SEBUAH istana telah berdiri, dengan menara-menaranya yang runcing dan bentuknya yang menyerupai benteng. Istana ini mengingatkan kita pada istana Sang Pangeran dalam cerita Cinderella, atau cerita anak-anak dari Barat yang lain. Seluas sekitar 4 hektar, lokasi ini dikawal dua patung gajah di altar depan. Di situlah diharapkan anak-anak Indonesia mengembangkan minat dan bakatnya. Disebut Istana Anak-Anak Indonesia (IAAI), berlokasi di Taman Mini Indonesia Indah, diresmikan Presiden Soeharto Minggu pekan lalu. Tempat ini memang memberi kesempatan kepada anak-anak untuk bisa bebas bermain, berlarian, membaca, saling bercerita atau melakukan apa saja yang mereka senangi Memang, maunya, istana ini bisa menjadi semacam Children Centre seperti yang ada di Korea Selatan, Jepang, Hong Kong, atau Taiwan, tutur Seto Mulyadi, penanggung jawab IAAI. Di pusat kegiatan anak-anak inilah, kata Kak Seto-demikian ia lebih populer disebut - anak usia balita hingga 15 tahun tak hanya diberi rekreasi, tapi juga kesempatan belajar. Mereka diajak untuk tahu, misalnya, rahasia mobil atau kereta api bisa meluncur begitu cepat. Lewat alat gyroscope - yang bisa dicoba oleh anak-anak - mereka bisa belajar pesawat terbang. Atau, bagi anak-anak yang lebih suka menekuni bacaan tersedia perpustakaan dengan sekitar 1.500 judul buku cerita. Dan tiba-tiba terasalah itu, suatu kejanggalan bahwa bangunan ini berdiri di TMII, di antara bangunan bergaya joglo, atau rumah beratap bentuk tanduk kerbau, atau rumah panggung gaya Bugis. Seorang psikolog dari Fakultas Psikologi UI yang kini bermukim di Salatiga, Leila Ch. Budiman, merasa heran mengapa bentuk bangunan itu mesti bergaya istana Eropa Abad Pertengahan. Ia, lewat surat pembaca di harian Kompas mengkhawatirkan anak-anak kita nanti akan lebih akrab dengan budaya asing daripada milik sendiri. Kejanggalan bangunan IAAI di TMII yang konon berniat memperkenalkan budaya Indonesia, agaknya, bisa dipahami. Tapi kekhawatiran itu mungkin berlebihan. Sebab, isi IAAI, setidaknya menurut yang direncanakan, Indonesia sepenuhnya. Di kompleks ini misalnya, ada ruang sejarah disebut Ruang Pengetahuan Sejarah Perjuangan Bangsa. Anak-anak bisa menyaksikan gambar-gambar pahlawan mereka beserta perjuangan mereka. Dan itu bukan gambar Rambo atau Napoleon, tapi seserial perjuangan Sultan Agung, Pangeran Antasari, Teuku Umar, Sultan Ageng Tirtayasa, dan lain sebagainya. Tak jauh dari situ sebuah ruang museum boneka dengan tokoh boneka yang tentu tak asing bagi anak-anak Indonesia: Si Unyil dan konco-konco-nya dan Si Titik dengan lingkungan hidupnya - dua tokoh fllm anak-anak TVRI. Lalu, sebuah ruangan yang lain memajang sejumlah lukisan anak-anak Indonesia yang pernah memenangkan lomba lukisan anak-anak nasional maupun internasional. Seperti kata Warsana, 38, guru SDN Kalibata, Jakarta, yang Minggu lalu mcmbawa 18 muridnya berekreasi di IAAI. "Ini memang tempat rekreasi sambil menyalurkan bakat anak-anak," katanya kepada TEMPO. Baginya, tak soal adakah bentuk istana itu mirip istana Eropa. Yang penting, katanya, sarana ini memberi keleluasaan kepada anak-anak, dan bisa dinikmati oleh mereka yang kurang mampu, karena tidak bayar. Untuk beracara di sini, memang, cukup membayar karcis pintu gerbang TMII saja. Pak guru itu juga mengingatkan, bagi Jakarta, yang tak lagi cukup punya ruang buat bermain anak-anak, IAAI bisa berarti amat besar. Ternyata, pendapat Warsana, guru SD itu, klop dengan penilaian Singgih Gunarsa, doktor psikologi anak-anak dari UI. "Anak-anak memerlukan bermain, dan tak cuma belajar," kata Singgih. "Bermain menentukan perkembangan anak-anak kemudian. Dilihat dari sini kehadiran IAAI memang menggembirakan." Maka, Singgih pun mengimbau agar IAAI tetap bisa dimanfaatkan oleh semua lapisan sosial. Maka, seorang Butje, yang hari itu membawa dua anaknya berekreasi di sini. merasa memperoleh yang diharapkan. "Kapan lagi anak-anak bisa bermain di alam bebas begini," kata bapak itu, yang agaknya tinggal di kawasan padat, yang tak lagi mempunyai ruang bermain bagi anak-anak. Dan bapak ini memuji kemegahan gaya Istana anak-anak itu. Tapi lebih penting daripada soal bentuk, seberapa jauh IAAI yang merupakan gagasan Yayasan Harapan Kita yayasan sosial dan budaya yang diketuai Nyonya Tien Soeharto - bisa mengundang perhatian anak-anak. Lebih lagi seberapa bisa mendorong mereka mencintai ilmu dan seni dan teknologi. Atau, IAAI hanya akan menjadi arena berlari-lari, sekadar melegakan napas dari kesumpekan Jakarta. Sebenarnya di Pasar Seni Ancol pun sudah ada yang disebut Arena Pengetahuan, di lantai dasar Galeri Pasar Seni. Di situ sejumlah peralatan ilmu alam - umpamanya untuk membuktikan bahwa warna-warna pelangi bila dicampur menjadi putih-boleh dipraktekkan oleh pengunjung. Tapi, selain arena itu tak berkembang, sejumlah alat kini tak lagi berfungsi - entah aliran listriknya diputus, atau ada sebab yang lain. Dan ini pula tantangan buat IAAI, untuk tetap memelihara sarana yang ada hingga tetap berfungsi, dan dikembangkan terus agar tak ketinggalan zaman. Bagaimanapun ini sebuah niat yang baik. Dan, tentu, para guru sekolah, Warsana itu misalnya, akan bersedia dengan senang bila diajak berpartisipasi, hingga apa-apa yang diadakan di IAAI benar-benar hal-hal yang dibutuhkan anak-anak Indonesia. Surasono Laporan Yusroni Henridewanto (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini