Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBANYAK 200 perwira angkatan udara pemberontak berbaris di Sanaa, ibu kota Yaman, memegang spanduk dan berteriak, "Keluar, keluar Mohammad Saleh." Nama yang disebut itu adalah pemimpin Angkatan Udara Yaman yang juga saudara Presiden Ali Abdullah Saleh. Para perwira itu menggugat pelaksanaan transisi kekuasaan yang tidak menyentuh militer. Mereka mengancam akan bergabung dengan pemberontak. "Dia tidak adil. Dia korup, yang membuat tentaranya seperti pengemis selama 22 tahun," kata Kolonel Mohad Dahan, 60 tahun, Selasa pekan lalu.
Hari itu seharusnya menjadi perayaan karena Yaman bebas dari kekuasaan otoriter Presiden Ali Abdullah Saleh. Saleh, yang sudah berkuasa 33 tahun, akhirnya bersedia mundur dan hengkang dari negerinya menuju Oman pada 22 Januari lalu, yang dilanjutkan terbang ke Amerika Serikat untuk berobat akibat terluka dalam serangan bom pada Juni 2011. Saleh bersedia pergi dengan syarat memperoleh imunitas yang dijamin Liga Arab dan Amerika. Dia menjadi pemimpin keempat yang runtuh akibat pergolakan di Timur Tengah dan Afrika Utara, yang diawali di Tunisia.
Yaman pun masuk ke masa transisi selama dua tahun di bawah pimpinan Abdrabuh Mansur Hadi, 65 tahun, yang semula menjabat wakil presiden. Pengangkatan ini merupakan bagian dari perjanjian penyelesaian pertikaian di Yaman, yang disepakati Arab Saudi dan Saleh, yang ditandatangani pada November lalu. Paket ini didukung Amerika, Uni Eropa, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Hadi bertugas mengawal pembentukan sistem multipartai di Yaman.
Namun kepergian Saleh tak menjamin Yaman bebas dari tentakel kekuasaannya. Anak Saleh, Ahmed Ali, dan keponakannya, Yehia Mohammed Saleh, memimpin dua pasukan khusus, Garda Republik dan Keamanan Pusat. Duo itu menghalangi langkah para petinggi militer lain yang ingin menyeberang mendukung kelompok sipil. "Kerabat bekas presiden menguasai militer dan pejabat teras di kementerian. Saleh memang sudah tidak mengatur negara, tapi menjadi kingmaker," kata Abdullah al-Faqih, pengamat politik dari Universitas Sanaa.
Militer Yaman sebenarnya telah terpecah sejak 18 Maret tahun lalu, ketika penembak jitu yang setia kepada Saleh menewaskan lebih dari 50 demonstran. Jenderal Ali Mohsen al-Ahmar, pemimpin militer Yaman dan tangan kanan Saleh, membelot dan mendukung gerakan anti-Saleh. Ia menilai pemerintah telah mengancam warga sipil. Sejak itu, pasukan Mohsen selalu melindungi pemrotes dan bentrok dengan Garda Republik dan Pasukan Keamanan Pusat. Kini separuh kekuatan angkatan udara sudah melepaskan diri dari lingkaran kekuasaan Saleh.
Pejabat Kongres Rakyat Umum—partai di bawah Saleh—menuding Mohsen, oposisi dari klan Ahmar dan Al-Islah, mendalangi demonstrasi angkatan udara yang dimulai akhir bulan lalu. Persaingan antara Mohsen dan keluarga besar Saleh mengemuka beberapa tahun belakangan ini. "Mereka (klan Mohsen) berambisi mengambil alih kekuasaan," kata Abdu al-Janadi, Wakil Menteri Informasi.
Perseteruan berlanjut ketika pemerintah dan oposisi kekurangan serdadu. Hal ini memicu persaingan dalam merekrut tentara baru. Bahkan mereka menyasar pemuda di bawah umur, masih 16 tahun. Karena miskin, keluarga tergiur oleh tawaran gaji US$ 100 sekitar Rp 900 ribu per bulan untuk seorang tentara baru. Organisasi perlindungan anak, Seyaj, mengungkapkan 40 persen serdadu masih di bawah umur. "Kedua kubu merekrut anak-anak muda karena mereka berharap memiliki pendukung loyal," kata seorang pensiunan pilot udara yang menolak disebutkan namanya.
Hadi berencana menyatukan kembali tentara yang terpecah. Dia membentuk Komite Militer, yang bertugas mempersatukan faksi-faksi dalam militer. Komite juga bertugas menarik tentara dari ibu kota, untuk menghindari bentrok antarkubu yang berlawanan atau dengan penduduk sipil. "Selama kelompok-kelompok bersenjata itu masih di jalanan, potensi kekerasan tetap tinggi," kata Jamal Benomar, Duta Besar PBB untuk Yaman.
Saleh hengkang tak berarti Yaman aman. Meski rakyat antusias mendukung pemerintahan transisi, kekerasan masih terjadi. Sebab, negara yang lepas dari empat tahun perang saudara antara utara dan selatan pada 1994 itu tetap rawan konflik antarklan yang bersaing. Pada hari pemungutan suara, misalnya, sejumlah pria bercadar dari kelompok separatis Yaman Selatan, Gerakan Selatan, menyerang bilik suara dan kantor pemilihan umum di Aden yang dijaga tentara. Empat orang tewas, termasuk seorang anak berusia 10 tahun, akibat baku tembak. Komisi pemilihan pun terpaksa membatalkan pelaksanaan pemilihan di sembilan wilayah selatan.
Gerakan Yaman Selatan menolak pemilihan dengan calon tunggal. Hadi, bekas jenderal yang sangat dekat dengan Saleh, dinilai tak akan mampu memimpin dengan lebih baik dan adil. Dia juga dinilai tidak bisa membawa perubahan bagi wilayah selatan, yang selama ini terpinggirkan.
Penduduk Yaman Selatan menuding adanya ketidakadilan dalam distribusi sumber daya alam sejak penggabungan selatan dengan utara pada 1990. Negara itu merupakan salah satu penghasil minyak dan gas. Menurut Jurnal Minyak dan Gas, Yaman memiliki cadangan minyak mentah 3 miliar barel dengan produksi 170 ribu barel per hari. Ada enam wilayah penghasil minyak, yakni Jannah dan Iyad di pusat Yaman, Marib dan Jawf di utara, serta Shabwa dan Masila di selatan. Cadangan terbesar ada di wilayah selatan dengan 12 cekungan. Sedangkan untuk potensi gas, Yaman memiliki cadangan 16,9 triliun kubik.
Penduduk Yaman, dengan populasi sekitar 25 juta, berpenghasilan di bawah US$ 2 atau sekitar Rp 18 ribu per jiwa. Sekitar 40 persen pemuda usia 20-24 tahun menjadi penganggur. Gizi buruk dan kekurangan air bersih merupakan masalah umum. Ketimpangan seperti inilah yang menyulut perang. "Rezim Saleh dan keluarganya masih menguasai militer. Kami tidak akan tertipu dan terus mengobarkan perlawanan sampai ada perubahan total di Yaman Selatan," kata Muhammad Mosed Okla, pemimpin separatis Gerakan Selatan.
Di barat laut, Yaman dikuasai kelompok pemberontak Al-Houthi, yang juga memboikot pemilihan. Mereka mempersoalkan pemerintah Saleh yang melanggar kesepakatan gencatan senjata pada 2010. Houthi adalah kelompok Syiah fundamentalis Zaydis cabang Yaman. Mereka memperjuangkan nasib Syiah yang dianaktirikan oleh pemerintah Saleh yang Sunni—di Yaman, Sunni 55 persen dan Syiah 44 persen, sisanya Yahudi dan Kristen. Kelompok Houthi berencana mendirikan negara sendiri, lepas dari Yaman.
Houthi juga menolak kerja sama dengan Amerika Serikat dan Israel. Kelompok yang memiliki hubungan dengan Al-Qaidah ini menuding Amerika ingin menghabisi mereka. Beberapa tahun terakhir, Amerika terus memasok bantuan militer dan pelatihan kepada tentara Yaman. Amerika mengucurkan bantuan US$ 217 juta atau setara dengan Rp 1,9 triliun pada 2010, meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya. "Ini bukan pemilihan yang sebenarnya. Ini hanya meresmikan inisiatif Amerika yang didukung partai penguasa untuk mengontrol revolusi Yaman," kata Dayfallah al-Shami dari Dewan Pimpinan Houthi.
Meski perang saudara tetap menjadi ancaman, 60 persen rakyat Yaman antusias memberi dukungan dengan mengikuti referendum. Mereka berbondong-bondong menuju tempat pemungutan suara. Komisi pemilihan telah mendaftar lebih dari 10 juta pemilih. Hasil pemilihan akan diumumkan sepekan setelah pemungutan suara. Calon tunggal presiden, Abdrabuh Mansur Hadi, mengatakan pemilihan ini akan membawa perbaikan pada stabilitas nasional dan perekonomian. "Pemilihan adalah jalan keluar dari krisis Yaman setahun terakhir," kata Hadi.
Namun pemimpin Partai Sosialis Yaman, Saeed Yassin Noman, yang turut bernegosiasi antara partai berkuasa dan oposisi tahun lalu, memperingatkan pemerintah yang baru. "Hadi akan menghadapi banyak masalah, dan masalah itu sangat rumit," ujarnya. Termasuk ancaman perang saudara.
Eko Ari (Washington Post, CNN, Reuters, Eurasia Review, Seattle Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo