TAMPAKNYA panitia hadiah Nobel untuk perdamaian siap mencatat perkembangan perundingan PLO-Israel hari-hari ini. Begitu pernyataan diteken, dan deklarasi dari rumah tua di Oslo diterapkan, kemungkinan besar terjadi semacam ulangan untuk pemenang Nobel Perdamaian tahun ini, seperti tahun 1979 lalu. Dua bekas musuh besar berbagi hadiah itu: dulu Begin dan Sadat, kini Arafat dan Rabin. Tentu saja, jika jalan menuju perdamaian dibuka, itu bukan hanya jasa mereka. Juga bukan hanya jasa menteri luar negeri Norwegia dan anggota FOFA, institut ilmu terapan Norwegia. Juga bukan hanya jasa Shimon Peres, Mahmoud Abbas, Ahmad Krai, dan orang-orang yang punya nama itu. Yang mungkin tak diperhitungkan adalah mereka yang tak disebut-sebut tapi yang tiap hari menghadapi risiko, yang pelan-pelan menciptakan atmosfer untuk sebuah perdamaian. Merekalah orang-orang Arab yang menjadi warga Israel. Dalam buku baru David Grossman, Sleeping on a Wire: Coversations with Palestinians in Israel, jurnalis yang juga novelis Israel itu merekam suara-suara dan sikap mereka. Jumlah mereka kini mencapai 18% dari seluruh populasi di Israel yang sekitar 5 juta. Oleh orang-orang Palestina di luar wilayah Israel, mereka dicap sebagai kolaborator. Memang, sementara di wilayah pendudukan kemerdekaan diinjak sepatu lars, meski dianggap sebagai warga kelas dua, logis bila hidup orang Arab-Israel itu lebih enak dilihat dari luar. Tapi bukannya mereka tak punya jasa seandainya perdamaian yang tengah dirintis dengan susah payah kini terwujud. Seperti dikisahkan dalam buka Grossman, yang pernah menulis reportase wilayah pendudukan dengan hidup dan cermat dan diterbitkan sebagai The Yellow Wind (1987), mereka berhasil membentuk partai, dan mendudukkan wakilnya di Knesset, parlemen Israel. Dan di zaman pemerintah Partai Buruh kini mereka mendapat perhatian besar. Masalahnya sederhana saja. Kemenangan tipis Partai Buruh dalam pemilu tahun lalu memerlukan dukungan partai Arab. Maka, ketika Rabin dilantik sebagai perdana menteri, Juli tahun lalu, ia mengatakan, di negara merdeka yang sudah berusia 45 tahun ini masih ada kesenjangan antara masyarakat Arab dan Yahudi. ''Kami harus melakukan apa pun untuk menutup kesenjangan itu,'' kata Ketua Partai Buruh itu. Ini menyebabkan orang Arab-Israel mendapat peluang berperan. Anggota parlemen Arab menyatakan bahwa PLO pun mewakili mereka. Mereka juga mengaku menjadi penghubung tak resmi antara Yasser Arafat dan Yitzhak Rabin. Dan ini menyebabkan mereka, untuk pertama kali setelah 45 tahun, punya kekuatan politik yang nyata. Kelompok-kelompok moderat Israel pun mendukung mereka, bahkan menyediakan dana-dana. Asosiasi Hak-Hak Asasi Manusia bahkan memperjuangkan kebijaksanaan baru, yang masyarakat yang sama- sama berbagi antara Yahudi dan Arab. Melihat kisah ini, kemudian mengaitkannya dengan masa depan perundingan Arab-Israel, khususnya Palestina-Israel di Washington dan PLO-Israel di Oslo, sebuah gambaran optimistis mencuat ke permukaan: ''sebuah negara yang sekuler, demokratik, pluralistik'' tampaknya mungkin diwujudkan. Karena itu, perundingan di Washington dan Oslo, betapa pun banyak juga yang meragukan kesuksesannya, punya masa depan. Karena itu, masalah Timur Tengah ini kami pilih menjadi Laporan Utama pekan ini. Terlalu penting dilewatkan untuk tak menceritakan bagaimana nasib PLO, Arafat, Partai Buruh, dan lain-lain yang terlibat perundingan damai. Soalnya, jika saja penandatanganan dicapai, banyak pengamat melihatnya sebagai salah satu peristiwa terbesar di abad ini, di samping runtuhnya Tembok Berlin, yang mengakibatkan hancurnya komunisme dan bubarnya Uni Soviet. Di samping cerita soal perundingan yang rahasia (Oslo) maupun yang terang (Washington), dicoba juga di bagian kedua menggambarkan perubahan ''warna'' PLO. Tentu juga perlu diceritakan, penghalang yang dimiliki kedua pihak. Dan potret wilayah pendudukan. Sebuah zaman baru di Timur Tengah, cepat atau lambat, tampaknya akan muncul sebelum abad ke-20 ini masuk ke abad berikutnya. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini