Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Alasan-Alasan Itu Masuk Akal Juga

Beberapa kelompok masyarakat dan mahasiswa mencalonkan pengganti presiden soeharto. pertanggungan jawab presiden kepada mpr dipermasalahkan. menteri sekretariat negara mengemukakan argumentasi.

16 Juli 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA ramai-ramai -- kecil-kecilan. Ada kelompok yang menamakan diri Rukun Pemuda Indonesia, yang akhir bulan lalu muncul di Press Club. Dengan 7 lembar kertas yang distensil rapih, mereka bicara tentang banyak hal. Dan tak lupa ikut-ikut mengajukan calon Presiden. Untuk Presiden, mereka kembali mencalonkan Soeharto dan sebagai Wakil bekas Gubernur Jawa Timur yang kini Dubes di Perancis, Haji Mohammad Noer. "Pak Noer berhasil membangun pedesaan. Dan dia sipil. Jadi ada imbangan antara militer dan sipil," kata AN Johannief, salah seorang di antara mereka kepada Eddy Herwanto dari TEMPO. Kelompok lain menamakan diri Manusia Baru Indonesia. Sepekan sesudah RPI, mereka muncul depan sebuah warung di TIM. Calon mereka: Ali Sadikin sebagai Presiden dan Adnan Buyung Nasution Sl sebagai wakil. Alasannya: biar ada keseimbangan antara Angkatan 45 (diwakili Ali Sadikin) dan Angkatan 66 (Buyung Nasution). Sejauh ini, tampaknya fihak penguasa menyadari bolehnya ada hak berbeda pendapat. Selain tindakan polisi terhadap 2 pemuda di TIM itu, belum tampak tindakan-tindakan lain yang serius. Agaknya ada pula yang disadari, seperti kata B. Aritonang, Pj. Ketua DM UGM Yogya, bahwa "pencalonan Presiden dan Wakil sebaiknya lebih dari satu, agar ada kompetisi." Setidaknya, kompetisi bersuara doang. Menampung Uneg-Uneg Di Bandung, awal Juli kemarin dipentaskan "Pagelaran Wayang Hyde 1977". Konon mereka memang menganggap negeri ini sebagai 'negeri pewayangan'. Kalimat menarik dalam selebaran mereka: "Tempat berpijak kita hanyalah sebongkah batang pisang diterangi seberkas lampu katil minyak tanah yang 20 tahun lagi akan habis." Sementara si raksasa kerdil Sukrasana mampu memindahkan Taman Sriwedari (begitu cerita pewayangan), malam itu sekitar 100 mahasiswa Bandung mencoba memindahkan Hyde Park dari London ke Bumi Siliwangi di Bandung. Acara yang diselenggarakan oleh DM IKIP Bandung itu nyaris gagal. Suasana memang santai. Sambil nyanyi-nyanyi, mereka duduk melingkari lapangan basket di Gedun Olahraga Bumi Siliwangi, diterangi cahaya bulan purnama. Tapi hanya 3 mahasiswa saja yang berani tampil. Padahal acara itu menurut panitia, dimaksud untuk "menampung segala uneg-uneg angkatan muda dan mahasiswa" terhadap segala persoalan. Pokoknya seperti Hyde Park di London, di mana setiap orang boleh ngomong seenak perut - tanpa risiko ditangkap. Tapi Indonesia bukan Inggeris zaman ini. Maka pagelaran itu nyaris berubah menjadi malam pembacaan puisi melulu. Tentu saja puisi protes. Ketika panitia mengumumkan bahwa lembaran kertas dan layar putih yang ditempcl di dinding disediakan buat dicorat-coret, mereka pun beramai-ramai menyerbu. Ketua Presidium DM IKIP Bandung mencoretkan: "Kalau Saya Jadi Pejabat Mungkin Seperti Mereka Juga." Memang, selain mengkritik, acara itu juga dimaksudkan untuk melancarkan otokritik terhadap mahasiswa sendiri. "Semacam upacara penebusan dosa," kata seorang mahasiswa. Lain lagi acara sekelompok anak-anak muda di Jakarta yang mengatasnamakan Generasi Muda Indonesia. Memperingati 18 tahun Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (kembali ke UUD '45), tepat 5 Juli kemarin mereka mendatangi pimpinan MPR, minta agar pelantikan anggota-anggota DPR/MPR hasil pemilu 177 ditunda. Sebaliknya, agar segera diselenggarakan SU MPR hasil pemilu 1971 untuk mendengarkan pertanggunganjawab Presiden sebagai Mandataris MPR atas pelaksanaan BHN dan pemilu 1977. Ada Presedennya Seminggu sebelumnya sudah ada suara seperti itu. Yaitu dari M. Amin Ely, anggota DPR Fraksi Persatuan Pembangunan yang secara resmi mengajukannya kepada pimpinan MPR. Menurut Amin, hal itu diwajibkan oleh Tap MPR No. I/MPR/1973. "Sebab yang memberi mandat kepada Presiden adalah MPR hasil pemilu 1971, bukan MPR hasil pemilu 1977," katanya. Ia juga mengingatkan, menurut Tap MPR No. 1/MPR/1973, jabatan Presiden Soeharto adalah 5 tahun. "Sekarang ini masa jabatan itu tinggal 4 bulan lagi, dihitung dari tahun terakhir masa jabatan tersebut," tambahnya. Ia berpendapat, masa jabatan adalah bilangan tahunan, bukan bulanan, hingga Presiden tak usah menunggu sampai Maret 1978. Ini juga sikap PPP? "Saya tidak tahu. Tapi sebagai anggota fraksi saya sudah melaporkan," kata Amin Ely kepada Syarief Hidayat dari TEMPO. Kalau MPR 1971 tidak bersidang? "Itu terserah mereka. Memang inisiatif bersidang sebaiknya datang dari pemerintah. Itu lebih bijaksana. Dengan begitu kewibawaan serta popularitas Presiden semakin mantap," katanya lagi. Di lain fihak ada pendapat bahwa masa kerja MPR 1 sudah berakhir Oktober 1977, sedang masa jabatan Presiden masih 6 bulan lagi, sampai Malet 1978. Kalau demikian halnya, "nanti MPR akan bertanya kepada Presiden, mana pertanggunganjawab yang enam bulan lagi?" kata Wakil Ketua MPR Isnaeni. Jadi bagi Isnaeni, Presiden bertanggungjawab pada MPR 1977. Ini ada presedennya. Tahun 1968, MPRS mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Presiden untuk masa jabatan 5 tahun. Setelah masa jabatan berakhir, Presiden tidak memberikan pertanggunganjawab kepada MPRS yang mengangkatnya, melainkan kepada MPR hasil pemilu 1971 yang dilantik 1 Oktober 1972, dalam Sidang Umum MPR 12 Maret 1973. Pertanggunganjawab itu kemudian diterima dalam sidang 22 Maret 1973 lalu dikukuhkan lewat Tap MPR No. III/MPR/1973. Bahwa Presiden hendaknya memberikan pertanggunganjawab kepada MPR 1971 yang mengangkatnya -- masuk akal. Tapi kalau diingat masa jabatan Presiden 6 bulan lebih panjang dari masa kerja MPR 1971, hingga karenanya Presiden hanya bisa memberikan pertanggunganjawab pada bulan Maret. 1978 (ketika MPR 1971 sudah digantikan oleh MPR 1977) - masuk akal pula. Sama Saja Dialog pendahuluan seperti itu adalah karena adanya perbedaan pendapat. Tentu bukan merupakan tingkah oposisi. Dan pada akhirnya buat sementara ditutup oleh Soedharmono SH. Minggu lalu panjang lebar (tapi dengan cara sederhana) Menteri Sekretaris Negara itu menjelaskan kepada pers, bahwa Presiden Soeharto sebagai Mandataris MPR tidak perlu menyampaikan pertanggunganjawab kepada MPR 1971, melainkan kepada MPR 1977. Pertanggungan jawab itu merupakan salah satu faktor yang menentukan apakah Presiden lama akan terpilih kembali atau tidak. Pertanggunganjawab disampaikan kepada MPR baru hasil pemilu 1977 -- yang mewakili dinamik yang hidup dalam masyarakat sekarang. Itulah sebabnya, MPR baru itu pula yang memilih Presiden baru. Kalau disampaikan kepada MPR lama hasil pemilu 1971, menurut Soedharmono, penilaian mereka tidak obyektif. Sebab MPR lama merupakan wakil masyarakat 5 tahun lalu, meskipun merekalah justru yang memilih dan mengangkat Presiden. Tapi MPR lama atau baru, sebetulnya sama saja. Semuanya adalah lembaga tertinggi dalam sistim kenegaraan kita. Orang-orangnya bisa berganti tapi sebagai lembaga tidak berubah. Walhasil, pertanggunganjawab Mandataris MPR itu disampaikan kepada MPR baru, yang akan memilih dan mengangkat Presiden selaku Mandataris baru. Kalau pertanggunganjawab disampaikan kepada MPR lama, konsekwensinya MPR lama akan jalan terus. Keterangan Soedharmono itu rasanya kok ya masuk akal pula.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus