Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pernyataan bersama Prabowo-Xi Jinping di Beijing pada 9 November 2024 mengubah kebijakan luar negeri Indonesia di Laut Cina Selatan.
Selama ini Indonesia tidak mengenal sembilan garis putus, klaim Cina sebagai pemilik hampir seluruh wilayah Laut Cina Selatan, yang tidak diakui UNCLOS.
Dengan mengakui ada tumpang-tindih klaim, Indonesia wajib memenuhi permintaan Cina untuk berunding soal batas wilayah perairan.
KUNJUNGAN luar negeri perdana Presiden Prabowo Subianto langsung menuai kegaduhan. Sebab, kalangan pakar hukum internasional dan hubungan internasional menganggap pernyataan bersama Presiden Prabowo dan Presiden Cina Xi Jinping sebagai kemunduran dalam diplomasi Indonesia di Laut Cina Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Butir 9 pernyataan bersama itu menyebutkan Indonesia dan Cina mencapai kesepahaman penting untuk menjalani pengembangan bersama (joint development) di wilayah-wilayah tumpang-tindih (areas of overlapping claims). Frasa ini dinilai fatal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hikmahanto Juwana, guru besar hukum internasional Universitas Indonesia, mempertanyakan wilayah tumpang-tindih tersebut. Dia menduga kawasan itu adalah perairan di timur laut Kepulauan Natuna, lokasi persinggungan zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia dan sembilan garis putus atau nine dash line Cina. Perairan itu dikenal dengan Laut Natuna Utara. "Jika benar, berarti kebijakan luar negeri Indonesia ihwal sembilan garis putus berubah drastis, fundamental, dan berdampak pada geopolitik kawasan," ujar Hikmahanto kepada Tempo pada Selasa, 12 November 2024.
Republik Rakyat Cina mengaku sebagai penguasa sekitar 90 persen Laut Cina Selatan. Klaim itu pertama kali dikemukakan pada 1948 lewat penggambaran sebelas garis putus di peta mereka yang menjorok jauh hingga mendekati Vietnam di timur, Filipina di barat, serta Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam di selatan. Seiring berjalannya waktu, jumlah garisnya berubah-ubah. Bisa sembilan, sepuluh, atau sebelas. Namun masyarakat internasional lebih mengenalnya sebagai nine dash line.
Batas wilayah perairan tersebut merupakan klaim sepihak berdasarkan lokasi penangkapan ikan tradisional Cina. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS)—Indonesia dan Cina termasuk di antara 168 pesertanya—tidak mengakuinya. Pada 2016, Mahkamah Arbitrase Internasional menyatakan klaim tersebut tidak memiliki dasar dalam hukum internasional.
KRI Imam Bonjol (383) melakukan pemeriksaan kapal nelayan Han Tan Cou 19038 berbendera Cina yang memasuki perairan Indonesia di Natuna, Kepulauan Riau, 2016. ANTARA/Dispen Koarmabar
Hukum laut internasional membedakan antara kedaulatan dan hak berdaulat. Kedaulatan mengacu pada laut teritorial. Sementara itu, hak berdaulat memungkinkan negara pantai menambang di landas kontinen dan menangkap ikan dalam batas zona ekonomi eksklusif kontinen yang jaraknya 200 mil laut. Dengan prinsip itu, Indonesia berbatasan laut dengan sepuluh negara, yakni India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Papua Nugini, Palau, Timor Leste, dan Australia. Cina tidak termasuk.
Atas dasar itu, sejak sekian dekade lalu hingga akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia tidak mengenal nine dash line. "Selama ini pemerintah konsisten tidak mau berunding dengan Cina soal Laut Cina Selatan, apalagi memunculkan ide pengembangan bersama," kata Hikmahanto.
Menanggapi kegaduhan ini, Kementerian Luar Negeri menyatakan kerja sama tersebut tidak berarti pengakuan atas klaim nine dash line Cina. Pernyataan bersama Prabowo-Xi Jinping juga tidak berdampak pada kedaulatan dan yurisdiksi Indonesia di Laut Natuna Utara.
Pakar politik luar negeri Cina, Yeremia Lalisang, mengatakan memang Indonesia tidak menyatakan pengakuan atas klaim batas wilayah perairan Cina. Namun kalimat "mencapai kesepahaman penting untuk pengembangan bersama di wilayah-wilayah tumpang-tindih" ibarat membuka kotak Pandora. "Ini memberikan keuntungan bagi diplomasi Cina untuk bermanuver," kata pengajar hubungan internasional Universitas Indonesia itu kepada Tempo. "Mereka langsung tancap gas."
Pada Senin, 11 November 2024, Kementerian Luar Negeri Cina mengabarkan siap bernegosiasi dengan Indonesia soal klaim tumpang-tindih di laut. Dalam konferensi pers tersebut, Lin Jiang, juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, tidak menyebutkan lokasi tumpang-tindih itu. Namun, dalam kesempatan yang sama, dia menyinggung soal Laut Cina Selatan. "Wilayah tersebut ditetapkan berdasarkan sejarah yang panjang dan konsisten dengan hukum dan praktik internasional. Sejak 1948, pemerintah Cina secara resmi telah mengumumkan garis putus-putus dan menegaskan kembali kedaulatan serta hak-haknya di Laut Cina Selatan," kata Lin, seperti dilaporkan Antara pada Selasa, 12 November 2024.
"Apakah ada wilayah lain di mana kita overlapping dengan Cina? Tidak lain tidak bukan itu adalah Laut Natuna Utara," tutur Arie Afriansyah, Ketua Indonesian Society of International Law Lecturers. Perairan tersebut terus menjadi zona panas. Misalnya, pada Juni 2016, KRI Imam Bonjol-383 menembak kapal nelayan Cina yang dilaporkan mencuri ikan di ZEE Indonesia. Saat itu Presiden Jokowi merespons protes Cina atas penembakan itu dengan "berkantor" di kapal perang tersebut.
Pada pertengahan 2021, kapal Haiyang Dizhi 10 dari Cina memantau area sekitar Blok Tuna di utara Kepulauan Natuna. Pemerintah Cina kemudian meminta Indonesia menghentikan pengeboran minyak di sana karena merasa lokasi itu sebagai kawasan perairan mereka.
Pernyataan bersama Prabowo-Xi Jinping bisa mengubah posisi Indonesia dalam sengketa wilayah tersebut. Menurut Arie, meski bukan perjanjian internasional resmi dan mengikat, pernyataan bersama menuntut komitmen. "Sebab, diungkapkan di muka umum dan diucapkan oleh pemimpin negara," kata pengajar hukum laut di Fakultas Hukum UI ini.
KRI Todak (631) berada di sebelah Kapal Coast Guard Cina 3303 saat mencoba menangkap kapal nelayan Han Tan Cou 19038 yang memasuki perairan Indonesia di Natuna, Kepulauan Riau, 2016. ANTARA/Dispen Koarmabar
Apalagi ada pernyataan pengembangan bersama. Arie mengatakan joint development diatur dalam UNCLOS Pasal 74 dan 83 yang menyebutkan dua negara yang saling klaim dan belum tuntas penyelesaiannya dapat membuat pengembangan bersama. Misalnya sengketa ZEE antara Indonesia dan Vietnam bisa ditengahi lewat pengembangan bersama berupa pemanfaatan perikanan, yang porsinya dibagi dua. "Masalahnya, klaim Cina tidak berdasarkan UNCLOS. Mengapa mau joint development? Ini sama saja mengakui batas wilayah laut mereka," kata doktor hukum internasional dari Otago University, Dunedin, Selandia Baru, tersebut.
Yeremia menyebut butir ke-9 pernyataan bersama Prabowo-Xi Jinping itu sebagai kemenangan diplomasi Cina. Menurut dia, Pejambon—sebutan bagi Kementerian Luar Negeri, mengacu pada lokasi kantor mereka di Jakarta Pusat—boleh saja menolak disebut mengakui nine dash line. Namun, menurut doktor hubungan internasional dari Xiamen University di Xiamen, Cina, itu, pengakuan akan adanya tumpang-tindih klaim mewajibkan Indonesia berdiskusi soal batas wilayah perairan dengan Cina, yang berjarak lebih dari 1.100 mil laut dari pantai terluar Indonesia.
Hikmahanto menyatakan kerusakan telah terjadi dalam kebijakan luar negeri Indonesia dan Kementerian Luar Negeri tak perlu lagi mengelak melalui penafsiran kalimat. Yang perlu mereka lakukan sekarang, dia melanjutkan, adalah memitigasi dampak kerusakan. "Salah satu bentuknya adalah pejabat yang berwenang menyatakan kesalahannya dalam membuat joint statement tersebut," tuturnya.
Kementerian Luar Negeri menolak berkomentar lebih lanjut. Roy Sumirat, juru bicara kementerian tersebut, tidak menjawab pertanyaan yang diajukan Tempo ke nomor pribadinya, termasuk soal wilayah mana yang dimaksudkan sebagai tumpang-tindih klaim dalam pernyataan bersama Prabowo-Xi Jinping. "Sudah jelas semua di press release," kata Roy.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Savero Aristia berkontribusi dalam penulisan artikel ini