UNTUK ketiga kalinya tahun ini Iran dilanda lagi oleh kerusuhan
berdarah. Dari bentrokan antara para demonstran dan
pasukan-pasukan keamanan dilaporkan tewasnya hampir 20 orang,
sedang yang luka-luka dilaporkan memenuhi rumah-rumah sakit di
berbagai kota di propinsi Isfahan dan Shiraz.
Bentrokan yang umumnya terjadi antara para pengikut Islam yang
fundamentalis dengan pihak polisi, mendapatkan bentuknya yang
lebih jelas sejak kaum muslimin memasuki bulan puasa.
"Kerusuhan-kerusuhan umumnya terjadi setelah berlangsung khotbah
di masjid-masjid pada malam hari," tulis seorang wartawan dari
Isfahan pekan silam.
Dilaporkan bahwa sejumlah bank di berbagai kota telah dibakar,
klab-klab malam diobrak-abrik, bar-bar dihancurkan, bom-bom
menggoncangkan sejumlah restoran mewah. Bahkan beberapa gedung
pemerintah kabarnya juga menjadi sasaran aksi massa itu.
Para demonstran itu dengan jelas menyatakan kebencian mereka
terhadap pemerintahan Shah Mohamad Pahlevi yang dianggapnya amat
sekuler. Sejak tahun silam orang-orang muslim fundamentalis di
bawah pimpinan sejumlah mullah (pemimpin keagamaan) melancarkan
aksi menuntut kedudukan politis bagi gerakan mereka. Kemajuan
dan modernisasi Iran yang diakibatkan oleh kekayaan yang
diperoleh dari harga minyak bumi itu dinilai oleh para mullah
sebagai suatu "yang makin menjauhkan orang-orang Iran dari jalan
Allah."
Kedudukan Wanita
Karena itulah maka dalam aksi-aksi pekan silam, yang menjadi
sasaran utama mereka adalah benda-benda yang menjadi lambang
Barat dan kemewahan "yang tidak sesuai dengan ajaran Islam".
Selain merusak kelab malam dan bar-bar, mereka juga merusak
gedung-gedung bioskop serta menghancurkan sejumlah pesawat
televisi yang berada dalam berbagai pusat perdagangan. Sebelum
aksi-aksi fisik ini mereka lakukan, sejumlah permintaan dan
tuntutan telah mereka kirimkan kepada Shah Iran. Salah satu di
antara banyak tuntutan mereka adalah agar kedudukan wanita yang
sekarang "terlalu maju" itu supaya dikembalikan kepada yang
"diizinkan oleh agama, tidak oleh yang bisa dicapai oleh
kemajuan materi".
Karena gaya hidup Iran yang "makin jauh dari yang dibolehkan
oleh agama Islam" itu menurut banyak mullah disebabkan oleh
banyaknya uang yang dihasilkan ladang-ladang minyak, maka di
antara mereka kini timbul gerakan untuk memperlambat pemompaan
minyak bumi itu. Dengan cara ini mereka bermaksud untuk
mengurangi jumlah uang yang masuk.
Tapi kebijaksanaan ini mempunyai akibat lain, sesuatu yang amat
menakutkan negara-negara industri yang kebutuhan minyak mereka
amat tergantung pada Iran. Untunglah pekan silam, Ayatullah
Mohammad Kazim Shariatmadari telah menyelesaikan soal ini dengan
mengatakan: "Yang penting adalah bagaimana uang itu
dibelanjakan. Dan ia harus dibelanjakan sesuai dengan
ajaran-ajaran Islam".
Ada pun huru-hara yang kini melanda Iran nampaknya dianggap yang
terhebat dari rentetan kejadian berdarah yang sama yang melanda
negara itu secara beruntun sejak awal tahun ini. Kini sejumlah
wilayah telah dinyatakan berada dalam keadaan darurat perang.
Pasukan militer bersenjata lengkap muncul di mana-mana lengkap
dengan perssnjataan mereka yang modern dan lengkap.
Agen Komunis
Shah Iran, 58 tahun, melihat huru-hara itu sebagai ancaman
terhadap dirinya pribadi maupun terhadap lembaga pemerintahan.
Meski sejumlah pengamat di Teheran masih belum menilai kerusuhan
itu sebagai ancaman serius bagi kelanjutan takhta Shah, Mohamad
Reza Pahlevi yang telah bertakhta selama 37 tahun itu toh cemas
melihat hari depan kerajaannya. Terutama karena ia telah
berkeputusan untuk menyerahkan takhta kepada puteranya, Reza, 17
tahun, dalam masa 10 tahun mendatang.
Berhati-hati terhadap para mullah dan pengikut-pengikut mereka,
Shah menyebut kerusuhan itu sebagai suatu hasil kerja agen-agen
komunis yang "bekerja untuk kepentingan Moskow". Uni Soviet
akhir-akhir ini memang menjadi hantu yang menakutkan Shah,
terutama setelah negara tetangganya itu berhasil mendapatkan
pijakan meyakinkan di Tanduk Afrika, Yaman Selatan dan
Afganistan.
Ketika kerusuhan kaum muslimin fundamentalis ini masih belum
juga kunjung selesai, suatu gerakan politik urban juga menuntut
kebebasan lebih banyak dari yang kini diberikan oleh Shah.
Mula-mula Shah memang amat berkeberatan, tapi pekan silam --
lewat sejumlah tekanan dari dalam maupun luar negeri -- Shah
akhirnya setuju untuk melakukan suatu pemilihan umum yang
betul-betul bebas tahun ini. Tandatanda ke arah liberalisasi ini
kabarnya sudah mulai nampak sejak beberapa bulan silam, ketika
surat-surat kabar secara berangsur-angsur mulai berani, sensor
terhadap sejumlah buku makin longgar dan di parlemen suara yang
keras sudah pula mulai terdengar.
Apakah Shah akan konsekwen dengan liberalisasinya? Ini
pertanyaan yang sulit dijawab oleh pengamat manapun di Teheran.
Pengalaman pahit tahun 1950 -- ketika politik liberal cuma
menciptakan anarkhi -- nampaknya masih amat membekas dalam diri
Shah. "Dilema yang dihadapi oleh Shah adalah bahwa jika ia
melonggarkan pengawasan dan melakukan pemilu yang betul-betul
bebas, ia mungkin akan menciptakan sejumlah kekuatan baru
yangbakal sulit dikontrolnya. Tapi kalau pemilu tidak diadakan
atau diadakan tidak bebas sepenuhnya, kaum oposisi pasti akan
mendapatkan alasan untuk terus turun ke jalan." Begitu komentar
seorang diplomat di Teheran beberapa hari yang lalu.
Di hadapan dilema yang menanti Shah ini, tersebar pula kabar
mengenai mulainya terjadi pelarian modal dan transfer kekayaan
sejumlah orang-orang kaya Iran ke berbagai bank di Eropa.
"Mereka ini memang menjadi kaya karena kebijaksanaan Shah, tapi
dalam soal politik mereka sama sekali tidak memainkan peranan,"
tulis kantor berita Reuter dari Teheran pekan silam. Karena
itulah maka orang-orang ini tidak mempunyai kepastian terhadap
hari depan mereka. Itulah sebabnya mereka bersiap-siap
menghadapi keadaan terburuk yang mungkin akan melanda Iran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini