TIDAK banyak yang berubah sampai pada Konser Rakyat Leo Kristi.
Mereka masih tetap berlima: Leo, Lita, Nanil, Jili dan Mung.
Seperti 2 tahun lalu, 16 - 18 Agustus ini mereka turun kembali
di Teater Arena TIM. Gitar akustik, blok flute, baju hitam
kelam, dan suara-suara bersemangat tetap muncul didukung lirik
lagu yang padat dan puitis. Dengan kesederhanaan itu mereka
menampilkan pertunjukan yang mengharukan di bulan Proklamasi
ini. Terutama karena mereka bicara tentang rakyat tanpa rasa
luka dan kebencian.
Sebuah bendera merah putih ukuran raksasa diikat ke bambu. Leo
Iman Sukarno tampil sendiri membawakan lagu-lagu perjuangan pada
babak pertama. Ia menyandang gitar hitam -- membawakan lagu
Tanah Merah In Memoriam. Anak muda ini masih tetap ekspresif.
Tapi wajah dan matanya sayu. Keletihan perjalanan panjang yang
telah ditempuhnya jelas membayang. Leo tampak bergegas, ingin
cepat, berlari, dan selesai. Babak pertama itu ia hanya
menyelesaikan Nyanyian Tanah Merdeka, Hitam Putih Hendaknya
Punya Arti, Nyanyian Malam, Tepi Surabaya dan Fajar. Leo tampak
kesepian. Ia tampak kurang kukuh berdiri tanpa dukungan keempat
temannya. Penampilannya memang khas dan membayangkan bakat
besar. Tapi tak bisa disembunyikan ia letih.
Publik yang membayar karcis Rp 1.000 melimpah. Mereka nyaris
menyentuh bibir trap dengan dada penuh. Arena sesak seperti yang
terjadi dalam pertunjukan oleh Ravi Sankar dahulu di tempat yang
sama. Publik malam itu bukan publik yang datang seperti ketika 2
tahun silam, yang mendengar dan mencoba meresapi setiap siraman
bunyi flut, petikan gitar, suara sendu Lita dan Jili. Publik
malam itu tampaknya hanya ingin mengumbar ledakan perasaan saja,
suatu hal yang agak mengejutkan awak Leo Kristi sendiri.
Akibatnya mereka tampil dengan tersipu-sipu.
"Agak mengerikan, mereka tampaknya ingin dekat dengan kami,"
kata Lita sambil berseloroh. Dari bawah pohon beringin Wisma
Seni, tempat mereka menginap, Nanil menambah, "wah respons
mereka baik sekali, publik yang menyenangkan."
Sebelum Jakarta, Konser Leo Kristi menempuh perjalanan melintasi
kampus Universitas Diponegoro Semarang, Malang, Singaraja Bali,
lalu dengan mobil, sebagian naik kereta api, mereka sampai di
Jakarta. Nanil yang main flut sempat ketimpa kecelakaan. Kaki
kirinya sobek ditabrak bis ketika mengendarai motor di Surabaya.
Itulah sebab ia duduk saja selama pertunjukan. Ia merasa ada
kekurangan pada malam pertama itu. "Saya masih capek benar Mas,
belum pulih," kata Nanil.
Pada babak kedua Leo Kristi tampil dalam susunan yang lengkap.
Mung (bas), Leo (gitar), Nanil (block flute, perkusi, dan
mandolin), Jili dan kakaknya Lita untuk vokal. Lalu beruntun
mereka menyelesaikan Di Bawah Monumen Sudirman, Timor Timur,
Salam Dari Desa, Silhuette, Gulagu Lugu Suara Nelayan, Kiara
Condong, dan Nyanyian Malam. Hanya mengulang apa yang sudah
mereka kerjakan dahulu. Bahkan tidak cermat lagi menyetem gitar
dan mengendalikan kontrol suara. Sementara penonton masih
menunggu kejutan-kejutan, tiba-tiba mereka keburu mengundurkan
diri. Sebuah peluang untuk mengutarakan rakyat lewat lagu
rasanya tercecer pula. Sayang.
Ingin Kewajaran
Setelah 3 tahun berkelana dari kota ke kota, sebenarnya apa yang
ingin disampaikan rombongan ini kepada publik? Leo, seperti
biasanya, berpikir dahulu baru menjawab. "Saya hanya memberikan
catatan yang menyentuh, dari yang saya lihat dan terima, baik
selama perjalanan, atau bergaul," katanya sambil menyedot air
jeruk panas. Dia agak kurang suka kalau disebut seorang
pemotret, atau pelukis keadaan.
"Saya tidak menginginkan sikap memberontak. Saya ingin kewajaran
saja, supaya orang tidak bersikap pesimis."
Sampai sekarang tak kurang dari 30 lagu telah dikarang oleh Leo
Iman Sukarno. Ia memiliki rasa cinta pada hidup sehari-hari,
semangat patriotis dan rasa sepi yang membuat lagunya yang
menghentak-hentak kadangkala tersulap jadi manis. Tetapi
kemanisan seorang Leo dipadukan dengan unsur-unsur musik
tradisionil, musik gereja atau comotan sana-sini yang membuatnya
tidak sempat jatuh ngepop mengikuti selera pasar musik. Di dalam
Nyanyian Musim misalnya, cinta yang digarapnya tidak diumbar
dengan kata-kata yang banal. Kesederhanaan dan seleksi dapat
dipertahankannya dan menjadi cirinya kini.
Dalam penampilan malam pertama yang kurang begitu bagus, lagu
itu banyak menolong Leo. Rombongan ini memang terasa lebih kuat
di panggung daripada di dalam kaset. Apalagi pada malam kedua
mereka telah bebas dari letih lalu berhasil membuat pertunjukan
yang pantas dicatat.
Orang bilang, banyak musisi muda tertolong oleh kondisi sekitar
yang timpang. Karena dari keadaan tersebut ia terdorong menulis
lagu dan menyanyi -- lihat misalnya Bob Dylan. Leo menyanggah.
"Kepincangan tidak selalu menguntungkan. Tanpa kepincangan, pada
malam penuh bintang, penciptaan pun dapat berlangsung."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini