JAKARTA ramai-ramai -- kecil-kecilan. Ada kelompok yang
menamakan diri Rukun Pemuda Indonesia, yang akhir bulan lalu
muncul di Press Club. Dengan 7 lembar kertas yang distensil
rapih, mereka bicara tentang banyak hal. Dan tak lupa ikut-ikut
mengajukan calon Presiden.
Untuk Presiden, mereka kembali mencalonkan Soeharto dan sebagai
Wakil bekas Gubernur Jawa Timur yang kini Dubes di Perancis,
Haji Mohammad Noer. "Pak Noer berhasil membangun pedesaan. Dan
dia sipil. Jadi ada imbangan antara militer dan sipil," kata AN
Johannief, salah seorang di antara mereka kepada Eddy Herwanto
dari TEMPO.
Kelompok lain menamakan diri Manusia Baru Indonesia. Sepekan
sesudah RPI, mereka muncul depan sebuah warung di TIM. Calon
mereka: Ali Sadikin sebagai Presiden dan Adnan Buyung Nasution
Sl sebagai wakil. Alasannya: biar ada keseimbangan antara
Angkatan 45 (diwakili Ali Sadikin) dan Angkatan 66 (Buyung
Nasution).
Sejauh ini, tampaknya fihak penguasa menyadari bolehnya ada hak
berbeda pendapat. Selain tindakan polisi terhadap 2 pemuda di
TIM itu, belum tampak tindakan-tindakan lain yang serius.
Agaknya ada pula yang disadari, seperti kata B. Aritonang, Pj.
Ketua DM UGM Yogya, bahwa "pencalonan Presiden dan Wakil
sebaiknya lebih dari satu, agar ada kompetisi." Setidaknya,
kompetisi bersuara doang.
Menampung Uneg-Uneg
Di Bandung, awal Juli kemarin dipentaskan "Pagelaran Wayang Hyde
1977". Konon mereka memang menganggap negeri ini sebagai 'negeri
pewayangan'. Kalimat menarik dalam selebaran mereka: "Tempat
berpijak kita hanyalah sebongkah batang pisang diterangi
seberkas lampu katil minyak tanah yang 20 tahun lagi akan
habis." Sementara si raksasa kerdil Sukrasana mampu memindahkan
Taman Sriwedari (begitu cerita pewayangan), malam itu sekitar
100 mahasiswa Bandung mencoba memindahkan Hyde Park dari London
ke Bumi Siliwangi di Bandung.
Acara yang diselenggarakan oleh DM IKIP Bandung itu nyaris
gagal. Suasana memang santai. Sambil nyanyi-nyanyi, mereka duduk
melingkari lapangan basket di Gedun Olahraga Bumi Siliwangi,
diterangi cahaya bulan purnama. Tapi hanya 3 mahasiswa saja yang
berani tampil. Padahal acara itu menurut panitia, dimaksud untuk
"menampung segala uneg-uneg angkatan muda dan mahasiswa"
terhadap segala persoalan. Pokoknya seperti Hyde Park di London,
di mana setiap orang boleh ngomong seenak perut - tanpa risiko
ditangkap.
Tapi Indonesia bukan Inggeris zaman ini. Maka pagelaran itu
nyaris berubah menjadi malam pembacaan puisi melulu. Tentu saja
puisi protes. Ketika panitia mengumumkan bahwa lembaran kertas
dan layar putih yang ditempcl di dinding disediakan buat
dicorat-coret, mereka pun beramai-ramai menyerbu.
Ketua Presidium DM IKIP Bandung mencoretkan: "Kalau Saya Jadi
Pejabat Mungkin Seperti Mereka Juga." Memang, selain mengkritik,
acara itu juga dimaksudkan untuk melancarkan otokritik terhadap
mahasiswa sendiri. "Semacam upacara penebusan dosa," kata
seorang mahasiswa.
Lain lagi acara sekelompok anak-anak muda di Jakarta yang
mengatasnamakan Generasi Muda Indonesia. Memperingati 18 tahun
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (kembali ke UUD '45), tepat 5 Juli
kemarin mereka mendatangi pimpinan MPR, minta agar pelantikan
anggota-anggota DPR/MPR hasil pemilu 177 ditunda. Sebaliknya,
agar segera diselenggarakan SU MPR hasil pemilu 1971 untuk
mendengarkan pertanggunganjawab Presiden sebagai Mandataris MPR
atas pelaksanaan BHN dan pemilu 1977.
Ada Presedennya
Seminggu sebelumnya sudah ada suara seperti itu. Yaitu dari M.
Amin Ely, anggota DPR Fraksi Persatuan Pembangunan yang secara
resmi mengajukannya kepada pimpinan MPR. Menurut Amin, hal itu
diwajibkan oleh Tap MPR No. I/MPR/1973. "Sebab yang memberi
mandat kepada Presiden adalah MPR hasil pemilu 1971, bukan MPR
hasil pemilu 1977," katanya. Ia juga mengingatkan, menurut Tap
MPR No. 1/MPR/1973, jabatan Presiden Soeharto adalah 5 tahun.
"Sekarang ini masa jabatan itu tinggal 4 bulan lagi, dihitung
dari tahun terakhir masa jabatan tersebut," tambahnya. Ia
berpendapat, masa jabatan adalah bilangan tahunan, bukan
bulanan, hingga Presiden tak usah menunggu sampai Maret 1978.
Ini juga sikap PPP? "Saya tidak tahu. Tapi sebagai anggota
fraksi saya sudah melaporkan," kata Amin Ely kepada Syarief
Hidayat dari TEMPO.
Kalau MPR 1971 tidak bersidang? "Itu terserah mereka. Memang
inisiatif bersidang sebaiknya datang dari pemerintah. Itu lebih
bijaksana. Dengan begitu kewibawaan serta popularitas Presiden
semakin mantap," katanya lagi. Di lain fihak ada pendapat bahwa
masa kerja MPR 1 sudah berakhir Oktober 1977, sedang masa
jabatan Presiden masih 6 bulan lagi, sampai Malet 1978.
Kalau demikian halnya, "nanti MPR akan bertanya kepada Presiden,
mana pertanggunganjawab yang enam bulan lagi?" kata Wakil Ketua
MPR Isnaeni.
Jadi bagi Isnaeni, Presiden bertanggungjawab pada MPR 1977. Ini
ada presedennya. Tahun 1968, MPRS mengangkat Jenderal Soeharto
sebagai Presiden untuk masa jabatan 5 tahun. Setelah masa
jabatan berakhir, Presiden tidak memberikan pertanggunganjawab
kepada MPRS yang mengangkatnya, melainkan kepada MPR hasil
pemilu 1971 yang dilantik 1 Oktober 1972, dalam Sidang Umum MPR
12 Maret 1973. Pertanggunganjawab itu kemudian diterima dalam
sidang 22 Maret 1973 lalu dikukuhkan lewat Tap MPR No.
III/MPR/1973.
Bahwa Presiden hendaknya memberikan pertanggunganjawab kepada
MPR 1971 yang mengangkatnya -- masuk akal. Tapi kalau diingat
masa jabatan Presiden 6 bulan lebih panjang dari masa kerja MPR
1971, hingga karenanya Presiden hanya bisa memberikan
pertanggunganjawab pada bulan Maret. 1978 (ketika MPR 1971 sudah
digantikan oleh MPR 1977) - masuk akal pula.
Sama Saja
Dialog pendahuluan seperti itu adalah karena adanya perbedaan
pendapat. Tentu bukan merupakan tingkah oposisi. Dan pada
akhirnya buat sementara ditutup oleh Soedharmono SH. Minggu lalu
panjang lebar (tapi dengan cara sederhana) Menteri Sekretaris
Negara itu menjelaskan kepada pers, bahwa Presiden Soeharto
sebagai Mandataris MPR tidak perlu menyampaikan
pertanggunganjawab kepada MPR 1971, melainkan kepada MPR 1977.
Pertanggungan jawab itu merupakan salah satu faktor yang
menentukan apakah Presiden lama akan terpilih kembali atau
tidak. Pertanggunganjawab disampaikan kepada MPR baru hasil
pemilu 1977 -- yang mewakili dinamik yang hidup dalam masyarakat
sekarang. Itulah sebabnya, MPR baru itu pula yang memilih
Presiden baru.
Kalau disampaikan kepada MPR lama hasil pemilu 1971, menurut
Soedharmono, penilaian mereka tidak obyektif. Sebab MPR lama
merupakan wakil masyarakat 5 tahun lalu, meskipun merekalah
justru yang memilih dan mengangkat Presiden. Tapi MPR lama atau
baru, sebetulnya sama saja. Semuanya adalah lembaga tertinggi
dalam sistim kenegaraan kita. Orang-orangnya bisa berganti tapi
sebagai lembaga tidak berubah.
Walhasil, pertanggunganjawab Mandataris MPR itu disampaikan
kepada MPR baru, yang akan memilih dan mengangkat Presiden
selaku Mandataris baru. Kalau pertanggunganjawab disampaikan
kepada MPR lama, konsekwensinya MPR lama akan jalan terus.
Keterangan Soedharmono itu rasanya kok ya masuk akal pula.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini