JAZIRAH India dan negeri di seberangnya, Sri Lanka, sama-sama mencatat konflik berdarah belakangan ini. Lebih dari 150 orang tewas dalam beberapa bentrokan yang tercetus setelah sumber pertikaian itu meredam bertahun-tahun. Yang merisaukan, agaknya, tak kunjung padamnya permusuhan antara golongan Islam, Hindu, dan Budha di kawasan itu. Perbedaan agama yang disertai perbedaan kehidupan ekonomi di tengah 450.000 warga Bhiwandi - kota industri 48 kilometer di utara Bombay - Kamis pekan silam telah menyulut kerusuhan. Pernyataan pimpinan organisasi militan Hindu, Shiv Sena, muncul di surat kabar dengan nada mendiskreditkan kaum Muslim yang merupakan 60% penduduk Kota Bhiwandi. Para pemeluk Islam ini marah serta menurunkan bendera Hindu, untuk diganti dengan bendera hijau, panji mereka sendiri. Bentrokan pun pecah, kemudian menjalar ke Thana dan Bombay. Hingga Minggu lalu di Bombay tercatat 20 orang tewas dan 59 lagi di sekitar Bhiwandi. Di antara para korban terdapat satu buruh keluarga Muslim, tinggal dalam satu rumah, yang dibakar hidup-hidup oleh perusuh Hindu. Kelompok Muslim ini pada umumnya bekerja sebagai buruh pabrik tekstil. Dan golongan Hindu adalah kelompok pengusaha. Laporan polisi mengatakan 6.000 penduduk harus mengungsi akibat kerusuhan yang melanda tiga kota itu. Peristiwa ini adalah kejadian terburuk sejak bentrokan serupa pecah tahun 1970 silam. Waktu itu, laporan resmi menyebutkan, 200 orang meninggal dunia. Tapi sumber tak resmi menduga, jumlah korban mencapai 500 orang. Buat mengatasi kerusuhan yang berjalan empat hari pekan silam itu, polisi India diperintahkan menembak siapa saja yang mengobarkan kekacauan. Bentrokan di pantai barat India itu meletus setelah tetangganya, Sri Lanka, diguncang peristiwa serupa beberapa minggu lalu. Di sana 75 orang lagi tewas. Latar belakang kemelut ialah keinginan orang Tamil buat memperoleh otonomi di provinsi utara Sri Lanka yang mereka diami, serta pertikaian Hindu dengan kaum Budha. Presiden J. Jayewardene, yang pernah menjanjikan amendemen konstitusional untuk itu, tak menepati janjinya setelah berhadapan dengan pihak yang tak setuju. Perundingan terus dilakukan. Tapi orang Tamil di Jaffna, ibu kota provinsi itu, mengobarkan kerusuhan menyerbu kuil Budha dan sekolah Sinhalese, yang membangkitkan setimen keagamaan. Mereka dihadapi 3 000 anggota pasukan bersenjata. Kerusuhan macam ini pernah terjadi Juli 1983, yang menewaskan 400 orang. Kelompok Tamil beragama Hindu - jumlahnya 18% dari 15 juta penduduk Sri Lanka - yang disebut pemerintah Kolombo sebagai teroris, memperoleh sokongan dari masyarakat Tamil Nadu, di pantai timur India. Keduanya dipisahkan Selat Palk yang lebarnya cuma 54 kilometer. Konon, 11.000 Tamil pelarian dari Sri Lanka kini menetap di pantai timur India itu, dan ini juga jadi masalah dalam hubungan Kolombo-New Delhi. Sementara pemecahan politik tak kunjung tercapai, kelompok Tamil yang menamakan dirinya Front Pembebasan Rakyat Revolusioner menculik suami istri berkebangsaan Amerika, Stanley dan Mary Allen, selama lima hari dekatJaffna. Kedua orang itu dituduh jadi agen CIA. Tapi kemudian dilepaskan, dan kelompo'k teroris yang pada mulanya menuntut tebusan (2 juta dolar dalam bentuk emas dan pembebasan 20 kawannya dari penjara Kolombo) membatalkan tuntutannya. Pembebasan itu terjadi konon atas seruan PM India, Ny. Indira Gandhi. Daftar kericuhan berdarah kian panjang di India ketika golongan Sikh di Punjab membuat kerusuhan lain. Di kota Jullundur, Amritsar, dan Patiala pertengahan bulan ini diberlakukan jam malam, setelah empat orang Sikh menembak mati Ramesh Chander, 58, pemeluk Hindu. Dia seorang redaktur surat kabar yang baru saja menulis bahwa negara bagian Punjab bakal menjadi rumah jagal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini