Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Siapa malas ?

Tuduhan orang jepang bahwa pekerja as malas bisa dipahami. setidaknya menurut data yang dikumpulkan institut ekonomi jerman. dilihat dari jam kerja maupun penghasilan, pekerja jepang lebih tinggi.

15 Februari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BENARKAH pekerja AS malas? "Siapa bilang?" sahut Bernadette Halton. "Saya bekerja mulai pukul 9 pagi hingga pukul 6 sore selama enam hari," sambung wanita yang menjabat manajer Restoran Ben's Chili Bowl, Washington. Memang, menurut data yang dikumpulkan oleh Institut Ekonomi Jerman, pekerja Amerika bekerja sekitar 2.000 jam per tahun. Sedangkan pekerja Swedia, Prancis, Inggris, dan Jerman bekerja kurang dari 1.800 jam per tahun. Tapi, bila dibandingkan dengan pekerja Jepang, Amerika harus mengaku kalah. Angka itu di Jepang 2.300. Dengan jam kerja yang lebih panjang itu, logis saja bila penghasilan rata-rata pekerja Jepang lebih besar. Menurut Institut Ekonomi itu pula, gaji rata-rata pekerja Jepang US$ 45.000 per tahun. Pekerja AS hanya US$ 40.000. Tapi, karena jam kerja orang Jepang lebih panjang, kemudian pekerja Amerika dua kali lebih banyak izin sakitnya, bila dihitung per jamnya penghasilan pekerja Amerikalah yang lebih besar. Bila data-data itu benar, tuduhan orang Jepang bahwa pekerja Amerika malas bisa dipahami. Setidaknya bila dikaitkan dengan perbandingan antara jam kerja dan penghasilan. Pun, bila dilihat dari penghasilan, para eksekutif Jepang pantas cemburu pada rekannya yang Amerika. Menurut survei yang dilakukan pada 500 perusahaan besar AS yang dimuat dalam majalah The Economist, para bos rata-rata menerima US$ 2 juta per tahun, atau sekitar 50 kali lipat gaji karyawannya. Menurut survei itu pula, gaji eksekutif Amerika memang menduduki peringkat teratas di antara 11 negara maju. Sedangkan eksekutif Jepang cuma berada di peringkat ketujuh. Rata-rata penghasilan eksekutif Jepang cuma 25 kali lipat gaji buruhnya, atau lebih dari US$ 1,1 juta. Yang bisa menjadikan eksekutif Jepang lebih cemburu, "penilaian terhadap para eksekutif AS tak berdasarkan pada keberhasilan perusahaan yang dipimpinnya," kata Michael Jensen, profesor dari Harvard Business School. Sedangkan di Jepang, kegagalan atau keberhasilan perusahaan sangat mempengaruhi penilaian terhadap eksekutifnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus