Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Reformasi di kandang sendiri ?

Paus paulus vi meninggal. suara santer memilih leo josef suenens, uskup agung mechelen-brussels dan ketua majelis waligereja belgia. kardinal suenens mengeluarkan deklarasi kriteria pemilihan paus.(ln)

26 Agustus 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AIR mata ribuan umat Katolik yang melayat pemimpinnya yang baru meninggal, mungkin belum kering betul. Juga asap dupa Missa Duka, belum pupus seluruhnya dari udara Vatikan, kota di tengah kota dan negara di tengah negara. Namun tradisi menghendaki, pengganti Paus Paulus VI harus segera dipilih. Maka mulai Jumat ini, 25 Agustus, 115 kardinal yang belum berumur 80 tahun mengunci diri di Kapel Sistin. Tadinya ada 116, tapi Kardinal Paul Yu Pin dari Taiwan yang khusus terbang ke Roma dari Taipeh Rabu minggu lalu tiba-tiba meninggal dunia juga setelah jatuh sakit dalam Misa Pemakaman Paus Paulus VI. Usianya 77. Begitu gerbang kapela dikunci oleh petugas yang khusus dikunci untuk menjaga rahasia konklaf (sidang pemilihan paus), berakhirlah pula segala wawancara pers, kasak-kusuk serta kampanye terbuka menyangkut calon paus baru dan program kerjanya. Paling tidak, untuk sementara. Artinya sampai asap putih mengepul-ngepul dari cerobong kapela Sistin, dan paus baru muncul di balkon Basilika Santo Petrus untuk memperkenalkan diri pada umatnya. Boleh dikata, soal pengganti Paus Paulus VI ini cukup ramai dibicarakan secara terbuka ketimbang kedua pendahulunya, Yohannes ke-23 dan Pius ke-12. Banyak nama dipergunjingkan orang. Ada nama Italia yang memang sudah lama menjadi 'lingkaran dalam' Vatikan, seperti Kardinal Pignedolli, Felici, Bagio dan Benelli. Ada juga orang dalam yang bukan Italia, seperti Kardinal Villot, orang Perancis yang jadi SekNeg Vatikan dan Kardinal Willebrands dari Belanda yang mengetuai Sekretariat Vatikan dan Persatuan Umat Kristen. Di samping itu ada beberapa 'orang luar' seperti Kardinal Koenig (Austria), Pironio (Argentina), Lorscheider (Brazil), dan satu-satunya papabili yang berkulit berwarna, Kardinal Bernardin Gantin dari Benin, Afrika Barat. Bukan Itali? Di atas kertas, kemungkinan terpilihnya seorang paus baru yang bukan warganegara Italia, cukup besar. Bahkan kemungkinan terpilihnya seorang paus dari luar Eropa pun masih cukup besar. Sebab jumlah peserta konklaf dari luar Eropa, kini sudah merupakan mayoritas. Ini berbeda dengan saat pemilihan almarhum Paus Paulus VI (1963), ketika dari 80 kardinal yang ikut konklaf ada 29 kardinal dari Italia, dan hanya 26 kardinal dari luar Eropa. Internasionalisasi Dewan Suci pada Kardinal ini-115 kardinal yang 'mewakili' 39 negara di dunia -- dapat dianggap sebagai salah satu langkah positif almarhum Paulus VI. Namun di luar soal siapa dan apa kewarganegaraannya, demokratisasi dalam tubuh hirarki tertinggi Gereja Katolik Roma yang diharapkan tak cuma soal itu. Dari barisan para kardinal, telah terungkap suara keras Leo Josef Suenens, Uskup Agung Mechelen-Brussels dan ketua Majelis Waligereja Belgia. Dalam wawancaranya dengan Radio Italia, Kardinal yang berusia 74 tahun itu mendambakan "paus baru yang memerintah gereja dalam kerjasama erat dengan sekelompok uskup dari seluruh dunia, bukan memerintah sebagai seorang penguasa tunggal yang dibebani tanggungjawab yang terlalu berat". Singkat kata, dia mengharapkan konklaf memilih paus baru yang memerintah gereja "secara sinodal". Desentralisasi Tak Tercapai Himbauan ini oleh Paul Hofman dari harian New York Times difahami sebagai ajakan agar paus baru lebih mendengarkan pendapat Sinode para Uskup. Badan internasional ini, yang dibentuk oleh mendiang Paulus VI sebagai realisasi Konsili Vatikan II (1962-1965), boleh dianggap semacam "parlemen gereja". Keanggotaannya terdiri dari wakil-wakil Konferensi Uskup atau Majelis Wali gereja sedunia, sebanyak kuranglebih 200 orang. Sinode Uskup ini telah bersidang lima kali di Roma -- 1967, 1969, 1971, 1974 dan musim semi lalu. Namun harapan banyak orang di seluruh dunia bahwa lembaga ini akan betul-betul ikut berperan dalam internasionalisasi pengambilan keputusan kegerejaan, tak terpenuhi. Soalnya, Sinode Uskup hanya bersidang atas permintaan Paus yang juga merupakan ketuanya, dan lebih bersifat sebagai "badan penasehat" saja. Pemerintahan Gereja sehari-hari, tetap didominasi oleh Paus sendiri dengan para anggota Kurianya. Akibatnya, desentralisasi yang diharapkan -- juga dalam Konsili Vatikan II yang merupakan musyawarah para uskup sedunia -- tak tercapai. Himbauan Kardinal Suenens ini mendapat dukungan 10 ahli theologia Katolik yang punya reputasi internasional. Ke-10 orang itu -- di antaranya pastor Yves Congar, (74 tahun) dari Perancis, pastor Hans Kueng (50 tahun) dari Jerman Barat, pastor Andrew Greeley dari AS, serta tujuh theolog Eropa dan Amerika lainnya -- dalam minggu-minggu berkabung di Roma itu mengeluarkan suatu deklarasi. Isinya mengharapkan suatu "reformasi dalam lembaga kepausan, menuju suatu corak Paus baru." Deklarasi 10 orang bijak itu -- banyak di antaranya telah berfungsi sebagai peritus, staf ahli para uskup negaranya dalam Konsili Vatikan II -- menyerukan agar para kardinal membahas dulu isi deklarasi, baru kemudian memilih orang yang dapat memenuhi kriteria dalam pernyataan itu. Andrew Greeley dari Chicago, AS yang juga menandatangani pernyataan itu, serentak mengadakan kampanye tersendiri di AS dan Roma. Kelompoknya yang menamakan dirinya Komite Untuk Pemilihan Paus Secara Bertanggungjawab, menerbitkan sebuah buku berisi catatan tentang para kardinal, berjudul The Inner Elite. Walaupun mencita-citakan konklaf yang 100% terbuka, mereka sudah meramalkan sebelumnya bahwa pemilihan paus baru nanti "akan jadi yang paling tertutup sepanjang sejaral gereja." Aneh juga. Kalau mau dikaji isi tuntutan Kardinal Suenens maupun 10 theolog 'pemberontak' itu -- Hans Kueng telah dikenakan larangan mengajarkan theologinya secara resmi oleh Sekretariat Doktrin dan Iman Vatikan (1975) -- banyak yang mirip dengan 95 pasal Reformasi yang ditempelkan Dr Martin Luther di pintu gereja Wittenberg, 31 Oktober 1517. Tokoh reformator ini, yang kemudian dikenal sebagai pendiri Gereja Protestan Lutheran di Jerman, juga menentang feodalisme lembaga kepausan, serta pengangkatan para kardinal bak pangeran-pangeran baru dalam Kereja. Hampir mirip dengan kritik Yves M. J. Congar, pastor Dominikan yang menyamakan para Kardinal dengan para Senator dan Kuria dengan pemerintahan inti Imperium Romawi kuno. Paus sendiri katanya, hidup dalam suasana pewarisan kemegahan kekaisaran hadiah Kaisar Konstantinus di abad ke-8. Tapi bedanya, kalau dulu Martin Luther serta para 'pemberontak' lainnya langsung dikucilkan dari Gereja Katolik Roma, kini hukum eks-komunikasi itu praktis belum pernah diterapkan lagi. Juga terhadap Uskup Lefebre yang ultra-konservatif dari Perancis, yang menuduh Roma terlalu dekat dengan dunia Protestan dan Komunis, dan sudah meninggalkan tradisinya sendiri. Agaknya dalam Gereja Katolik Roma sekarang, ekstrim kanan maupun ekstrim kiri boleh bersaing dengan bebas. Sebab toh Paus yang "tak bisa sesat" (suatu doktrin gereja yang ditentang Hans Kueng), juga bebas mengayunkan langkahnya sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus