Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pakaian Chuwit Kamolvisit terlihat kusut dan dekil saat dia menggunakan hak suaranya pada pemilihan umum yang dipercepat di tempat pemungutan suara unit 84, Distrik Din Daeng, Bangkok, Thailand, Ahad pekan lalu. Pemimpin Partai Rak Thailand-salah satu sekutu oposisi, Partai Demokrat-ini diserang beberapa pria berbaju hitam, berkalung peluit, dan memakai ikat kepala dengan bendera Thailand dalam perjalanan menuju TPS.
Chuwit, yang dikenal sebagai bos panti pijat, sempat bergulat dengan penyerangnya, yang diduga anggota Komite Reformasi Rakyat Demokratik (PDRC) atau kelompok anti-pemerintah. PDRC memang menurunkan "pasukan" berpakaian hitam untuk menghalangi pemilih menggunakan hak suaranya. "Seharusnya mereka yang tidak suka kepada pemerintah cukup mencentang kotak tidak memilih, bukan dengan menghalang-halangi orang lain ke TPS," kata Chuwit seperti dikutip Voice of America, Ahad pekan lalu.
Chuwit adalah tokoh koalisi oposisi Thailand yang selama ini gigih memperjuangkan perlawanan anti-Thaksin Shinawatra, bekas perdana menteri yang divonis hukuman dua tahun penjara akibat korupsi. Dia sangat lantang saat menentang Rancangan Undang-Undang Amnesti, yang menjadi pemicu gerakan anti-pemerintah. Undang-undang ini diduga hendak digunakan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra untuk memberi jalan bagi kakaknya, Thaksin, pulang ke Thailand. Beberapa kali Chuwit dan pendukungnya terlibat unjuk rasa anti-pemerintah pada November tahun lalu.
Namun bekas anggota parlemen itu berbeda pendapat ketika pemimpin demonstran anti-pemerintah, Suthep Thaugsuban, melontarkan sikap menolak pemilihan umum sebagai cara menyelesaikan konflik. Menurut dia, langkah itu akan menodai demokrasi di Thailand. Rak Thailand hanya mendapatkan empat kursi pada pemilihan 2011, yang mengantarkan Partai Pheu Thai menjadi pemenang dan Yingluck menempati kursi perdana menteri. Dia menuturkan konflik antara rezim Thaksin dan oposisi akan terus berlangsung jika tak ada kompromi. "Komprominya melalui politik, yaitu pemilu. Jika tidak ada kompromi, perang akan terjadi," ujarnya.
Riak-riak pergolakan di kubu anti-pemerintah muncul sejak pembentukan dewan rakyat pada awal Desember tahun lalu. Suthep menunjuk langsung 38 anggota dewan itu, yang terdiri atas para akademikus, praktisi, aktivis antikorupsi, dan pengusaha. Mereka digadang-gadang akan menjalankan pemerintahan sementara setelah parlemen dibubarkan dan menyelenggarakan pemilihan umum. Suthep, yang juga bekas anggota parlemen asal partai oposisi, Demokrat, berharap dewan rakyat bisa menggelar pemilihan secara jujur dan adil. Demokrat dibayangi kekhawatiran kalah untuk kelima kalinya dari rezim Thaksin jika pemilu digelar. Namun pemerintah menolak mentah-mentah usul para pengunjuk rasa dan memutuskan menggelar pemilu.
Perpecahan terjadi pula di kalangan masyarakat liberal dan progresif di Thailand, yang merupakan basis kekuatan oposisi. Pengamat politik Independen asal Inggris, Chris Baker, mengatakan sikap kelompok anti-pemerintah itu akan merusak prinsip dasar demokrasi. Dia mencontohkan dewan rakyat yang diisi warga Bangkok dan mengesampingkan penduduk di luar Bangkok. Menurut Baker, ini merupakan sikap mengabaikan keterwakilan wilayah. Dewan itu, dia menambahkan, tak akuntabel dan tak dapat diterima. "Ini langkah cacat yang mengandung prinsip antidemokrasi," katanya seperti dilansir Bangkok Post.
Kraisak Choonhavan, mantan anggota parlemen dan aktivis komunitas hak asasi manusia, berbeda pendapat. Menurut dia, mengabaikan pemilu dan menggantikannya dengan dewan rakyat bisa dibenarkan untuk mencapai reformasi total. "Setiap demokrasi membutuhkan waktu seperti reformasi," ucapnya. Thirayut Boonmi, ikon pemimpin pemberontakan mahasiswa 1976, menyatakan mereka yang memilih pemerintah Yingluck yang korup dan diktator harus dihapus dengan revolusi rakyat. "Kroni Shinawatra telah mengakar di semua lembaga negara," ujarnya seperti dikutip The Nation.
Bukan hanya itu. Kalangan internal Partai Demokrat terbelah tiga hari sebelum pemilu. Ada perbedaan pendapat dalam menyikapi pemilu sela itu: sebagian mengusulkan memboikot, sebagian yang lain menyarankan pemilih tetap datang.
Seorang petinggi partai mengatakan beberapa anggota Demokrat mengusulkan perlunya digelar kampanye untuk tidak memilih. Para pemilih diminta tetap datang ke TPS, tapi bukan untuk memilih calon mana pun. Alasannya, hal ini bisa mencegah Partai Pheu Thai menggunakan hasil pemilu untuk mengklaim dukungan. Namun anggota lain berpendapat Demokrat tak bisa melakukan itu karena tak menerjunkan kandidat dalam pemilihan sela. "Keduanya berisiko, sehingga keputusan diserahkan kepada anggota," kata sumber itu.
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Sirichok Sopha membantah ada perpecahan. Dia mengakui ada usul itu, tapi tiga hari tak cukup untuk menggelar kampanye. "Kami putuskan tetap memboikot pemilihan. Jika lebih dari separuh pemilih tidak muncul, hasil pemilu bisa dianggap tidak mewakili rakyat," ujarnya.
Seorang mantan anggota parlemen dari Demokrat yang meminta namanya dirahasiakan mengatakan simpatisan dan anggota partai ada yang ke TPS, meski khawatir akan difoto oleh pendukung pemerintah dan gambarnya diunggah di media sosial. "Para pemimpin partai memutuskan memboikot. Kami memilih memberikan suara agar politikus jahat tidak terpilih," katanya.
Perpecahan itu mengakibatkan oposisi gagal mengamankan boikot di wilayah selatan Thailand. Hanya 9 dari 14 provinsi di selatan yang pelaksanaan pemungutan suaranya bisa digagalkan. Padahal, menurut survei Asia Foundation, anggota kelompok anti-pemerintah merupakan lebih dari 82 persen penduduk wilayah selatan. Survei yang menggunakan metode multiple random sampling ini digelar pada Desember tahun lalu dengan tingkat kesalahan 5 persen.
Di Bangkok, oposisi berhasil mengajak pemilih memboikot pemilu. Partisipasi pemilih di Bangkok hanya 733 ribu dari total 4,3 juta pemilih atau 16,8 persen. Secara nasional, jumlah pemilih yang berpartisipasi dalam pemilu hanya 20,1 juta orang dari total 44 juta orang yang berhak memilih atau hanya 45,8 persen. Angka partisipasi ini jauh dibanding pemilu 2011, yang mencapai 73 persen.
David Streckfuss, Direktur Program Council on International Exchange Khon Kaen University Thailand, mengatakan perpecahan ini akan menguntungkan Yingluck dan Partai Pheu Thai. Pheu Thai bisa memenangi pemilu. "Sebab, oposisi utama, Partai Demokrat, memilih memboikot pemilu," ucapnya.
Belum ada hasil penghitungan suara, tapi Sompong Amornvivat, Direktur Pusat Pemantau Pemilu Partai Pheu Thai, telah mengklaim partainya memenangi 300 kursi, yang terdiri atas 240 kursi melalui sistem pemilihan dan 60 kursi melalui sistem proporsional. Perolehan ini meningkat dibanding pada pemilu 2011, saat mereka meraih 265 kursi-204 kursi dari sistem pemilihan dan 61 kursi dari sistem proporsional. Masih ada 28 daerah yang batal menggelar pemilihan karena dihadang oposisi-pemungutan suara akan disusulkan kemudian. Walau begitu, jumlah tersebut cukup untuk menempatkan Pheu Thai menjadi mayoritas dari total 500 kursi di parlemen.
Juru bicara Demokrat, Chavanon Intarakomalyasut, mengklaim pelaksanaan pemilu kali ini memiliki banyak cacat. Dia mencontohkan partisipasi pemilih yang rendah, banyaknya surat suara rusak, dan pelanggaran lain. Karena itu, oposisi mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi agar hasil pemilu dibatalkan. Demokrat juga mengusulkan Pheu Thai dibubarkan karena mengumumkan keadaan darurat. "Artinya pemilu tidak dapat digelar dalam keadaan normal," katanya.
Eko Ari Wibowo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo