Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lagu Jangan Sakiti Hatinya yang dipopulerkan Iis Sugianto pada 1980-an mengalun di Pasar Seni Jaya Ancol, Jakarta, dalam acara Friday Jazz Night, 1986. Tak ada suara mendayu-dayu Iis, yang terdengar hanya denting dari piano yang dimainkan Bubi Chen. Siapa pun yang mendengar permainan pianonya waktu itu—termasuk saya—tersihir. Lagu pop yang dasarnya sangat sederhana itu (basic-nya hanya 3 chord) dapat dimainkan menjadi suatu komposisi yang kompleks dengan pengembangan-pengembangan harmoni serta improvisasi yang luas. Meski demikian, lagu itu tidak kemudian susah dicerna. Lagu tersebut tetap harmonis dan bisa dinikmati. Keindahan yang ditambahkan Bubi Chen tak bisa dibayangkan sebelumnya oleh para musikus lain.
Hal terpenting dari "perjumpaan" pertama saya dengan Bubi Chen itu adalah jazz bukanlah soal lagunya. Jazz adalah apa yang ada dalam diri pemainnya. Lagu apa pun, jika dimainkan oleh orang yang berjiwa jazz, akan menjadi lagu jazz. Para musikus senior jazz tahu, semakin kita mendalami musik itu dan sejarahnya, kita akan menemukan bahwa jazz adalah sikap hidup.
Bubi Chen bisa bertahan pada sikap itu hingga akhir hidupnya, 16 Februari 2012. Di Semarang, legenda itu meninggal sepekan setelah ulang tahunnya yang ke-74.
Pada 1968 International Critics Poll, majalah jazz terkemuka, Down Beat, pernah menyebut Bubi sebagai pianis terbaik di Asia. Bahkan ia masuk lima pemain piano terbaik dunia saat itu: 1. Bill Evans, 2. Oscar Peterson, 3. Art Tatum, 4. Bubi Chen, dan 5. Herbie Hancock. Prestasi yang ditorehkan setelah ia mengikuti Berlin Jazz Festival pada 1967 ini tak pernah disamai oleh musikus Indonesia lainnya hingga saat ini.
Benny Mustapha, drummer swing yang menjadi salah satu rekan bermainnya di Berlin Festival, pernah mengatakan Bubi Chen adalah the real player yang tidak terlalu banyak basa-basi. Dia banyak berbicara lewat note indah dari tuts pianonya. Meski tak banyak basa-basi, Bubi adalah seorang humoris dengan caranya, musik. Rasa humor yang tinggi muncul dalam permainannya. Ia kerap secara tak terduga memasukkan lagu lain dalam improvisasinya.
Yohanes Gondo, pemain piano asal Surabaya yang pernah menjadi murid Bubi Chen, mengatakan gurunya itu sangat keras, berdisiplin, konsisten, tapi juga penuh perhatian terhadap perkembangan kemajuan muridnya. Mereka yang pernah belajar kepada Bubi Chen selalu mengatakan dia tidak sekadar mengajarkan musik atau piano, tapi juga mengajarkan soal hidup.
Kerasnya Bubi dalam mendidik juniornya ini dia turunkan dari cara ayahnya, Tan Khing Hoo, yang pandai menggesek biola, menyuruh Bubi kecil belajar musik. Ia menyerahkan Bubi Chen pada usia lima tahun kepada Di Lucia, seorang guru piano berkebangsaan Italia. "Entah bagaimana cara Di Lucia mengajari saya yang masih sangat kecil," ujar Bubi Chen. Jangankan membaca not balok, membaca tulisan saja dia belum bisa.
Menghabiskan masa kecil di Surabaya amatlah menguntungkannya. Saat itu Surabaya merupakan kota perdagangan kolonial, penuh perusahaan asing dan ekspatriat. Merekalah yang menularkan jazz ke penduduk lokal, termasuk sejumlah musikus keturunan Maluku di Surabaya. Kesukaan Bubi akan jazz juga dipengaruhi oleh saudara-saudaranya yang sudah menjadi jazzer ternama di Surabaya pada saat Bubi masih kecil. Bahkan Chen bersaudara ini adalah salah satu tonggak musik jazz Surabaya. Ada Teddy Chen (piano), Nico (drum), dan Jopie Chen (bas). Trio ini dibantu oleh Albert Chen, yang memainkan gitar ala Charlie Christian; Leo Seghers (saksofon); Lattuperisa; dan Andi Syaifin (saksofon).
Setelah diajar oleh guru Italia, Bubi belajar musik klasik pada Josef Bodmer, guru piano berkebangsaan Swiss yang lebih menekuni karya Mozart, Beethoven, dan Chopin. Suatu ketika Bubi Chen pernah tertangkap basah memainkan sebuah lagu jazz. Gurunya yang terkenal sangat disiplin dan keras itu tidak marah. Ia mentoleransi Bubi memainkan musik yang lain, karena dia dapat merasakan penjiwaan Bubi pada musik anak muda itu. "Saya tahu jazz adalah duniamu yang sebenarnya, perdalamlah musik itu," kata sang guru. Selanjutnya, Bubi Chen belajar jazz secara otodidaktik dan lewat kursus tertulis (1955-1957) pada Wesco School of Music New York. Di antara guru kursus tertulis tersebut terdapat Teddy Wilson, murid Benny Goodman yang dijuluki Father of Swing.
Pilihannya tak salah. Selain menjadi pemain hebat, dia amat produktif. Tidak kurang dari 36 album dia hasilkan semasa hidupnya. Salah satu albumnya, Bubi Chen and His Fabulous 5 (Irama, 1962), masuk 150 Album Terbaik Indonesia versi majalah Rolling Stone. Interpretasinya terhadap lagu Blue Bossa karya pemain trompet Kenny Dorham sangat luar biasa.
Meski demikian, rekamannya bersama Indonesian All Stars, Djanger Bali, adalah yang paling fenomenal dan sudah menjadi koleksi langka. Rekaman itu, dan konser Indonesian All Stars di Berlin, sangat berarti mengangkat nama Indonesia ke pentas jazz internasional. Mereka yang tampil—seperti Jack Lesmana (gitar), Maryono (saksofon), Benny Mustapha (drum), Jopie Chen (bas), Bubi Chen (piano)—adalah musikus yang memberi arti bagi perkembangan jazz Indonesia hingga kini.
Penyuka lagu Cantaloupe Island dan Body and Soul ini memang bukan pianis biasa, karena bisa memainkan berbagai gaya dengan sempurna. Permainan pianonya bergaya ragtime pada lagu Tiger Rag selalu ditunggu-tunggu oleh para jazzer dan rekan-rekannya di Surabaya. Selain menguasai ragtime, Bubi menguasai swing, bebop, hingga modern. Uniknya, dia bisa menggubah satu lagu—termasuk Cantaloupe Island—dengan berbagai gaya itu. Penguasaan teknik yang tinggi itulah yang membuat lagu sederhana, seperti Jangan Sakiti Hatinya, Burung Kakaktua, dan Naik Naik ke Puncak Gunung, menjadi komposisi jazz yang kompleks. Dia adalah Raja Midas di dunia jazz. Semua lagu yang dia "pegang" pasti menjadi lagu jazz.
Itulah kenapa musikus jazz Indra Lesmana merasa begitu kehilangan. Di Twitter, dia tulis begini: "My heart is broken.... We just lost the first and greatest Modern Jazz Pianist this Country ever had.... Rest In Peace Oom Bubi Chen."
Beben Supendi Mulyana Ketua Komunitas Jazz Kemayoran
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo