Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Nyanyian Penyingkap Suap Jabatan

Bupati Klaten nonaktif buka-bukaan tentang jual-beli jabatan. Suap pun disebut uang syukuran.

13 Maret 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR tiga bulan mendekam di Rumah Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi, Sri Hartini tak rela terjerat seorang diri. Bupati Klaten nonaktif ini menyatakan siap buka-bukaan kepada penyidik tentang berbagai skandal di wilayah kerjanya. "Saya kayak dijebak," kata Hartini kepada Tempo, Jumat pekan lalu.

Skandal pertama yang disingkap Hartini adalah suap jual-beli jabatan. Hartini membuat laporan tertulis mengenai hal itu kepada pimpinan KPK ketika ia memohon status justice collaborator. Bila permohonan status "pelaku kejahatan yang bekerja sama dengan penegak hukum" itu diterima, Hartini berharap mendapat keringanan hukuman.

Kasus jual-beli jabatan pula yang menyeret Hartini ke balik jeruji. Ia menyandang status tersangka penerima suap sejak akhir Desember tahun lalu. Kala itu, tim KPK menangkap Hartini bersama tujuh orang lainnya. Mereka adalah Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Klaten Bambang Teguh; Kepala Seksi SMP Dinas Pendidikan Klaten Sumarlan; Kepala Bidang Mutasi Badan Kepegawaian Daerah Klaten Slamet; ajudan bupati, Nina Puspitarini; dan pengawal bupati, Sukarno. Dua orang lainnya pegawai swasta, yaitu Ponco Wardhana dan Sunarso.

Ketika menggeledah kamar tidur Hartini, tim KPK menemukan uang Rp 2,08 miliar, US$ 5.700, dan Sin$ 2.035. Uang rupiah ditemukan dalam dua kardus di dekat kamar tidur Sri Hartini. Sedangkan mata uang asing ditemukan dalam dompet Bupati. Penyidik juga menemukan duit Rp 3 miliar di lemari pakaian anak Hartini, Andy Purnomo.

Selain Hartini, penyidik KPK hanya menetapkan Sumarlan sebagai tersangka. Sumarlan diduga menyuap Hartini Rp 65 juta untuk naik jabatan dari kepala seksi menjadi kepala bagian. Adapun keenam orang lainnya dilepas setelah seharian diperiksa.

Rencananya pada malam itu berlangsung pelantikan sekitar 270 pejabat baru untuk berbagai posisi. Hartini mengklaim tak pernah bertemu dengan pegawai yang mendapat promosi jabatan itu. Alasannya, semua proses promosi ia serahkan kepada tim Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat). Badan ini beranggotakan Kepala Badan Kepegawaian Daerah, Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah, Kepala Inspektorat, serta Sekretaris Daerah.

Hartini mengaku pertama kali mengetahui praktek jual-beli jabatan ketika hendak melantik pejabat eselon II pada Agustus tahun lalu. Pejabat yang mendapat promosi itu meminta bertemu untuk menyerahkan "uang syukuran". "Ibu dulu (jadi bupati) itu biayanya besar. Anak-anak mau ngasih syukuran," ujar Hartini menirukan ucapan seorang kepala dinas. Kala itu Hartini mengaku menolak tawaran suap.

Tak tergiur oleh godaan pertama, Hartini mengaku "lengah" pada kesempatan berikutnya. Empat bulan kemudian, pada gelombang promosi jabatan Desember tahun lalu, Hartini tak tahan untuk menolak "uang syukuran". Kali ini Hartini, yang telah lama dipantau penyidik KPK, akhirnya masuk perangkap.

Hartini menerangkan modus jual-beli "kursi" di Pemerintah Kabupaten Klaten. Kepala dinas atau satuan kerja, menurut dia, biasanya bersekongkol dengan tim Badan Kepegawaian Daerah. Setelah terpilih, pejabat yang mendapat promosi biasanya langsung menyetor "uang syukuran" kepada bupati melalui pejabat satuan kerja.

Besar setorannya berbeda-beda. Menurut Hartini, pejabat eselon II yang mendapat tempat "basah" setorannya lebih mahal. Termasuk "tempat basah" antara lain jabatan di dinas pekerjaan umum, badan perencanaan pembangunan daerah, dinas pertanian, dan bagian perizinan atau unit pelayanan terpadu daerah. Mereka yang hendak memimpin instansi itu harus menyetor Rp 500-800 juta.

Jabatan paling mahal, menurut Hartini, adalah posisi sekretaris daerah. Uang maharnya sekitar Rp 1 miliar. Adapun untuk jabatan eselon III, setingkat kepala bagian atau camat, tarifnya Rp 150-200 juta. Sedangkan eselon IV setorannya Rp 75-100 juta.

Di Klaten, karyawan kontrak pun harus menyuap bila mau menjadi pegawai tetap. Pada 2013-2014, Kabupaten Klaten mendapat jatah mengangkat 1.000 pegawai kontrak menjadi pegawai negeri. Tapi akhirnya hanya 750 orang yang dilantik. Sisanya dianggap tak memenuhi syarat. Mereka yang dilantik menjadi pegawai tetap dimintai mahar beragam, dari Rp 60 juta, Rp 80 juta, hingga Rp 100 juta. Pegawai kontrak yang tak jadi diangkat pun tak luput dari pungutan berbungkus "uang pengamanan".

Menurut Hartini, praktek jual-beli jabatan itu telah menjadi tradisi paling tidak sejak sepuluh tahun lalu. Hartini baru menjadi Bupati Klaten sejak awal 2016. Sebelumnya, pada 2010-2015, ia menjabat wakil bupati mendampingi Sunarna. Kala itu Hartini juga mendengar campur tangan Sri Mulyani--istri Sunarna, yang kini menjadi wakil Hartini--yang "menitipkan" beberapa pegawai honorer agar diangkat menjadi pegawai negeri. Padahal orang titipan itu belum memenuhi syarat.

Seorang saksi yang diperiksa penyidik pada sekitar Januari lalu menguatkan cerita Hartini. Ia mengaku pernah didatangi "orang dekat" Sunarna dan Sri Mulyani sekitar April 2016. Menurut si saksi, utusan Sunarna menyampaikan informasi tentang kuota baru pengangkatan pegawai kontrak menjadi pegawai negeri di Klaten. Si utusan juga mengatakan "orang Jakarta" meminta jatah Rp 25-30 juta per calon pegawai. "Dia mengajak Bupati bekerja sama melanjutkan yang dulu," ujar pria yang tak mau disebutkan namanya itu.

Sri Mulyani membantah terlibat jual-beli jabatan. Selama berpasangan dengan Hartini, dia mengklaim tak pernah dilibatkan dalam urusan mutasi atau promosi jabatan. Ihwal pengangkatan pegawai kontrak menjadi pegawai negeri, Mulyani pun mengaku tak tahu-menahu. "Saya enggak mudeng. Dulu saya hanya pendamping," kata Mulyani, yang menjabat pelaksana tugas bupati setelah Hartini ditahan.

Mulyani juga menolak tudingan Hartini bahwa tradisi jual-beli jabatan sudah mengakar sejak suaminya menjabat bupati. "Tradisi? Kayak mau nikahan saja," ucap Mulyani seraya menantang Hartini membuktikan tuduhannya. "Saya emosional. Saya tidak mau difitnah."

Bekas Kepala BKD Klaten Edi Hartanto, yang namanya disebut-sebut Hartini, enggan berkomentar. Ketika dihubungi, Edi mengaku sedang sibuk rapat. "Tolong, ke Pak Sekda saja," kata Edi, yang kini menjabat asisten II bupati merangkap pelaksana tugas Sekretaris Dewan Perwakilan Daerah. Adapun Sekretaris Daerah Klaten Joko Sawaldi menutup mulut rapat-rapat. "Saya tidak tahu," ujar Joko, yang dilantik tiga pekan sebelum masa jabatan Sunarna berakhir.

Toh, laporan jual-beli jabatan di Klaten sebelum era Hartini sudah sampai ke meja pimpinan KPK. "Pejabat sebelum dia lebih sadistis," tutur Ketua KPK Agus Rahardjo. Namun Agus menolak menjelaskan perkembangan pengusutan praktek kotor tersebut.

Juru bicara KPK, Febri Diansyah, membenarkan bahwa Hartini telah mengajukan diri sebagai justice collaborator. Agar permohonannya dipertimbangkan, kata Febri, Hartini harus mengakui semua perbuatannya dan membuka seluas-luasnya indikasi kejahatan yang dilakukan pelaku lain. "Kami masih mencermati keterangan yang bersangkutan," ujar Febri.

Linda Trianita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus