Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ratusan perahu bermotor meraung-raung memecah kesunyian pagi. Di tengah bisingnya suara dan bau solar, teriakan serak meliuk-liuk menerobos bunyi mesin. "Maju!" suara itu bergetar. Perlahan-lahan perahu berangkat, menyeret ratusan jalinan kolam apung yang bergeser setindak demi setindak.
Iring-iringan eksodus itu disaksikan TEMPO minggu lalu di Blok Cipariuk, Waduk Jatiluhur, Purwakarta, Jawa Barat. Bedol jaring apung (japung) itu dilakukan akibat penurunan muka air waduk hingga 20 sentimeter tiap hari. Penyusutan yang diiringi tiupan angin kencang membuat arus bergerak naik (upwelling). Petakalah buat 297 petani yang memiliki 4.971 japung di Blok Cipariuk.
Hingga pekan lalu, sedikitnya 1.440 ton ikan emas senilai Rp 5,2 miliar mati. Untuk menyelamatkan harta tersisa, Darwis, 42 tahun, dan ratusan petani lain memindahkan jaring-jaringnya sejauh 7 kilometer ke arah Blok Pasir Layang dan Pasir Jangkung, yang permukaan airnya lebih dalam.
Krisis air memang tengah menghantam waduk seluas 83 ribu hektare berkapasitas 3 miliar meter kubik itu. Tinggi muka air menyusut sampai 82,75 meter. Padahal, pada periode kekeringan yang sama tahun lalu, menurut Direktur Utama Perusahaan Umum Jasa Tirta (PJT) II Jatiluhur, Tjetjep Sudjana, paling sial permukaan Jatiluhur ada pada level 100,29 meter.
Akibatnya, selain matinya ikan milik petani, pasokan listrik ke jaringan interkoneksi Jawa-Bali, yang ditargetkan 925 megawatt, hanya bisa dipenuhi 473 megawatt. Soalnya, untuk menggerakkan enam turbin yang ada, muka air minimal berada pada level 75 meter. Di bawah angka ini, semua turbin akan mati.
Dengan tinggi air 82,75 meter saja, satu turbin sudah mati. Pada saat bersamaan, sebuah turbin sedang diperbaiki dan satu turbin lain tengah beristirahat. Alhasil, saat ini cuma tiga turbin yang bisa dioperasikan. Melihat kondisi begini, Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara, Eddie Widiono, memperkirakan bahwa pasokan listrik dari pembangkit listrik tenaga air akan berkurang 900-1.000 megawatt pada tahun ini.
Seiring dengan merosotnya air waduk, pasokan air di irigasi teknis Tarum Timur dan Tarum Barat juga berkurang. Jadilah 18.062 hektare sawah milik ribuan petani di Subang yang dipasok Tarum Timur tak bisa ditanami. Di Karawang, dengan alasan tidak kegiliran air pasokan dari irigasi Tarum Barat, para petani menjebol pintu saluran. Tapi kejadian ini berlangsung dalam hitungan hari. Kalau berlarut-larut, warga Jakarta akan menjerit minta air, karena Tarum Barat memasok air bahan baku ke PDAM DKI Jakarta.
Untuk mengamankan pasokan air bersih, Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu mengambil langkah pahit: melarang penggunaan pompa air di sepanjang daerah aliran sungai Cimanuk-Cisanggarung.
Kebijakan itu membuat Casmadi, petani di Kecamatan Bangodua, hanya bisa duduk termenung, memandangi 3 hektare sawahnya yang kering-kerontang. "Pompa air saya cabut karena dilarang Bupati," tuturnya pasrah.
Bupati Indramayu, M. Irianto M.S. Syafiudin, mengakui langkah itu adalah pilihan sulit karena mengorbankan kepentingan ribuan petani. Kendati begitu, ia bergeming. "Ini untuk kepentingan yang lebih besar," ujarnya.
Debit air di daerah aliran sungai Cimanuk_Cisanggarung, menurut Kepala Staf Pelaksana Cimanuk-Cisanggarung, Agus Siregar, memang jauh menyusut. Ia menunjuk debit air di Bendung Rentang yang tinggal 6,6 meter kubik tiap detik, padahal kapasitasnya 100 meter kubik per detik. Aliran Bendung Rentang ini masih harus dibagi untuk Bendung Cipelang di Majalengka dan Bendung Sindupraja di Indramayu. Maka, pasokan air yang semestinya bisa mengairi 90.000 hektare sawah di Indramayu dan Majalengka kini cuma sanggup mengairi 7.000 hektare. Itu pun mesti dilakukan bergantian di antara kedua bendung.
Para petani mangkel. Mereka melampiaskan perasaan itu dalam bentuk protes, seperti yang dilakukan di Kecamatan Karangampel dan Juntinyuat. Mereka meminta Kantor Pengamat Pengairan untuk menghentikan giliran air bagi Cirebon. Alasannya, persediaan air Sungai Sinduprajaâdi wilayah Indramayuâtidak cukup untuk jatah petani Indramayu. "Kami tidak bisa menjamin lebih lama kalau para petani tidak akan melakukan perbuatan sepihak," ujar Rohiyat, 40 tahun, petani di Desa Gedokan.
Pernyataan Rohiyat merujuk pada pembobolan bendungan oleh warga di Desa Kejiwan, Cirebon. Peristiwa ini hampir meletupkan tawuran antardesa. Sadar bahwa warganya bisa berduel untuk mendapat air, Pemerintah Daerah Kabupaten Cirebon menjaga ketat semua pintu irigasi di wilayahnya dengan petugas Polres Cirebon dan Dinas Pengairan. Menurut Kepala Sub-Dinas Sumber Daya Air Dinas Pengairan Kabupaten Cirebon, Mulus, pihaknya sudah menerjunkan 198 petugas. Penjagaan ini tidak gratis, karena pemerintah daerah mengalokasikan Rp 132 juta untuk dana pengamanan saluran air.
Air juga makin sulit didapat di Gunung Kidul, Yogyakarta. Tak seperti musim kemarau sebelumnya, telaga-telaga di sini sudah tak mengeluarkan air. Menurut Basuki Rochim, petugas penanggulangan kekeringan Kabupaten Gunung Kidul, dari sekitar 270 telaga yang ada, lebih dari 95 persennya mengering. Akibatnya, dari 146 desa di 18 kecamatan di Gunung Kidul, 82 desa di antaranya dihantam kekeringan hebat.
Air pun menjadi lebih mahal ketimbang ternak piaraan. Pasar Hewan Pakel, Kecamatan Rongkop, Gunung Kidul, tiap hari dipenuhi warga yang menukarkan binatang ternaknya demi mendapatkan air. Buat yang tak punya ternak untuk dijual, mereka hanya pasrah menanti kiriman air. Ini pun tak semua desa kebagian air gratis yang disediakan oleh delapan truk air. Tapi ada desa-desa yang mendapat kiriman hingga tujuh kali.
Di beberapa lokasi, air gratis itu jatuh ke pikulan para penjual air. Mereka lalu melegonya ke wilayah lain yang tak kebagian. "Sumpah, sekali pun kita belum pernah mendapat jatah pembagian air. Tolong sampaikan ke Pak Camat atau Pak Bupati," ujar Wasinem, 32 tahun, warga Desa Tileng. "Saya terpaksa beli air, itu pun uangnya utang dulu ke tetangga," Karto Sentono, 68 tahun, seorang warga di Kecamatan Tepus, menambahkan. Karto sudah empat kali membeli air dari truk tangki. Satu truk tangki yang isinya 4.000 liter harus ia tebus Rp 60 ribu. Seiring dengan bertambahnya areal kekeringan, harganya pun naik menjadi Rp 75 ribu. "Saya harus bisa menjual 500 kilogram gaplek dulu untuk mendapat uang sebanyak itu," ujar Karto, yang rumahnya amat jauh dari telaga berair.
Telaga-telaga juga selalu dipenuhi manusia. Misalnya bisa disaksikan di Telaga Puring, Desa Jepitu, Saptosari. Dari pagi buta hingga menjelang malam, manusia mengalir memenuhi telaga. Ketika matahari tenggelam, giliran truk-truk tangki yang menyedot air dari telaga.
Kekeringan yang berlangsung sejak Mei lalu diperkirakan akan berlangsung hingga akhir tahun. Menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup Nabiel Makarim, prediksi paling optimistis adalah hujan akan jatuh pada Oktober.
Paulus Agus Winarso, anggota Dewan Riset Nasional dan staf pemantauan iklim di Badan Meteorologi dan Geofisika serta Kementerian Lingkungan Hidup, menyebutkan indikasinya bisa dilihat dari suhu udara yang lebih dingin di pagi hari jika dibandingkan dengan kondisi normal. Udara dingin menunjukkan tingginya tekanan udara yang mengganggu proses pembentukan awan.
Indikasi lainnya, kata Paulus, adalah rendahnya suhu permukaan laut di sekitar perairan Pulau Jawa yang ada pada kisaran 21-22 derajat Celsius. Padahal biasanya ada pada kisaran 24_26 derajat Celsius. Akibatnya, jumlah air yang menguap tidak memadai untuk membentuk awan.
Bertiupnya angin timur berkecepatan lebih tinggi dari kondisi normal, menurut Paulus, memperparah keadaan. Semua faktor itu, katanya, membuat program hujan buatan tidak akan efektif, karena akumulasi awan tak pernah mencukupi.
Maka, tinggallah Kardi berharap agar mobil-mobil pengangkut air tak bosan menyinggahi dusunnya di Indramayu. Kendati harus berjalan kaki lebih dari tiga kilometer, ia senantiasa setia mengantre, menunggu tibanya mobil tangki yang diharapkan. Kendati wajahnya lelah dan berdebu, selalu ada secarik senyum di bibirnya manakala ia bisa membawa air di tiga jeriken yang ditentengnya.
Agus Hidayat, Nanang Sutisna (Purwakarta), Ivansyah (Indramayu), Syaiful Amin (Gunung Kidul), Dwidjo Maksum (Tulungagung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo