Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa tahun berselang, orang-orang mulai sadar bahwa Revolusi Mesir 26 Desember 2011 cuma numpang lewat di Lapangan Tahrir, Kairo. Husni Mubarak, tiran yang mengangkangi Mesir dengan korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia selama 30 tahun, tak perlu sibuk datang ke pengadilan: mendengarkan dakwaan; menjawab pertanyaan hakim, pengacara, dan jaksa yang mencecar; sambil meringkuk di sebuah kerangkeng besar.
"Pengadilan memutuskan terdakwa tak bersalah," kata hakim Ahmed Abdel Qawi, Kamis dua pekan lalu. Puluhan pendukungnya berjingkrak-bersorak di ruang sidang pengadilan kasasi yang lembap itu, tapi Mubarak seakan-akan sudah mengetahui putusan yang bakal dibacakan hakim. Mantan presiden yang kini berusia 88 tahun ini matanya tak tampak girang. Ia hanya tersenyum kalem, sama kalemnya dengan para aktivis Revolusi 26 Desember yang apatis dan telah memperkirakan bebasnya Mubarak sejak jauh hari.
Mubarak masuk penjara atas dakwaan korupsi dan tewasnya 850 orang dalam gelombang protes yang akhirnya menenggelamkan rezimnya. Dalam perkembangannya, ia menampik hukuman "seumur hidup" yang dijatuhkan pengadilan pada 2012, naik banding, dan menang--kendati kehidupannya di dalam penjara tak jauh berbeda dengan di luar penjara. Ia tidak meringkuk di bui, melainkan di sebuah flat nyaman yang menghadap Sungai Nil di Rumah Sakit Militer Maadi, Kairo, tempat ia bisa menerima tamu kapan saja, dan setiap pekan selalu ada pendukung setia yang mengantarkan makanan kesayangannya.
Di mata sebagian aktivis, tanda-tanda Mubarak bakal divonis bebas sudah tampak semenjak jaksa membuat dakwaan. Diam-diam mereka percaya pembunuhan itu tidak dirancang atas perintah Husni Mubarak, tapi menurut "pesanan penumpang gelap" yang memiliki agenda sendiri dalam suasana kacau tersebut. "Kemungkinan besar dia tidak memerintahkan pembunuhan siapa pun pada 25 Januari," kata Magda Saber, Wakil Kepala Komisi Media Gerakan Muda Maspero. "Saya pikir dia harus diadili berdasarkan kasus-kasus pembunuhan dan korupsi selama 30 tahun masa kepemimpinannya."
Revolusi Mesir yang mengguncang dunia melalui drama 18 hari di Lapangan Tahrir ternyata telah berputar arah 180 derajat. Sementara Mubarak dan kroni bebas, ribuan orang muda yang pernah mempertaruhkan nyawanya di alun-alun di pusat Kairo enam tahun silam itu kini menghuni penjara-penjara yang sesak dengan tahanan politik--termasuk para anggota gerakan terlarang Al-Ikhwan al-Muslimun, para aktivis, pengacara, wartawan, atau siapa saja yang punya keberanian menantang rezim militer Presiden Abdel Fattah al-Sisi.
Harapan akan Mesir yang demokratis, menghargai perbedaan, kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia, semakin jauh panggang dari api ketika rezim Al-Sisi yang berkuasa semakin jelas melindungi Mubarak dan kawan-kawan dari tangan hukum. Sekarang revolusi hampir tak menyisakan apa-apa bagi para aktivis. Bagaimana dengan masyarakat sipil yang dulu diandalkan sebagai "agen perubahan"? Masyarakat sipil memasuki musim gugur, rontok perlahan, setelah Presiden Muhammad Mursi menjalankan pemerintahan yang eksklusif ketimbang inklusif, menempatkan orang-orang Ikhwan pada posisi kunci--sesuatu yang mengundang perpecahan di antara penentang Mubarak dulu.
Mimpi, nostalgia, mungkin hanya itu yang ditinggalkan revolusi yang pernah membuat rakyat Mesir bangga akan dirinya. Lapangan Tahrir yang hangat dan ramai dengan bendera Mesir dan orang-orang yang meneriakkan tuntutannya hanya sebuah masa lalu yang menyakitkan.
Idrus F. Shahab (The New York Times, Middle East Eyes, The Washington Post)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo