Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi pada Selasa, 11 Juni 2024, kunjungan kerja ke Oslo, Norwegia, untuk menghadiri Oslo Forum 2024. Tahun ini Oslo Forum mengangkat tema “mediation against all odds”, atau “mediasi di tengah situasi yang serba sulit.” Menurut Retno, tema ini sangat relevan di tengah meningkatnya konflik dan perang di dunia, antara lain di Gaza dan Ukraina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Oslo Forum adalah forum tahunan yang dilakukan oleh Norwegia, dimana para mediator dan negosiator dari berbagai negara diundang. Tahun ini merupakan keempat kalinya Indonesia diundang ke Oslo Forum, yang didasari pertimbangan peran aktif yang terus dimainkan Indonesia,
baik untuk isu Myanmar, Afghanistan, maupun Palestina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada kesempatan itu, Retno mendapatkan kehormatan untuk berdiskusi dalam satu panggung di bagian utama forum, yaitu di opening plenary, bersama Perdana Menteri Norwegia, Presiden Somalia, dan State Minister dari Qatar. Bagi Retno, kesempatan menjadi pembicara dalam opening plenary merupakan pengakuan terhadap peran Indonesia yang selalu aktif dalam memajukan perdamaian internasional.
Dalam diskusi itu, antara lain Retno menyampaikan tidak semua negara dapat menjadi mediator, tapi semua dapat berkontribusi mewujudkan perdamaian, menciptakan situasi yang kondusif untuk perdamaian. "Jadi diskusinya, saya usulkan untuk diperluas, bukan hanya “mediation against all odds” tetapi “mediation and peace making against all odds,” kata Retno dalam keterangan tertulis.
Jumlah konflik dan perang, bukannya berkurang dari tahun ke tahun, tapi justru bertambah. Tahun lalu misalnya perang di Gaza tidak ada, tapi tahun ini lebih dari 36 ribu orang terbunuh di Gaza. Dan hampir separuhnya adalah anak-anak. Upaya untuk mencapai perdamaian tidak mudah.
Retno menilai terkadang, pihak yang berkonflik tidak ingin atau belum ingin berdamai. Mereka beranggapan jika berdamai berarti menyerah. Oleh karena itu, semua pihak, terutama pihak-pihak yang berkonflik harus diyakinkan untuk meninggalkan pendekatan zero sum game.
Dia memaparkan sifat konflik juga semakin kompleks karena dipengaruhi politik domestik dan rivalitas geopolitik yang membuat situasi semakin rumit. Dengan begitu, konflik biasanya terjadi karena ada perbedaan terhadap suatu isu. Tetapi, makin lama sifatnya menjadi semakin kompleks, karena tidak hanya perbedaan isu tertentu saja, tetapi juga dipengaruhi oleh adanya politik domestik dan juga rivalitas geopolitik.
"Saya juga menekankan pentingnya penghormatan terhadap hukum internasional dalam engagement kita di setiap upaya untuk menyelesaikan konflik. Pentingnya penguatan sistem multilateral untuk menciptakan perdamaian," ujar Retno.
Sistem multilateral saat ini, sambung Retno, sudah tidak mampu menyelesaikan konflik secara efektif. Pasalnya, mediasi selalu memerlukan waktu yang panjang, dan sambil menunggu hasil mediasi, ada banyak hal yang bisa dilakukan, contohnya untuk Palestina yaitu memperlancar bantuan kemanusian, dan mempersiapkan Palestina dalam bernegara, antara lain melalui
pengakuan dan keanggotaan penuh di PBB. Dalam konteks inilah, Indonesia menyampaikan penghargaan kepada Norwegia yang telah mengakui Palestina pada 28 Mei 2024.
Pilihan editor: Menlu Rwanda Kunjungi Indonesia untuk Pertama Kali, Sahkan Kerja Sama dalam Tiga Bidang
Ikuti berita terkini dari Tempo.co di Google News, klik di sini