AIR mata ribuan umat Katolik yang melayat pemimpinnya yang baru
meninggal, mungkin belum kering betul. Juga asap dupa Missa
Duka, belum pupus seluruhnya dari udara Vatikan, kota di tengah
kota dan negara di tengah negara. Namun tradisi menghendaki,
pengganti Paus Paulus VI harus segera dipilih.
Maka mulai Jumat ini, 25 Agustus, 115 kardinal yang belum
berumur 80 tahun mengunci diri di Kapel Sistin. Tadinya ada 116,
tapi Kardinal Paul Yu Pin dari Taiwan yang khusus terbang ke
Roma dari Taipeh Rabu minggu lalu tiba-tiba meninggal dunia juga
setelah jatuh sakit dalam Misa Pemakaman Paus Paulus VI. Usianya
77.
Begitu gerbang kapela dikunci oleh petugas yang khusus dikunci
untuk menjaga rahasia konklaf (sidang pemilihan paus),
berakhirlah pula segala wawancara pers, kasak-kusuk serta
kampanye terbuka menyangkut calon paus baru dan program
kerjanya. Paling tidak, untuk sementara. Artinya sampai asap
putih mengepul-ngepul dari cerobong kapela Sistin, dan paus baru
muncul di balkon Basilika Santo Petrus untuk memperkenalkan diri
pada umatnya.
Boleh dikata, soal pengganti Paus Paulus VI ini cukup ramai
dibicarakan secara terbuka ketimbang kedua pendahulunya,
Yohannes ke-23 dan Pius ke-12. Banyak nama dipergunjingkan
orang. Ada nama Italia yang memang sudah lama menjadi 'lingkaran
dalam' Vatikan, seperti Kardinal Pignedolli, Felici, Bagio dan
Benelli. Ada juga orang dalam yang bukan Italia, seperti
Kardinal Villot, orang Perancis yang jadi SekNeg Vatikan dan
Kardinal Willebrands dari Belanda yang mengetuai Sekretariat
Vatikan dan Persatuan Umat Kristen. Di samping itu ada beberapa
'orang luar' seperti Kardinal Koenig (Austria), Pironio
(Argentina), Lorscheider (Brazil), dan satu-satunya papabili
yang berkulit berwarna, Kardinal Bernardin Gantin dari Benin,
Afrika Barat.
Bukan Itali?
Di atas kertas, kemungkinan terpilihnya seorang paus baru yang
bukan warganegara Italia, cukup besar. Bahkan kemungkinan
terpilihnya seorang paus dari luar Eropa pun masih cukup besar.
Sebab jumlah peserta konklaf dari luar Eropa, kini sudah
merupakan mayoritas.
Ini berbeda dengan saat pemilihan almarhum Paus Paulus VI
(1963), ketika dari 80 kardinal yang ikut konklaf ada 29
kardinal dari Italia, dan hanya 26 kardinal dari luar Eropa.
Internasionalisasi Dewan Suci pada Kardinal ini-115 kardinal
yang 'mewakili' 39 negara di dunia -- dapat dianggap sebagai
salah satu langkah positif almarhum Paulus VI.
Namun di luar soal siapa dan apa kewarganegaraannya,
demokratisasi dalam tubuh hirarki tertinggi Gereja Katolik Roma
yang diharapkan tak cuma soal itu. Dari barisan para kardinal,
telah terungkap suara keras Leo Josef Suenens, Uskup Agung
Mechelen-Brussels dan ketua Majelis Waligereja Belgia. Dalam
wawancaranya dengan Radio Italia, Kardinal yang berusia 74 tahun
itu mendambakan "paus baru yang memerintah gereja dalam
kerjasama erat dengan sekelompok uskup dari seluruh dunia, bukan
memerintah sebagai seorang penguasa tunggal yang dibebani
tanggungjawab yang terlalu berat". Singkat kata, dia
mengharapkan konklaf memilih paus baru yang memerintah gereja
"secara sinodal".
Desentralisasi Tak Tercapai
Himbauan ini oleh Paul Hofman dari harian New York Times
difahami sebagai ajakan agar paus baru lebih mendengarkan
pendapat Sinode para Uskup. Badan internasional ini, yang
dibentuk oleh mendiang Paulus VI sebagai realisasi Konsili
Vatikan II (1962-1965), boleh dianggap semacam "parlemen
gereja". Keanggotaannya terdiri dari wakil-wakil Konferensi
Uskup atau Majelis Wali gereja sedunia, sebanyak kuranglebih 200
orang.
Sinode Uskup ini telah bersidang lima kali di Roma -- 1967,
1969, 1971, 1974 dan musim semi lalu. Namun harapan banyak orang
di seluruh dunia bahwa lembaga ini akan betul-betul ikut
berperan dalam internasionalisasi pengambilan keputusan
kegerejaan, tak terpenuhi. Soalnya, Sinode Uskup hanya bersidang
atas permintaan Paus yang juga merupakan ketuanya, dan lebih
bersifat sebagai "badan penasehat" saja. Pemerintahan Gereja
sehari-hari, tetap didominasi oleh Paus sendiri dengan para
anggota Kurianya. Akibatnya, desentralisasi yang diharapkan --
juga dalam Konsili Vatikan II yang merupakan musyawarah para
uskup sedunia -- tak tercapai.
Himbauan Kardinal Suenens ini mendapat dukungan 10 ahli
theologia Katolik yang punya reputasi internasional. Ke-10 orang
itu -- di antaranya pastor Yves Congar, (74 tahun) dari
Perancis, pastor Hans Kueng (50 tahun) dari Jerman Barat, pastor
Andrew Greeley dari AS, serta tujuh theolog Eropa dan Amerika
lainnya -- dalam minggu-minggu berkabung di Roma itu
mengeluarkan suatu deklarasi. Isinya mengharapkan suatu
"reformasi dalam lembaga kepausan, menuju suatu corak Paus
baru." Deklarasi 10 orang bijak itu -- banyak di antaranya telah
berfungsi sebagai peritus, staf ahli para uskup negaranya dalam
Konsili Vatikan II -- menyerukan agar para kardinal membahas
dulu isi deklarasi, baru kemudian memilih orang yang dapat
memenuhi kriteria dalam pernyataan itu.
Andrew Greeley dari Chicago, AS yang juga menandatangani
pernyataan itu, serentak mengadakan kampanye tersendiri di AS
dan Roma. Kelompoknya yang menamakan dirinya Komite Untuk
Pemilihan Paus Secara Bertanggungjawab, menerbitkan sebuah buku
berisi catatan tentang para kardinal, berjudul The Inner Elite.
Walaupun mencita-citakan konklaf yang 100% terbuka, mereka sudah
meramalkan sebelumnya bahwa pemilihan paus baru nanti "akan jadi
yang paling tertutup sepanjang sejaral gereja."
Aneh juga. Kalau mau dikaji isi tuntutan Kardinal Suenens
maupun 10 theolog 'pemberontak' itu -- Hans Kueng telah
dikenakan larangan mengajarkan theologinya secara resmi oleh
Sekretariat Doktrin dan Iman Vatikan (1975) -- banyak yang mirip
dengan 95 pasal Reformasi yang ditempelkan Dr Martin Luther di
pintu gereja Wittenberg, 31 Oktober 1517. Tokoh reformator ini,
yang kemudian dikenal sebagai pendiri Gereja Protestan Lutheran
di Jerman, juga menentang feodalisme lembaga kepausan, serta
pengangkatan para kardinal bak pangeran-pangeran baru dalam
Kereja.
Hampir mirip dengan kritik Yves M. J. Congar, pastor Dominikan
yang menyamakan para Kardinal dengan para Senator dan Kuria
dengan pemerintahan inti Imperium Romawi kuno. Paus sendiri
katanya, hidup dalam suasana pewarisan kemegahan kekaisaran
hadiah Kaisar Konstantinus di abad ke-8.
Tapi bedanya, kalau dulu Martin Luther serta para 'pemberontak'
lainnya langsung dikucilkan dari Gereja Katolik Roma, kini hukum
eks-komunikasi itu praktis belum pernah diterapkan lagi. Juga
terhadap Uskup Lefebre yang ultra-konservatif dari Perancis,
yang menuduh Roma terlalu dekat dengan dunia Protestan dan
Komunis, dan sudah meninggalkan tradisinya sendiri. Agaknya
dalam Gereja Katolik Roma sekarang, ekstrim kanan maupun ekstrim
kiri boleh bersaing dengan bebas. Sebab toh Paus yang "tak bisa
sesat" (suatu doktrin gereja yang ditentang Hans Kueng), juga
bebas mengayunkan langkahnya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini