Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Membidik Penista Agama Lagi

Seorang jaksa mendakwa pembakar Al-Quran dengan pasal penistaan agama. Ujian kebebasan berpendapat di Denmark.

13 Maret 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Identitas pria 42 tahun itu tak disebutkan dengan jelas. Tapi "dosa" yang dia lakukan berpeluang membawanya ke kursi terdakwa di pengadilan: membakar kitab suci umat Islam, Al-Quran, di halaman rumahnya dan kemudian, pada akhir Desember 2015, meng­unggah rekaman video tindakannya itu ke akun Facebook sebuah kelompok bernama "Ya, untuk Kebebasan--Tidak untuk Islam".

Di pengadilan, pria yang menyebut diri John Salvesen itu bisa jadi bakal tak menemui nasib sebagaimana pelaku perbuatan serupa di masa-masa sebelumnya di negara yang sebetulnya tak tergolong religius tersebut. Alih-alih cukup didakwa dengan pasal mengenai ujaran kebencian yang sebetulnya dipakai tahun lalu, dia belakangan dikenai pasal penistaan agama.

Keputusan untuk mengubah dakwaan diumumkan melalui siaran pers yang ditandatangani jaksa penuntut, Jan Reckendorff. Alasannya, seperti disebutkan dalam siaran pers itu, apa yang dilakukan Salvesen "bisa menjadi pelanggaran terhadap bagian tentang penistaan agama dalam Undang-Undang Pidana, yang meliputi olok-olok atau penghinaan yang merujuk pada agama".

Dalam laporannya, The Local, situs berita berbahasa Inggris di Denmark, menyebutkan dakwaan penistaan agama itu merupakan kasus pertama sejak 1971--atau yang keempat dalam sejarah berlakunya pasal tersebut di Denmark. Sebelumnya, dengan dakwaan serupa, empat orang dijatuhi hukuman karena memasang poster olok-olok terhadap warga Yahudi pada 1938 dan dua orang didenda karena melakukan upacara baptis palsu di suatu pesta topeng pada 1946. Dua kepala program di Danish Radio, yang menyiarkan lagu ejekan terhadap agama Kristen, dibebaskan tapi kehilangan jabatan pada 1971.

Keputusan jaksa wilayah di Viborg itu mengejutkan banyak orang Denmark. Tak sedikit yang mengecamnya. Di Denmark, bagaimanapun, ada tradisi kebebasan berpendapat yang telah berlangsung lama; membakar bendera saja bukanlah kejahatan yang bisa dihukum. Tapi ketegangan antara kebebasan berpendapat dan sensitivitas keagamaan memang menguat, terutama sejak 2005, ketika Jyllands-Posten, salah satu koran terbesar di negara itu, menerbitkan kartun Nabi Muhammad, yang memicu amarah muslim bahkan di seluruh dunia.

Membela kliennya, pengacara Salvesen, Rasmus Paludan, mengatakan Al­Quran mengandung ayat tentang bagaimana pengikut Nabi Muhammad harus membunuh kaum kafir, yaitu orang Denmark. Karena itu, dia berpendapat, membakar buku yang sedemikian rupa menyerukan perang dan kekerasan, seperti dilakukan Salvesen, "merupakan tindakan bela diri".

Paludan juga menyebutkan kejadian pada 1997, ketika seorang seniman membakar Alkitab dalam siaran langsung di televisi pemerintah tapi tak menghadapi tuntutan apa pun. Dia menduga dakwaan terhadap kliennya berkaitan dengan semakin besarnya rasa cemas terhadap Islam dan muslim. Jaksa, menurut dia, "mungkin lebih takut terhadap Islam dan pemeluknya".

Bagaimanapun kejadian yang sebenarnya, Jacob Mchangama, pengacara pendiri Justitia--kelompok yang memonitor kebebasan berpendapat di seluruh Eropa--menyebut dakwaan itu kemunduran besar bagi negaranya. Dibanding masa ketika pihak berwajib memilih tak mendakwa pembakar kitab suci umat Kristen, kini dia melihat ada semacam "veto jihadis" terhadap tindakan pencemaran terhadap Islam dan simbolnya.

Dakwaan terhadap Salvesen masih harus memperoleh persetujuan Jaksa Agung. Jika lampu hijau diberikan, Salvesen mesti menjalani persidangan pada Juni nanti. Apabila terbukti bersalah, dia diancam hukum empat bulan penjara atau membayar denda.

Oleh mereka yang pro-dakwaan, putus­an hakim itu justru dianggap penting dalam melihat apakah pasal penistaan agama--yang masih ada di lima negara Uni Eropa--tetap relevan atau tidak. Dalam kata-kata jaksa Reckendorff, keadaan dari kasus itu "sedemikian rupa sehingga terhadap masalahnya harus dibuat dakwaan agar pengadilan dapat menimbang kasusnya". Jika hakim menggugurkan dakwaan atau membebaskan terdakwa, pasal penistaan itu bakal menjadi aturan yang mati. Kalau sebaliknya yang terjadi, para pembuat undang-undang semestinya malu bila berupaya mengubah hukum yang berlaku.

Masalahnya, bagi Mchangama dan mereka yang percaya pada demokrasi, pasal penistaan agama yang sudah usang terbukti menimbulkan penderitaan di mana-mana. Dengan menggunakannya, negara seperti Denmark dinilai hanya akan mengirimkan sinyal yang buruk.

Purwanto Setiadi (CNN, The Economist, The Local, The New York Times)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus