Resminya perjalanan itu disebut sebagai kunjungan
untuk "mengucapkan terima kasih atas jasa baik negara-negara
Arab mendamaikan Pakistan." Tapi pihak oposisi yang masih belum
menerima langkah surut Bhutto itu mengecam kunjungan tersebut.
"Tidak terhormat untuk memberikan ucapan terimakasih kepada
pemerintahan bersahabat yang bantuannya belum menghasilkan
perdamaian," begitu komentar Gafhoor Ahmed, sekjen PNA, terhadap
perjalanan itu.
Belum dicapainya perdamaian, bahkan belum munculnya tanda-tanda
bakal dicapainya perdamaian, itulah rupanya yang mendesak
tentara untuk bertindak, kendati Bhutto baru saja datang dari
Timur Tengah. Spekulasi para diplomat di Islamabad menyebut
Bhutto telah menyebarkan undangan kepada sejumlah kepala negara
Arab agar mengunjungi Pakistan dalam waktu dekat. "Kunjungan itu
bukan saja merupakan prestasi dan prestise bagi pemerintahannya,
tapi juga suatu pra kampanye bagi pemilu bulan Oktober yang
direncanakan sendiri oleh Bhutto," begitu seorang diplomat
berkata.
Tapi lebih dari untuk kampanye, kunjungan Bhutto ke Timur Tengah
dan (jika bisa berhasil) kunjungan balasan para pemimpin Arab ke
Pakistan diperhitungkan Bhutto bisa melemahkan kehendak para
perwira Pakistan - yang menaruh hormat kepada negara Arab yang
banyak membantu Pakistan selepas perang Bangladesh - untuk
kembali masuk ke gelanggang politik. Tapi usaha itu belum
memperlihatkan hasil, ketika kehendak Allah mengakhiri pesta
telah datang.
Berakhirkah karir politik Bhutto? "Bhutto tidak dilarang untuk
memimpin partainya dalam kampanye pemilu yang akan datang,"
begitu penjelasan seorang juru bicara militer di Islamabad hari
Kamis pekan silam. Pendapat umum di Pakistan juga cenderung
untuk tidak melihat jalan lain kecuali memberi lagi kesempatan
bagi Bhutto untuk aktif dalam politik. "Ia tidak bisa dikucilkan
begitu saja, mengingat pengalaman politiknya selama 19 tahun,"
komentar seorang pengamat politik Pakisian pekan silam.
Dan ada juga pendapat bahwa dalam pemilu Oktober nanti, ia akan
kembali menang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini