Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tanpa luka tanpa benci

Leo kristi mengadakan konser di teater arena tim. mereka bicara tentang rakyat tanpa rasa luka & kebencian. penampilan rombongan ini baik dan lebih kuat di panggung dari pada di dalam kaset. (ms)

26 Agustus 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK banyak yang berubah sampai pada Konser Rakyat Leo Kristi. Mereka masih tetap berlima: Leo, Lita, Nanil, Jili dan Mung. Seperti 2 tahun lalu, 16 - 18 Agustus ini mereka turun kembali di Teater Arena TIM. Gitar akustik, blok flute, baju hitam kelam, dan suara-suara bersemangat tetap muncul didukung lirik lagu yang padat dan puitis. Dengan kesederhanaan itu mereka menampilkan pertunjukan yang mengharukan di bulan Proklamasi ini. Terutama karena mereka bicara tentang rakyat tanpa rasa luka dan kebencian. Sebuah bendera merah putih ukuran raksasa diikat ke bambu. Leo Iman Sukarno tampil sendiri membawakan lagu-lagu perjuangan pada babak pertama. Ia menyandang gitar hitam -- membawakan lagu Tanah Merah In Memoriam. Anak muda ini masih tetap ekspresif. Tapi wajah dan matanya sayu. Keletihan perjalanan panjang yang telah ditempuhnya jelas membayang. Leo tampak bergegas, ingin cepat, berlari, dan selesai. Babak pertama itu ia hanya menyelesaikan Nyanyian Tanah Merdeka, Hitam Putih Hendaknya Punya Arti, Nyanyian Malam, Tepi Surabaya dan Fajar. Leo tampak kesepian. Ia tampak kurang kukuh berdiri tanpa dukungan keempat temannya. Penampilannya memang khas dan membayangkan bakat besar. Tapi tak bisa disembunyikan ia letih. Publik yang membayar karcis Rp 1.000 melimpah. Mereka nyaris menyentuh bibir trap dengan dada penuh. Arena sesak seperti yang terjadi dalam pertunjukan oleh Ravi Sankar dahulu di tempat yang sama. Publik malam itu bukan publik yang datang seperti ketika 2 tahun silam, yang mendengar dan mencoba meresapi setiap siraman bunyi flut, petikan gitar, suara sendu Lita dan Jili. Publik malam itu tampaknya hanya ingin mengumbar ledakan perasaan saja, suatu hal yang agak mengejutkan awak Leo Kristi sendiri. Akibatnya mereka tampil dengan tersipu-sipu. "Agak mengerikan, mereka tampaknya ingin dekat dengan kami," kata Lita sambil berseloroh. Dari bawah pohon beringin Wisma Seni, tempat mereka menginap, Nanil menambah, "wah respons mereka baik sekali, publik yang menyenangkan." Sebelum Jakarta, Konser Leo Kristi menempuh perjalanan melintasi kampus Universitas Diponegoro Semarang, Malang, Singaraja Bali, lalu dengan mobil, sebagian naik kereta api, mereka sampai di Jakarta. Nanil yang main flut sempat ketimpa kecelakaan. Kaki kirinya sobek ditabrak bis ketika mengendarai motor di Surabaya. Itulah sebab ia duduk saja selama pertunjukan. Ia merasa ada kekurangan pada malam pertama itu. "Saya masih capek benar Mas, belum pulih," kata Nanil. Pada babak kedua Leo Kristi tampil dalam susunan yang lengkap. Mung (bas), Leo (gitar), Nanil (block flute, perkusi, dan mandolin), Jili dan kakaknya Lita untuk vokal. Lalu beruntun mereka menyelesaikan Di Bawah Monumen Sudirman, Timor Timur, Salam Dari Desa, Silhuette, Gulagu Lugu Suara Nelayan, Kiara Condong, dan Nyanyian Malam. Hanya mengulang apa yang sudah mereka kerjakan dahulu. Bahkan tidak cermat lagi menyetem gitar dan mengendalikan kontrol suara. Sementara penonton masih menunggu kejutan-kejutan, tiba-tiba mereka keburu mengundurkan diri. Sebuah peluang untuk mengutarakan rakyat lewat lagu rasanya tercecer pula. Sayang. Ingin Kewajaran Setelah 3 tahun berkelana dari kota ke kota, sebenarnya apa yang ingin disampaikan rombongan ini kepada publik? Leo, seperti biasanya, berpikir dahulu baru menjawab. "Saya hanya memberikan catatan yang menyentuh, dari yang saya lihat dan terima, baik selama perjalanan, atau bergaul," katanya sambil menyedot air jeruk panas. Dia agak kurang suka kalau disebut seorang pemotret, atau pelukis keadaan. "Saya tidak menginginkan sikap memberontak. Saya ingin kewajaran saja, supaya orang tidak bersikap pesimis." Sampai sekarang tak kurang dari 30 lagu telah dikarang oleh Leo Iman Sukarno. Ia memiliki rasa cinta pada hidup sehari-hari, semangat patriotis dan rasa sepi yang membuat lagunya yang menghentak-hentak kadangkala tersulap jadi manis. Tetapi kemanisan seorang Leo dipadukan dengan unsur-unsur musik tradisionil, musik gereja atau comotan sana-sini yang membuatnya tidak sempat jatuh ngepop mengikuti selera pasar musik. Di dalam Nyanyian Musim misalnya, cinta yang digarapnya tidak diumbar dengan kata-kata yang banal. Kesederhanaan dan seleksi dapat dipertahankannya dan menjadi cirinya kini. Dalam penampilan malam pertama yang kurang begitu bagus, lagu itu banyak menolong Leo. Rombongan ini memang terasa lebih kuat di panggung daripada di dalam kaset. Apalagi pada malam kedua mereka telah bebas dari letih lalu berhasil membuat pertunjukan yang pantas dicatat. Orang bilang, banyak musisi muda tertolong oleh kondisi sekitar yang timpang. Karena dari keadaan tersebut ia terdorong menulis lagu dan menyanyi -- lihat misalnya Bob Dylan. Leo menyanggah. "Kepincangan tidak selalu menguntungkan. Tanpa kepincangan, pada malam penuh bintang, penciptaan pun dapat berlangsung."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus