MAJALAH Selecta 9 tahun yang lalu membuat satu seri sayembara.
Unik juga sayembara ke-12 yang dimuat dalam nomor 8 April 1968.
Dengan hadiah Rp 15.000, para pembaca diminta menjawab -- sesuka
hati -- suatu problim yang disusun dalam bentuk cerita.
Problim itu ringkasnya begini: Z, seorang dirjen dalam sebuah
departemen, punya soal pelik. Perusahaan negara yang dibawahinya
perlu seorang yang sanggup memimpin dan melancarkan operasinya,
agar bisa maju. Dewan pimpinan perusahaan itu sendiri
mencalonkan tokoh A. Dia ini muda, pemimpin buruh, tokoh partai
yang berpengaruh dan berpengalaman dalam pelbagai bisnis.
Menurut yang mencalonkannya, A ini tokoh jujur dan berdisiplin.
Tapi Z juga dikasih calon lain. Yaitu B. Yang mencalonkan B tak
lain Pak Menteri sendiri. Dalam memonya, Pak Menteri menyatakan
bahwa B seorang pemimpin usaha yang ternama. Meski bukan
sarjana, kecakapannya tak usah diragukan. Juga kenalan serta
koneksinya banyak di bidang perdagangan luar dan dalam negeri.
Di samping A dan B, ada pula calon C. Yang mengusulkan: staf
ahli departemen. C adalah seorang ahli ekonomi lulusan
universitas luarnegeri. Ia pernah jadi dekan fakultas ekonomi
pada sebuah universitas negeri. Tulisannya yang tersebar
berpengaruh dalam bidang ekonomi dan perdagangan.
Siapa lalu yang harus dipilih Z? Ketiga calon cukup memenuhi
syarat. Dan Z yakin bahwa A, B dan C dicalonkan dengan iktikad
baik untuk kepentingan bangsa dan negara. Nah, para pembaca,
menurut pandangan anda siapa yang harus dipilih untuk jadi
pemimpin perusahaan negara itu?
Hampir 2000 kartupos pembaca masuk mengirimkan jawab. Isinya
macammacam, dan berasal dari macam-macam orang pula. Ada yang
bernada penuh semangat, tapi tak jarang yang bersuara
sinis--termasuk seorang mayor Angkatan Darat dari Jawa, yang
menulis agar si Dirjen memilih saja calon Pak Menteri.
"Rumahtangganya akan aman," kata sang mayor, yang kemudian
bertanya: "Kenapa pusing-pusing dengan 1001 perhitugan, kalau
kini sudah jadi rahasia umum bahwa koncoisme lebih penting
daripada peraturan?".
Arkian, adalah seorang sarjana ilmu politik, Donald K. Emmerson
namanya, dari University of Wisconsin, Madison, AS. Ia membuat
telaah atas sayembara Selecta itu. Dalam tulisannya,
"Bureaucratic Alienation in Indonesia: 'The Director General's
Dilemma' "yang dimuat dalam Political Participation in Modern
Indonesia (editor: R. William Liddle, 1973), Emmerson mencoba
meraba pendapat para warganegara tentang pemerintahnya. Adakah
di sana dukungan terhadap birokrasi? Ataukah yang terjadi
"alienasi birokratis", yang menunjukkan jarak dan
ketidakpercayaan terhadap birokrasi pusat yang lebih tinggi?
Sayembara Selecta bukanlah survai, dan Emmerson karenanya
berhati-hati. Tapi nampaknya ada suatu ilustrasi yang bisa
muncul. Kalangan para guru dan pegawai negeri yang ikut
sayembara itu umumnya ternyata yang paling jelas memperlihatkan
gejala "alienasi birokratis". Mereka seperti berkata: "Sistem
yang ada memang busuk sudan, dan saya cuma seorang pegawai
kecil, apa yang bisa saya lakukan?." Mereka tak lagi kritis.
Berbeda dengan para mahasiswa. Mereka ini paling kritis, lebih
melihat kemungkinan bahwa keadaan bisa diperbaiki.
Tapi semua itu berasal dari gambaran sepintas 9 tahun yang lalu.
Kini adakah suara kritis masih terdengar? Adakah kepercayaan
kepada birokrasi bertambah kuat? Ataukah justru "alienasi
birokratis" kian meluas, dan orang pun sudah kasih tabik selamat
jalan kepada harapan perbaikan?
Jawabnya datang dari sebuah nyanyian: "Mana 'ku tahu".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini