Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
AROMA ketegangan masih menusuk di Lahad Datu, Sabah, Malaysia. Pertokoan terkunci, jalanan sepi. Rombongan polisi dan tentara berompi antipelor mondar-mandir, tanpa ada yang bisa ditanya. "Kami diperingatkan tidak pergi terlalu jauh dan tidak keluar saat malam hari," kata Hamzah Nazari dalam reportasenya untuk Malaysian Mail, Senin pekan lalu.
Rupanya, keadaan kota yang terletak di timur Malaysia itu masih gawat. Rabu siang pekan lalu, kondisi yang sama diceritakan Menteri Pertahanan Malaysia Datuk Seri Dr Ahmad Zahid Hamidi kepada Tempo di Jakarta. Kontak senjata yang lebih dari sebulan berjalan belum dapat teredakan. "Siang tadi saya baru mendapat kabar tentara tertembak. Ada juga korban dari penyusup," ujarnya.
Konflik bersenjata di Lahad Datu sejatinya bermula saat 200-an anggota askar suruhan Jamalul Kiram III, yang mengklaim sebagai Sultan Sulu (walau dibantah oleh pihak kesultanan), berlabuh di Kampung Tanduo pada 9 Februari lalu. Kedatangan mereka bermaksud mengklaim kembali daerah itu sebagai wilayah mereka berdasarkan jejak sejarah, tapi ditolak Malaysia.
Merasa wilayahnya dimasuki penyusup yang berbuat onar, pemerintah Malaysia lantas menggelar operasi militer gila-gilaan menjaga kedaulatan. Korban pun berjatuhan. Puluhan jiwa melayang, kebanyakan dari pihak penyusup. Tapi ada juga polisi Diraja Malaysia yang tewas.
Apabila menilik sejarah, menurut situs Standard Today, ada jejak yang memang menyebutkan Sabah, termasuk Lahad Datu, pernah dimiliki Kesultanan Brunei. Daerah itu kemudian dihadiahkan Sultan Brunei kepada Kesultanan Sulu, karena Sulu sempat membantu Brunei meredam konflik antarwarga di negara kecil nan kaya tersebut. Lantas tiba masa pendudukan Inggris menguasai Sabah, lewat eksplorasi kekayaan alam.
Seusai masa pendudukan, sebuah referendum pada 1963 mencuatkan hasil bahwa warga Lahad Datu ingin bergabung dengan negara federasi Malaysia, yang baru merdeka dari cengkeraman Inggris. "Putusan itu sudah dilegalkan lewat proses hukum di mahkamah," kata Zahid.
Kemudian muncul spekulasi soal kedatangan penyerbu dari Sulu. Karena pilihan raya bergulir sebentar lagi, konflik bersenjata ini dianggap "permainan" pemerintah Malaysia belaka. Pihak oposisi menuding ribut Lahad Datu dagelan politik. Tuduhan itu mengalir dari Wakil Presiden Partai Keadilan Rakyat yang juga anggota parlemen Malaysia, Tian Chua.
Menurut dia, kecabuhan sengaja dibuat pemerintah untuk pengalih perhatian bagi masalah domestik Malaysia, terutama soal pilihan raya, yang tak jua diumumkan penyelenggaraannya. Ujung-ujungnya, ujar Chua, pemberian kemudahan bagi orang asing bisa memilih UMNO dalam pemilihan umum Malaysia. "Kasus ini bernuansa politik sangat kental," katanya seperti dikutip New Strait Times.
Pemerintah Malaysia jelas tak terima dituduh mendalangi kerusuhan di negerinya sendiri. Langkah represif pun diambil. Tian Chua diseret ke muka pengadilan atas pernyataannya. Dia diancam membayar denda sebesar 5.000 ringgit (setara dengan Rp 15 juta) atau penjara badan selama tiga tahun atau keduanya. "Padahal ini operasi soal keselamatan, bukan soal penyuaraan politik," ujar Zahid, yang juga menjabat Wakil Presiden UMNO, membantah keras tuduhan Chua.
Zahid lantas membalas menuduh bahwa sebenarnya di balik para penyusup itu ada dana dari kubu Anwar Ibrahim, oposisi Malaysia. Namun ia enggan menjelaskan seperti apa detailnya kepada Tempo. "Kami punya bukti," dia menegaskan.
Jadi kini di Lahad Datu banyak kepentingan beradu. Tidak hanya antara tentara-polisi Diraja Malaysia dan para penyusup yang meributkan soal kedaulatan, tapi juga menyeret kepentingan yang lebih besar: perebutan kekuasaan.
Sandy Indra Pratama
DATUK SERI Dr AHMAD ZAHID HAMIDI:
Pasti Ada Kaitan dengan Election
AWAL Februari menjadi permulaan tahun yang tegang bagi Malaysia. Sekumpulan orang yang mengaku mewakili Kesultanan Sulu berlabuh di Kampung Tanduo, Lahad Datu, Sabah, Malaysia. Berpakaian ala tentara dan bersenjata, mereka berencana merebut kembali tanah yang sempat mereka miliki.
Selisih paham tak dapat diredam. Setelah beberapa kali perundingan digelar antara pemerintah Malaysia dan pihak yang mengklaim sebagai ahli takhta Kesultanan Sulu di Manila, Filipina, perang pun pecah. Tapi apa sebenarnya kepentingan di balik konflik bersenjata itu? Rabu pekan lalu, kepada Sandy Indra Pratama, Natalia Santi, dan Indra Wijaya dari Tempo, Menteri Pertahanan Malaysia Datuk Seri Dr Ahmad Zahid Hamidi menjelaskan cerita konflik versi pemerintahnya.
Bagaimana konflik Lahad Datu versi pemerintah Malaysia?
Saat ini terdapat kurang-lebih 800 ribu orang Tausug, yang homeland-nya di Sulu. Mereka terbelah tiga. Yang kakek-neneknya sudah hijrah ke Sabah, sudah menjadi warga negara Malaysia. Kedua, mereka yang dapat permanent resident, dan terakhir adalah para pedagang. Paginya di Sulu, siang berdagang di Sabah, sorenya pulang kembali. Ketiganya ini tak ada masalah.
Masalahnya adalah golongan para penyusup yang datang menuntut wilayah Sabah sebagai miliknya berdasarkan sejarah. Padahal sudah ada referendum sejak 1963, yang memutuskan warga Sabah ingin bergabung dengan Malaysia dari mahkamah. Jadi penuntutan wilayah berdasarkan sejarah sudah tak relevan lagi. Mungkin ada pihak ketiga yang menyuntikkan semangat kepada Jamalul Kiram.
Siapa yang dimaksud pihak ketiga?
Ya, ini sedang kita perhatikan.
Dengan Jamalul Kiram, ada komunikasi?
Ada. Lewat adiknya, Ismail Kiram, yakni Sultan Jolo. Tapi orang di sana ngomongnya "kacang kedele", paginya kacang, sorenya tempe.
Ada soal tuntutan uang?
Bukan, soal dia bilang itu wilayahnya. Sedangkan Jamalul Kiram itu sendiri, dalam prinsip kekerabatan, sudah tidak ada hubungan dengan Sultan Sulu. Nah, soal uang ehsan (bantuan) 5.300 ringgit itu, sepatutnya pun dia tak layak lagi terima.
Jadi selama ini pemerintah Malaysia memang membayar?
Ya, itu uang ehsan, bukan membayar sewa, soal kontrak wilayah.
Tapi bukankah pemberian uang itu berarti mengakui?
Bukan. Ini seperti saya punya saudara perempuan, lalu dia punya suami, saya sering membantu saudara perempuan itu. Tapi, ketika dia meninggal, bukan berarti saya tidak membantu keluarganya, terutama suaminya. Bantuan itu karena saudara perempuan dan keturunan. Orang Malaysia itu baik.
Jadi tak ada satu pun perjanjian dengan pihak Kesultanan?
Tidak ada, semua berakhir ketika ada referendum pada 1963. Dan urusan sewa lahan itu dulu dengan Serikat Inggris dan sudah selesai.
Soal pengiriman alat tempur, apakah itu tidak berlebihan?
Jadi kita mau antar apa ke sana? Ini soal kedaulatan.
Politik Malaysia sedang hangat, pilihan raya sebentar lagi digelar. Apakah konfllik ini ada kaitannya dengan itu?
Pasti ada kaitannya. Bukan hanya di Malaysia, melainkan juga di Filipina. Di Filipina, Mei nanti akan ada general election. Dari sumber-sumber Filipina, ada tokoh oposisi pemerintah yang membiayai Jamalul Kiram, yang selama ini sakit-sakitan dan tinggal di kawasan kumuh Manila. Kami anggap dia tidak mungkin bisa dapat senjata dan membiayai upah tentaranya. Mungkin oposisi Filipina, dia mau melawan Presiden Benigno Aquino.
Mungkin ada juga terkait dengan oposisi dari Malaysia. Saya tidak mau menyebut siapa walaupun ini untuk majalah Indonesia. Nanti saya bisa dibawa ke mahkamah, saya dituntut 100 miliar ringgit Malaysia. Saya tidak punya uang, ha-ha-ha….
Tapi kami ada bukti bahwa tokoh oposisi Malaysia telah ke Manila, mengadakan beberapa diskusi. Kami bisa melihat melalui data intelijen, tokoh-tokoh oposisi dari partai yang sama.
Pada masa mendatang, konflik ini bakal seperti apa?
Siang tadi masih ada serangan. Tentara Malaysia terkena tembakan di kaki. Tapi tidak fatal. Satu korban lagi dari pihak penyusup. Pada masa mendatang, kita mau Filipina mengantarkan Jamalul Kiram III, seperti Malaysia pernah mengantarkan Nur Misuari. Sudah dibicarakan, tapi belum resmi sebagai permintaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo