Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pesta belum berakhir, ali ?

Jenderal zainal haq, 53, mengambil alih kekuasaan dari ali bhutto. tentara bertindak akibat tindakan bhutto terhadap oposisi dan keadaan memburuk. kudeta sempat tertunda karena campur tangan arab.

16 Juli 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEWAT siaran radio Islamabad, Jenderal Mohammed Ziaul Haq berkata: "Rezim Bhutto sudah berakhir." Ucapan ini tersiar Selasa pagi pekan silam beberapa jam setelah Angkatan Darat Pakistan melancarkan kudeta tak berdarah menggulingkan pemerintahan Perdana Menteri Ali Bhutto. Kecuali sebuah demonstrasi kecil di kota Rawalpindi pada Selasa malam, hampir tidak dilaporkan sesuatu insiden mengikuti kudeta tersebut. "Jenderal Ziaul Haq akan memimpin administrasi keadaan darurat, tapi Presiden Fazal Elahi Houdari akan tetap menjadi kepala negara," kata seorang juru bicara militer Selasa siang. Jenderal Ziaul Haq, 53 tahun, militer karir yang diangkat oleh Bhutto menjadi KASAD Pakistan tahun silam, mengumumkan sendiri penahanan Bhutto serta sejumlah tokoh oposisi lainnya. "Ini penahanan sementara demi keamanan mereka," begitu ia berkata. Tidak dijelaskan di mana orang-orang itu ditahan. Menjanjikan pemilihan umum pada bulan Oktober nanti, pemerintahan militer Pakistan telah membubarkan parlemen hasil pemilihan umum Maret yang lalu, membekukan kegiatan politik, memecat empat gubernur serta menunda berlakunya beberapa bagian dari undang-undang dasar. "Semua ini akan dipulihkan kembali setelah pemilu bulan Oktober," kata Jenderal Haq. Kudeta yang digerakkan pada pukul dua dinihari itu dilaporkan telah mencapai sasarannya secara sempurna pada pukul 7.30 pagi. Lewat radio pada pagi hari itu, Jenderal Haq meyakinkan rakyat Pakistan: "Saya ingin meyakinkan anda semua bahwa saya tidak melakukan ini demi ambisi politik. Tindakan ini tidak dilakukan untuk kepentingan siapa pun." Kepada penduduk Pakistan yang mayoritas Islam, Jenderal Haq juga menjanjikan bahwa Pakistan akan tetap sebagai negara Islam. Bagi para peninjau politik yang mengamati Pakistan empat bulan terakhir ini, kudeta tanggal 5 Juli pekan silam bukanlah kejadian yang amat mengejutkan. Selain karena keadaan memang memburuk empat bulan terakhir ini Pakistan yang kini berusia 30 tahun, separuh sejarahnya memang terlewatkan di bawah pemerintahan militer. Di tahun 1958 Presiden Pakistan, Jenderal Iskandar Mirza - yang menghadapi berbagai masalah - membawa negara itu ke dalam suatu keadaan darurat. Iskandar Mirza digantikan oleh Jenderal Ayyub Khan, tapi keadaan darurat militer tetap dipertahankan. Keadaan darurat itu terus berlangsung hingga Jenderal Yahya Khan menggantikan Ayyub pada tahun 1969. Baru di tahun 1971, ketika India mengalahkan tentara Pakistan di (waktu itu) Pakistan Timur yang memungkinkan berdirinya negara Bangladesh, pemerintahan militer merasa harus menyerahkan kekuasaan kepada orang-orang sipil. Tokoh yang menerima penyerahan kekuasaan waktu itu adalah Ali Bhutto, pemimpin Partai Rakyat Pakistan. Terlalu Gembira Oleh Demokrasi Ketika 20 Desember 1971 Jenderal Yahya Khan dengan damai menyerahkan kekuasaan kepada Ali Bhutto sejumlah orang bergembira melihat kelahiran demokrasi di Pakistan. Barangkali karena terlalu gembira oleh demokrasi itulah maka para politisi Pakistan cukup berani bertentangan secara tajam setelah pemilu tanggal 7 Maret yang lalu. Hasil pemilihan itu amat menguntungkan partai pimpinan Ali Bhutto, hal yang sangat memarahkan partai oposisi yang dikalahkan. "Kemenangan itu dicapai lewat kecurangan," kata Mufti Mahmud, tokoh Aliansi Nasional Partai Awami (PNA). Dan karena protes para pemimpin oposisi dianggap sepi oleh Bhutto, demonstrasi terbuka di jalan raya pun berlangsung. Bhutto bereaksi keras, pertumpahan darah tidak bisa dihindarkan. Sejumlah besar orang mati, kebakaran besar melanda kota Karaci, dan nyaris semua tokoh oposisi dipenjarakan. Di pusat-pusat kegiatan oposisi, Bhutto bertindak keras. Keadaan darurat diberlakukan di Karaci, Hyderabad dan Lahore. Tentara menutup semua jalan ke Rawalpindi. Bhutto bertindak lebih yakin dan keras setelah gabungan kepala staf tentara Pakistan mendukung presiden lewat sebuah pernyataan pada akhir bulan April. Pernyataan tersebut dengan tegas mendukung "pemerintahan yang sah" serta menganjurkan kepada semua prajurit untuk membela kemerdekaan tanah air mereka kendati dengan "risiko jiwa sekali pun". Bhutto yang bergembira oleh dukungan militer itu kemudian mengangkat Jenderal Tikka Khan (dikenal sebagai pembantai di Bangladesh, karena pasukannya membunuh banyak orang Benggali menjelang kelahiran Bangladesh) sebagai menteri pertahanan. Sikap keras kalangan oposisi yang meminta diulanginya pemilu serta mundurnya perdana menteri ditanggapi dengan lebih keras oleh Bhutto. Dalam sebuah pidatonya secara terbuka Bhutto menuduh Amerika Serikat mendalangi usaha penyingkiran dirinya dari jabatan perdana menteri. Pada pidato yang sama itu pulalah Bhutto mengumumkan hasil penyadapannya terhadap percakapan telepon dua orang pejabat kedutaan Amerika Serikat di Islamabad. Salah seorang pembicara di telepon itu kabarnya berkata: "Pesta telah berakhir bagi Bhutto." Kata Bhutto: "Tuan-tuan, pesta belum berakhir. Pesta tidak akan pernah berakhir hingga dikehendaki oleh Allah." Campurtangan Arab Dan kehendak Allah kelihatannya telah berlaku hari Selasa dinihari pekan silam. "Kita telah mengikuti perkembangan secara saksama selama empat bulan terakhir," kata seorang juru bicara militer pekan silam. Karena melihat keadaan makin memburuk, tentara merasa tidak bisa tinggal diam. Sebuah sumber yang dekat dengan kalangan militer menyebutkan bahwa rencana perampasan kekuasaan itu sebenarnya sudah mulai menjadi bahan pembicaraan di kalangan militer hanya beberapa saat setelah terjadi kekerasan dan penangkapan sehabis pemilu yang lalu. "Hanya campur tangan negara-negara Arab yang mencoba jadi perantara sengketa politik dalam negeri Pakistan itulah yang memperlambat kudeta tersebut," kata sumber tersebut. Keterangan tadi nampaknya sulit dipisahkan dengan tindakan Bhutto yang secara mendadak melakukan kunjungan keliling ke Timur Tengah beberapa saat sebelum terjadinya kudeta. Setelah memenuhi sebagian tuntutan golongan oposisi - berkat bujukan para pendamai yang dikirim oleh Saudi Arabia dan Persatuan Emirat Arab -- Bhutto tiba-tiba melakukan perjalanan ke berbagai negara Arab. Resminya perjalanan itu disebut sebagai kunjungan untuk "mengucapkan terima kasih atas jasa baik negara-negara Arab mendamaikan Pakistan." Tapi pihak oposisi yang masih belum menerima langkah surut Bhutto itu mengecam kunjungan tersebut. "Tidak terhormat untuk memberikan ucapan terimakasih kepada pemerintahan bersahabat yang bantuannya belum menghasilkan perdamaian," begitu komentar Gafhoor Ahmed, sekjen PNA, terhadap perjalanan itu. Belum dicapainya perdamaian, bahkan belum munculnya tanda-tanda bakal dicapainya perdamaian, itulah rupanya yang mendesak tentara untuk bertindak, kendati Bhutto baru saja datang dari Timur Tengah. Spekulasi para diplomat di Islamabad menyebut Bhutto telah menyebarkan undangan kepada sejumlah kepala negara Arab agar mengunjungi Pakistan dalam waktu dekat. "Kunjungan itu bukan saja merupakan prestasi dan prestise bagi pemerintahannya, tapi juga suatu pra kampanye bagi pemilu bulan Oktober yang direncanakan sendiri oleh Bhutto," begitu seorang diplomat berkata. Tapi lebih dari untuk kampanye, kunjungan Bhutto ke Timur Tengah dan (jika bisa berhasil) kunjungan balasan para pemimpin Arab ke Pakistan diperhitungkan Bhutto bisa melemahkan kehendak para perwira Pakistan - yang menaruh hormat kepada negara Arab yang banyak membantu Pakistan selepas perang Bangladesh - untuk kembali masuk ke gelanggang politik. Tapi usaha itu belum memperlihatkan hasil, ketika kehendak Allah mengakhiri pesta telah datang. Berakhirkah karir politik Bhutto? "Bhutto tidak dilarang untuk memimpin partainya dalam kampanye pemilu yang akan datang," begitu penjelasan seorang juru bicara militer di Islamabad hari Kamis pekan silam. Pendapat umum di Pakistan juga cenderung untuk tidak melihat jalan lain kecuali memberi lagi kesempatan bagi Bhutto untuk aktif dalam politik. "Ia tidak bisa dikucilkan begitu saja, mengingat pengalaman politiknya selama 19 tahun," komentar seorang pengamat politik Pakisian pekan silam. Dan ada juga pendapat bahwa dalam pemilu Oktober nanti, ia akan kembali menang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus