Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tuntutan ringan batu terbang

Massa mengamuk di ende karena tak puas atas tuntutan jaksa yang ringan dalam kasus pencemaran agama. gedung pengadilan dirusak.

7 Mei 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HANYA selang waktu kurang satu minggu, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) sudah dua kali dibakar kemarahan massa. Itu terjadi di dua tempat dengan penyebab berbeda. Yang pertama, Kamis dua pekan lalu, ribuan massa yang terdiri dari mahasiswa, pelajar, dan masyarakat melakukan aksi unjuk rasa atas perlakuan oknum polisi yang menyebabkan seorang mahasiswa meninggal dunia di Kupang, ibu kota Provinsi NTT. Empat hari kemudian, di Ende, kota tempat Bung Karno pernah dibuang, juga terjadi aksi unjuk rasa. Yang ini penyebabnya massa tidak puas terhadap tuntutan jaksa dalam sebuah perkara. Hari itu, 25 April, sekitar pukul 9.00 pagi, halaman dan jalanan di sekitar Pengadilan Negeri Ende telah dipenuhi massa. Umumnya para pelajar. Tampaknya, ada yang mereka nanti- nantikan. Nah, begitu Jaksa Salangi selesai membacakan tuntutan terhadap terdakwa, massa langsung mengamuk. Soalnya, massa tidak puas mendengar tuntutan jaksa hanya 1 tahun penjara bagi sang terdakwa. Maka, beterbanganlah batu-batu menghancurkan pintu dan kaca gedung pengadilan. Begitu pula isinya. Meja dan kursi hakim dijungkirbalikkan. Lalu, dari situ, massa yang semakin besar jumlahnya -- diperkirakan sekitar 3.000 orang -- beralih ke arah kantor kejaksaan. Tiga rumah milik Kejaksaan Negeri Ende ludes mereka bakar. Sekitar 300 anggota pasukan keamanan yang dikerahkan tak mampu menghadang amukan massa. Juga imbauan para pastor tidak mereka hiraukan lagi. Yang mereka butuhkan, menurut sebuah sumber, terdakwa dihukum seumur hidup, dan dalangnya diseret ke meja hijau. Dari unjuk rasa ini, sedikitnya 7 pasukan keamanan cedera ringan karena terkena lemparan batu. Siapakah yang mereka tuntut? Ia adalah Marthen Kamlase, seorang pemuda berusia 17 tahun asal Timor Tengah Selatan. Pedagang roti berkereta dorong ini dituduh telah melakukan penghinaan agama. Itu terjadi pada hari raya Natal kedua, 26 Desember tahun lalu. Ketika itu, Marthen, yang beragama Protestan tersebut, ikut perjamuan kudus di salah satu Gereja Katolik. Biasanya, pada acara pelayanan komuni Sakramen Mahakudus -- demikian umat Katolik menyebutnya -- itu, pastor membagi-bagikan roti kepada para jemaat. Dan roti harus dimakan. Tapi, oleh Marthen Kamlase, yang pemahaman agamanya sangat minim, roti pemberian pastor tersebut tidak dimakannya, melainkan diremasnya sampai hancur. Secara kebetulan, perbuatan Marthen itu terlihat oleh seorang jemaat yang duduk di sebelahnya. Marthen dianggap telah menghina agama Katolik. Sebagai akibatnya, Marthen dihajar umat beramai-ramai. Untung, pastor turun tangan dan dapat mengatasinya. Persoalannya tak berhenti sampai di situ. Umat Katolik yang merasa terhina oleh perbuatan Marthen itu terus mempersoalkannya. Padahal, menurut sebuah sumber, para pastor setempat pernah menyarankan agar kasus ini diselesaikan secara kekeluargaan. Tapi saran itu ditolak umat. Itu sebabnya, kasus ini terus bergulir ke pengadilan. Bahkan, kini, telah sampai pada tuntutan jaksa yang diprotes umat, karena terlalu ringan. "Padahal, sesuai dengan pasal 156 a KUHP, perkara semacam ini sudah maksimal tuntutannya," kata Umbu Riada, Kepala Kejaksaan Tinggi NTT. Sebab, beberapa kasus seperti itu sebelumnya, menurut Umbu, divonis 8 bulan, 6 bulan, bahkan cuma dihukum percobaan saja. Jadi, "Tuntutan 1 tahun penjara rasanya sudah maksimal," kata Umbu Riada menegaskan. Setelah peristiwa ini, Umbu Riada terpaksa memerintahkan Kejaksaan Negeri Ende untuk menunda sidang hingga batas waktu tak terbatas. Gubernur NTT, Herman Musakabe, mengecam peristiwa ini. Kata Herman, aksi maki-makian, perusakan, dan pembakaran tak sesuai dengan iman Katolik, yang pengampun dan menghargai pejabat negara. "Mereka menuduh orang melakukan pencemaran hosti kalau rotinya tak dimakan. Walaupun rotinya dimakan, setelah itu mereka berbuat cabul, apakah itu bukan pencemaran," kata Herman Musakabe.Julizar Kasiri (Jakarta) dan Yusak Riwu Rohi (Kupang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum