Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puluhan marinir Amerika Serikat diterjunkan dari helikopter-helikopter pengangkut di Bandara Monrovia, yang sudah tak terpakai. Kedatangan prajurit bersenjata lengkap sebagai tentara perdamaian—bergabung dengan 800 tentara baret biru dari Nigeria—pada Kamis pekan lalu itu diiringi teriakan jet Harrier yang berpatroli di langit Liberia, Afrika Barat. "Ini hari yang baik, saudara-saudara, hari yang sangat baik," kata Kapten Rodney Taylor, seorang tentara AS yang baru menginjakkan sepatu larsnya di tanah yang telah dilanda perang saudara selama 14 tahun itu.
Beberapa hari sebelumnya Presiden Liberia, Charles Taylor, yang didakwa sebagai penjahat perang oleh pengadilan Ghana, dipaksa meninggalkan kampung halamannya untuk hidup di pengasingan, Nigeria. Dalam sebuah upacara penyerahan jabatan tanpa kemeriahan, Senin pekan silam, Taylor memasrahkan kepemimpinan kepada Wakil Presiden Moses Blah. "Sejarah akan berbaik hati kepada saya, karena saya telah memenuhi semua kewajiban saya," kata Taylor dalam pidato perpisahannya.
Presiden AS George Walker Bush, yang sedang berada di Denver, menyatakan kepergian Taylor sebagai "langkah penting". Para kepala pemerintahan negara-negara tetangga juga menyokong "pengorbanan" Taylor.
Babak baru di Liberia pun dimulai. Sekitar 200-an tentara AS bersama dengan rekan mereka dari Nigeria bertugas mengembalikan keamanan bagi sekitar 2,3 juta penduduk Liberia. Tentara perdamaian di bawah bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu juga akan menangani bantuan kemanusiaan untuk rakyat, yang memang sudah hidup serba kekurangan, tanpa fasilitas air bersih dan listrik. PBB menjanjikan US$ 69 juta dana kemanusiaan darurat.
Menurut rencana, Blah bertugas memimpin Liberia hingga Oktober 2003 dan menyerahkannya ke sebuah pemerintahan transisi yang nantinya bertugas menyelenggarakan pemilihan umum. Blah juga bertugas memastikan bahwa Taylor tak lagi ikut campur urusan dalam negeri dari pengasingan. Agar segera bisa mewujudkan kondisi stabil di Liberia, Blah terbang ke Accra, Ghana, berunding dengan berbagai kelompok milisi yang memusuhi Taylor.
Segalanya tampak lancar dan menjanjikan hasil bagus. Benarkah? Banyak pihak masih ragu.
Menurut Richard Dowden, Direktur Royal African Society, Taylor hanyalah gejala, bukan penyebab konflik. Masih banyak orang seperti Taylor di Liberia. Pada saat yang sama, puluhan ribu pemuda nyaris buta huruf, tidak berkeahlian, dan hampir tidak punya harapan. Mereka ini mudah sekali dipengaruhi oleh pengkhotbah karismatik dan kaya seperti Taylor. Apalagi mereka biasa berkubang dengan narkotik, bermain-main dengan senjata, dan melakukan kekerasan. "Dalam keadaan damai pun akan sulit sekali mengembalikan mereka menjadi masyarakat yang normal," kata Dowden.
Hal itu seperti sudah menjadi bagian dari sejarah Liberia. Jika ditarik kembali, Taylor muncul sebagai pemimpin perang saudara yang berdarah. Laki-laki yang pernah sekolah di Boston, AS, itu, bersama dengan kelompok bersenjatanya, melawan Samuel Doe, presiden yang memerintah Liberia dengan tangan besi sejak 1989. Perang saudara selama tujuh tahun itu mengakibatkan sekitar 200 ribu penduduk meninggal dan ratusan ribu orang lainnya terusir dari kampung halaman. Taylor, yang dikenal sebagai pimpinan milisi yang ganas, malah terpilih menjadi presiden dalam sebuah pemilihan yang "direstui" PBB pada 1997 dengan mendapat 75 persen suara.
Pada 1999, pasukan perdamaian dari negara-negara Afrika Barat, ECOMOG, yang bertugas sejak 1990, meninggalkan Liberia. Negara itu sudah dianggap aman. Tapi, pada Juli 2000, Persatuan Rakyat Liberia untuk Rekonsiliasi dan Demokrasi (LURD), yang didukung Guenia, menyerang beberapa kota di Liberia. Taylor membalas dengan mendukung pemberontak di Guenia pada September 2000, menewaskan lebih dari 1.000 orang. Baru pada Mei 2001, PBB mengembargo Liberia karena memperdagangkan senjata dengan permata dari Sierra Leone. Perang saudara pun kembali berkobar di Liberia.
Menurut Dowden, jika ingin mengembalikan keadaan Liberia menjadi senormal mungkin, pasukan perdamaian yang ditugasi harus jauh lebih kuat dibanding berbagai kelompok milisi yang ada. Hal itu menunjuk ke satu arah, yaitu keterlibatan AS secara total seperti yang dilakukan Prancis di Pantai Gading dan Inggris di Sierra Leone. Apalagi, antara Liberia dan AS masih ada sentimen sejarah, yaitu sebagai tanah air budak-budak AS yang dibebaskan pada abad ke-19. Rakyat Liberia pun dengan jelas meminta AS menyelamatkan mereka.
Ahli lain berpendapat sama. Menurut Raymond C. Offenheiser, Presiden Oxfarm America, dan Kenneth H. Bacon, Presiden Refugees International, hanya dengan adanya "kepemimpinan" AS yang nyata di tanah Liberia, perdamaian untuk penduduk di sana terjamin. Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan bahkan bertemu Bush di Gedung Putih—ini pembicaraan pertama setelah Annan sempat menarik diri dari AS setelah keputusan menyerang Irak yang tanpa mengindahkan pendapat PBB—guna meminta komitmen bantuan AS atas Liberia.
Bagaimana sikap pemerintah AS? Setelah Taylor terusir dari negaranya, Bush belum memberikan tanda akan mengirim lebih banyak tentara ke Liberia. Bush juga tidak menyatakan komitmen lebih jelas terhadap masa depan Liberia.
AS sejak semula memang ragu-ragu untuk banyak terlibat di Liberia. Dalam kunjungan kenegaraannya yang pertama kali ke beberapa negara Afrika, Juni lalu, Bush tidak mampir ke Liberia. Dia hanya menyampaikan pesan bahwa Taylor harus turun dan AS akan membantu. Tapi tidak jelas berapa banyak pasukan dan akan "seserius" apa AS membantu Liberia.
Beberapa pihak melihat keengganan AS menerjunkan tentara ke Afrika akibat pengalaman buruk di Mogadishu, Somalia, 1992. Waktu itu 18 tentara AS terbunuh secara tragis dalam sebuah perang kota dengan milisi di Somalia. Selain itu, pemerintah AS juga masih punya tanggungan untuk menyelesaikan "misi" mereka di Afganistan dan Irak, yang kedua-duanya menyedot pasukan dan biaya besar.
Namun, sebenarnya tetap saja ada kemungkinan pemerintah AS bersedia serius menyelesaikan masalah Liberia. Alasannya adalah pemilihan presiden tahun depan dan Bush diperkirakan tak akan melewatkan kesempatan untuk memperpanjang jabatannya. Jelas, Bush perlu sebanyak mungkin mengumpulkan poin positif. Apalagi, tetap ada kemungkinan kredibilitas pemerintahannya guncang karena masalah senjata pemusnah massa yang tak ditemukan di Irak dan tentara AS yang terus menjadi korban di negeri itu.
Bina Bektiati (The Economist, The Washington Post, All Africa, The Guardian)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo