Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

<font face=arial size=1 color=#ff9900>Amerika Serikat</font><br />Gugatan dari Pine Ridge

Warga Indian Sioux Oglala menggugat beberapa produsen minuman keras. Mereka minta ganti rugi atas kecanduan alkohol yang mereka derita.

27 Februari 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERBALUT kemeja flanel kotak-kotak merah dan celana jins biru kumal, Johnson Wild Eagle duduk pasrah di pinggir jalan aspal berdebu yang membelah Pine Ridge, tempat penampungan suku Indian di Dakota Selatan, Amerika Serikat. Hari masih pagi, tapi mata pemuda 27 tahun itu sudah merah. Badannya limbung akibat minuman beralkohol.

Johnson tak sendiri. Puluhan pemuda yang menemaninya mabuk bergelimpangan di pinggiran jalan utama Pine Ridge setiap hari, tak peduli siang, tak juga malam. Mereka tidak bekerja, karena tak ada lapangan pekerjaan di penampungan. Untuk mencari pekerjaan, mereka harus ke kota terdekat, Denver, di Negara Bagian Colorado, yang berjarak 560 kilometer.

Ini gambaran sebuah penampungan salah satu suku asli Amerika, Indian Sioux Oglala, di Pine Ridge. Di sana 45 ribu orang Indian terlokalisasi di sebuah padang kering nan tandus serta minim fasilitas umum. Potret itu diceritakan oleh Mark Vasina, Presiden Nebraska untuk Perdamaian—organisasi nirlaba pembela hak-hak Indian—di depan wartawan, pekan lalu. ”Kami lelah melihat pemandangan seperti itu,” ujarnya.

Pine Ridge adalah penampungan Indian termiskin di Amerika Serikat. Jumlah penganggur mencapai 80 persen dan sekitar 49 persen warga hidup di bawah garis kemiskinan. Pendapatan per orang hanya sekitar Rp 1,2 juta per bulan atau Rp 14,4 juta per tahun. Jauh dari standar Amerika yang pendapatan per kapitanya—menurut data pemerintah—Rp 400 juta per tahun. Di Pine Ridge, dalam satu rumah berkamar tiga, bisa hidup 17 orang anggota keluarga.

Menurut Vasina, para tetua Indian di Pine Ridge mulai percaya bahwa alkohol adalah penyebab utama penderitaan rakyat. Bayangkan saja, menurut survei Vasina, di penampungan beredar 13 ribu kaleng bir per hari, belum lagi jenis ”air api” lainnya. Karena itu, tak mengherankan kalau hampir setengah dari populasi penampungan itu menderita kecanduan alkohol.

Tekanan kebutuhan dasar yang terus mendesak, kata Vasina, sementara pekerjaan tidak tersedia, menyebabkan penduduk Pine Ridge menjadi sangat frustrasi. Alih-alih mencari jalan keluar, mereka mabuk sebagai pelarian dari kenyataan. ”Derita ini harus kami akhiri,” ujar Yellow Bird Steele, seorang tetua suku Sioux Oglala, yang pada awal Februari lalu berjanji di depan rapat warga untuk tidak mabuk lagi.

Benar, Februari membawa angin baru bagi warga Indian di Pine Ridge. Mereka muak dengan semua derita akibat alkohol. Saking marahnya, rembuk warga pada akhir Januari lalu memutuskan menggugat para produsen minuman beralkohol di Amerika Serikat, yang mereka yakini sebagai biang kesengsaraan bagi orang Indian di penampungan. Akhirnya, pada 10 Februari lalu, suku Sioux Oglala secara resmi menggugat 20 pihak sekaligus, termasuk perusahaan bir internasional serta pengecer kecil minuman beralkohol di Whiteclay—kota kecil dekat penampungan Pine Ridge—dengan besar tuntutan US$ 500 juta.

Gugatan diajukan ke pengadilan Lincoln, Nebraska, diwakili oleh Tom White, penasihat hukum dari pihak Indian. Perusahaan raksasa pembuat bir yang mereka gugat antara lain Anheuser-Busch InBev Worldwide, SAB Miller, Molson Coors Brewing Company, MillerCoors LLC, dan Pabst Brewing Company.

Dalam gugatannya, menurut White, suku Sioux Oglala menuding pabrik-pabrik bir inilah yang menjadi biang kecanduan alkohol. Akibat kondisi itu, lahir kemiskinan dan penyakit yang tidak saja menyengsarakan orang dewasa, tapi juga bayi yang lahir dari ibu alkoholik. Uang ganti rugi yang hampir mencapai Rp 4,5 triliun—bila gugatan mereka menang—akan digunakan untuk mengganti ongkos kesehatan, layanan sosial, dan rehabilitasi anak-anak.

”Seperti orang tua Amerika di mana pun, kami akan melakukan apa pun yang sesuai dengan hukum untuk melindungi kesehatan, kesejahteraan, dan masa depan anak-anak kami,” kata Presiden Kesukuan John Yellow Bird Steele kepada kantor berita Associated Press.

Namun setiap perubahan selalu menemui ganjalan. Senator Negara Bagian Nebraska, LeRoy Louden, mencibir langkah warga Indian itu. Menurut dia, kecanduan alkohol merupakan masalah pribadi. Mereka tidak perlu membabi-buta menyebar gugatan. Di Nebraska, aturan tentang peredaran minuman beralkohol sudah sangat jelas dan mengikat. Ada jenis dan jam operasi toko minuman keras. ”Mereka hanya ingin mengambil untung dari kecanduan yang mereka derita,” ujarnya.

Berbeda dengan Louden, semua grup pecandu alkohol di Amerika Serikat mendukung upaya hukum warga Indian itu. Mereka bahkan menyarankan gugatan tidak bersifat lokal, tapi nasional.

”Seseorang tidak bisa menjual lima juta kaleng bir, lalu sama sekali tak bersalah dengan mengatakan tidak mengetahui dampak minuman keras tersebut,” kata Tom White. Pada 2010 penjualan bir di sekitar penampungan Pine Ridge mencapai lima juta kaleng.

Kemiskinan dan kecanduan alkohol selama berpuluh tahun membelit penampungan Indian di Pine Ridge. Inilah saat untuk mengakhirinya. Para sesepuh mengatakan gugatan hukum ini merupakan langkah terakhir bagi suku Sioux Oglala, setelah jalan lain seperti unjuk rasa dan negosiasi gagal.

Sandy Indra Pratama (AP, BBC, Guardian, USA Today)


Sengsara dalam Angka

Sioux Oglala adalah salah satu suku Indian tua yang masih bertahan. Dulu mereka hidup persis di tengah-tengah Amerika Serikat. Tanahnya membentang dari Negara Bagian Nebraska, Dakota Utara, hingga Dakota Selatan, yang berbatasan langsung dengan Kanada. Kini 45 ribu anggota suku itu harus hidup di sebuah penampungan khusus Indian, Pine Ridge, sebuah kawasan seluas 2,2 hektare di tanah tandus dan gersang, padang rumput di pegunungan, kering, dengan sedikit pohon pinus.

  • US$ 2.600-3.500 merupakan pendapatan rata-rata per tahun di Pine Ridge. Angka itu terendah di Amerika Serikat, yang memiliki pendapatan per kapita US$ 42 ribu per tahun.
  • 83-85% adalah tingkat pengangguran di Pine Ridge dari total penduduknya. Tidak ada satu pun perusahaan yang beroperasi di dalam penampungan. Sebagian besar penduduknya bergantung pada santunan pemerintah sebesar US$ 200-500 per orang di usia produktif, tapi 40-60 persennya digunakan untuk membeli ”air api”.
  • 97% penduduk di Pine Ridge hidup di bawah tingkat kemiskinan. Hanya 5 persen dari penduduknya yang memiliki kendaraan roda empat.
  • 300% adalah tingkat bunuh diri usia remaja Sioux Oglala dibanding rata-rata angka di Amerika untuk kelompok usia ini. Angka kematian bayi tertinggi di Benua Amerika. Hanya ada satu klinik kesehatan kecil di penampungan.
  • >70% penduduk drop-out dari sekolah. Tak ada perusahaan yang mau menerima pekerja asal Pine Ridge.
  • 17 orang jumlah penghuni setiap rumah dengan dua atau tiga kamar di Pine Ridge.
  • 59% rumah di Pine Ridge di bawah standar kelayakan rumah di Amerika Serikat. Banyak yang tinggal di karavan kumuh.
  • >33% dari rumah kekurangan air bersih dan sistem sanitasi. Penyakit seperti diare dan disentri sudah jadi langganan.
  • 8 dari 10 orang mengalami ketergantungan alkohol, yang menjadi penyebab kematian paling tinggi. Satu dari empat bayi di Pine Ridge menderita sindrom alkohol atau fetal alcohol spectrum disorder, penyakit yang diderita bayi yang dilahirkan ibu pecandu alkohol.
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus