Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGAIMANA orang Inggris melihat Ratu Elizabeth II yang Kamis pekan lalu memperingati 40 tahun keratuannya? Sebuah mini seri berjudul The Palas -- mungkin sindiran untuk The Palace, istana -- antara lain menggambarkan Ratu Elizabeth II sedang menggaruk-garuk kepala sambil berkata "Gatal, sudah lama tak keramas." Tentu saja itu bukan suara aslinya. Lalu, dalam seri lain digambarkan Pangeran Charles yang enggan naik tahta, karena terlalu lama menunggu ibunya wafat. Akhirnya ditunjuklah kuda sang Pangeran, sebagai Pangeran Inggris. Begitu siniskah orang Inggris terhadap keluarga kerajaan? Mungkin generasi muda Inggris ingin melihat diakhirinya kemornakian Inggris Raya. Tapi sejauh ini, pol pendapat satu dan yang lainnya menyimpulkan bahwa tiga perempat rakyat Inggris Raya masih ingin melihat keluarga kerajaan bertahta. Philip Norman, seorang penulis Inggris menurunkan artikel di majalah Sunday Times Magazine, London. Ia menduga kuatnya kemornakian Inggris karena "jauh berakar dalam nasionalisme Inggris." Lihat, tulis Norman, "tiap anak sekolah di Inggris akan menatap Istana Buckingham yang kusam itu, pakaian besi, dan kuda-kuda penjaganya sebagai lambang dari nilai-nilai dasar Inggris Raya: kebanggaan, kecermatan, keteguhan, dan kesetiaan yang tak bisa ditawar." Mungkin penulis itu agak berlebihan. Tapi, memang masih banyak istilah yang digunakan di Inggris sampai kini mencerminkan kebanggaan terhadap kerajaan. Umpamanya, Royal Navy, Royal Artillery, Royal Airforce, (angkatan laut kerajaan, pasukan artileri kerajaan, dan angkatan udara kerajaan). Ratu Elizabeth sendiri, kini umurnya 65 tahun, lebih kurang masih melaksanakan amanat leluhurnya. Raja George V, kakek Elizabeth, suatu saat pernah berpesan pada putra sulungnya, "Memperhatikan dan memprioritaskan rakyat kecil adalah hal yang paling penting." Kamis pekan lalu itu, Ratu Elizabeth tak merayakan 40 tahun keratuannya dengan meriah. Ia malah seperti menyepi, di sebuah kastil favoritnya, di Sandringham, daerah dusun di bagian timur Inggris. Konon ia mengunjungi rumah sakit kanker di situ. Memang ada alasan lain untuk menolak pesta, hari itu adalah juga 40 tahun ayahnya, Raja George VI wafat. Beberapa pekan sebelumnya, Ratu memveto rencana pembangunan air mancur di Lapangan Parlemen senilai US$ 4 juta untuk memperingati 40 tahun penobatannya sebagai ratu, Juni mendatang. Ia anggap itu terlalu berlebihan, membuang uang di zaman prospek ekonomi tak begitu cerah. Kritik pers Inggris terhadap ratu dan istananya seperti tak kunjung habis. Mulai dari pemborosan uang yang digunakan untuk liburan, soal keluarga kerajaan yang bebas pajak, sampai Putri Diana, menantunya, yang lebih suka mengendarai Mercedez buatan Jerman. Konon, anggota parlemen dan Serikat Dagang Inggris sampai mendoakan agar Lady Di ketabrak mobil Jaguar buatan Inggris. Boleh dikata Ratu Elizabeth memang orang terkaya di Inggris. Diduga kekayaan lebih dari satu milyar poundsterling. Untuk pemeliharaan dan gaji para karyawan Istana Buckingham, pemerintah Inggris harus mengeluarkan anggaran senilai US$ 10 juta per tahun. Maka, ada usul agar keluarga kerajaan pun membayar pajak karena baru pada zaman Raja George VI, ayah Elizabeth, keistimewaan bebas pajak itu diperoleh. Sebelumnya, keluarga kerajaan juga harus membayar pajak. Tapi, usul ini kemudian tak lagi santer terdengar. Juga suara-suara yang menghendaki Elizabeth II turun tahta, karena dialah yang paling lama bertahta setelah Ratu Victoria (1837-1901) sejak dinasti kerajaan Inggris dikukuhkan pada abad ke9 oleh Raja Egbert, cepat menguap. Kepada wartawan yang menanyakan soal ini, Ratu menjawab singkat: "Ini tugas seumur hidup." Konon, sebagian orang Inggris memang ingin melihat Pangeran Charles, 42 tahun, cepat naik tahta. Mereka menilai Charles lebih merakyat. Mereka khawatir Charles bakal bernasib sama dengan kakek buyutnya, Raja Edward VII, yang baru naik tahta pada usia 60 tahun. Jadi, apa pun suara yang menghendaki dihapuskannya kemornakian Inggris, menurut Philip Norman, sulit terlaksana. Istana Buckingham, yang dalam pemerintahan sehari-hari kalah dengan Downing Street 10, kediaman resmi perdana menteri, tetap dianggap sumber spirit Inggris. Itu dibuktikan oleh sejarahnya yang panjang, yang sudah melewati dua perang dunia dan berbagai tantangan di dalam negeri, misalnya pemogokan buruh. Didi Prambadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo