Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Kemiskinan itu bukan -- pengeras suara

60% penduduk jakarta hidup di kampung2 miskin. 60% anak usia sekolah tahun 1966 tak kebagian sekolah. dimensi sosial agama masyarakat untuk mengatasi kemiskinan tidak berpijak pada kenyataan.

16 Juli 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SAMPAI berapa jauh masalah kemiskinan jadi urusan agama? Dalam diskusi panel pembinaan suasana keagamaan di Jakarta (lihat tulisan Sutjipto Wirosardjono hal 44) ternyata soal itu dianggap cukup relevan Pada kesempatan itu diedarkan teks ceramah Ali Sadikin yang diberikan di Masjid Salman ITB Bandung bulan puasa tahun lalu -- dan dinyatakan merupakan pendorong ide penyelenggaraan diskusi kali ini. Teks itu ada membentangkan masalah penangulangan hal-hal sekitar kemiskinan itu. Dicantumkan: 60%, penduduk Jakarta hidup di kampung-kampung miskin yang sama sekali tak sehat 60% anak usia-sekolah di tahun 1966 tak kebagian bangku. Gedung sekolah sangat kurang juga guru. Sistim pendidikan dasar ambrol akibat kekurangan biaya. Sedang bendahari Kota waktu itu dalam keadaan kosong pemsukan dari pajak tak memadai. Itulah sebabnya ditempuh cara-cara mengeduk dana yang oleh orang yang tak suka disebut sebagai "cara inkonvensionil. Maka rehabilitasi pun dimulai. Tapi betulkah dengan itu -- kalau memang ini masalahnya -- tingkat hidup golongan terendah penduduk Jakarta cenderung menaik? Prasarana H Rosihan Anwar, mengulang data tentang 40%, penduduk Jakarta dengan penghasilan terendah Golongan ini yang di tahun 1967 menerima 18,3% dari seluruh pendapatan masyarakat Jakarta di tahun 1970 menerima hanya 11,6%. Ceramah Gubernur itu sendiri menyebutkan satu hal yang mungkin sering dilupakan orang, bahwa Jakarta merupakan "tempat terdamparnya lapisan terbawah yang terhempas dari kemiskinan ekonomi dan kemiskinan sosial dari seluruh tanah air." Nah. Adakah hal-hal tersebut seharusnya termasuk perhatian agama? Ataukah tugas agama memang hanya mempersoalkan amar ma'ruf nahi munkar (menyuruh yang baik, mencegah yang jahat) dalam pengertian "konvensionil"? Setidak-tidaknya diskusi yang diselenggarakan di Balai Kota dan Gedung DPRD itu menunjukkan bahwa: menggunakan dalil baku ajaran agama menurut bunyi kata per kata, memang, lebih mudah daripada memecahkan persoalan dilihat dari kompleksitas masalah. Teks Gubernur itu misalnya ada mencantum kan pendapat ulama pembaharu Ibnul Qaiyim, yang membagi 'munkar' menjadi empat: munkar yang bisa dihapus, munkar yang hanya bisa diperkecil, munkar yang kalau dihapus diduga akan menimbulkan munkar yang sama, dan munkar yang bila dihapus ditakutkan akan menimbulkan munkar yang lebih besar. Dan dalam Islam, kata ceramah itu juga dikenal prinsip idhthirar (darurat). Tetapi pokok ini justru tidak dibahas bahkan oleh para peserta diskusi yang secara prinsipil menolak segala bentuk munkar. Rupanya dimensi sosial agama (dikalangan umat) tidak cukup muncul di permukaan. Lebih menonjol ialah dimensi peribadatan dan hukum fiqh formil. Inimenunjukkan perimbangan yang masih berat sebelah dalam hal penafsiran ajaran - oleh para ulama, dan seterusnya para muballigh. Seorang laji yang rajin sembahyang misalnya, rajin sedekah dan membangun masjid, tapi dalam praktek menempuh hidup "kapitalistis" dengan secara tak langsung memeras saudara sauaranya yang lebih lemall dalam kenyataan masih bisa lebih dihargai daripada seorang yang tidak terkenal alim tapi banyak berbuat jasa kemanusiaan - yang tampaknya tak ada hubungannya dengan agama. Itulah antara lain sebabnya mengapa banyak peserta diskusi jua pemrasaran Abdurrahman Wahid, yang menolak pernyataan bahwa perkembangan agama seperti yang terlihat di Jakarta benarbenar sudah berarti, dengan hanya melihat bangunan-bangunan fisik - dan ramainya pengeras suara. Atau dengan mengemukakan bahwa Partai Persatuan kemarin unggul di DKI, seperti dinyatakan Omar Tusin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus