SEKEMBALI dari safari ke Kuwait, Arab Saudi, Irak Qatar dan
Iran, Ketua OPEC Dr Mohammad Sadli merasa khawatir "OPEC akan
hancur dari dalam". Berbicara depan Komisi VI DPR pertengahan
bulan ini, Menteri Pertambangan Sadli beranggapan negara-negara
minyak itu kini tengah berlomba mempersenjatai diri, di samping
belum adanya kesepakatan tentang kebijaksanaan harga baru dan
diferensial harga berdasarkan formula Aljazair (TEMPO, 28
Agustus). Beberapa waktu lalu memang terjadi barter minyak
dengan senjata dengan harga tinggi antara pemerintah AS maskapai
Shell dengan Iran meliputi transaksi AS$ 650 juta. Sementara
Arab Saudi yang dipimpin Menteri Minyaknya Sheikh Zaki Yamani
masih saja ngotot ingin menekan produksi dan mempertahankan
harga. Berbicara liwat Radio Saudi, Yamani juga menyatakan
"desas-desus tentang kenaikan harga minyak itu samasekali tak
berdasar". Dia juga keberatan dilaksanakannya pertemuan istimewa
tingkat Menteri sebelum sidang OPEC di Daha ibukota Qatar
pertengahan Desember nanti. Sesuai dengan komunike sidang OPEC
di Bali akhir Mei lalu, sebagian besar anggota mempertimbangkan
perlunya pertemuan khusus itu.
Sikap ngotot Saudi dipertegas oleh Menteri Perdagangan Arab
Saudi Dr Suleiman Abdul Aziz as-Salayem dalam kunjungannya ke
Taipeh, ibukota Taiwan 14 September lalu. "Saya tak melihat akan
terjadi kenaikan harga dalam tahun ini", kata Sulaiman. "Arab
Saudi lebih menyukai berlakunya tingkat harga yang moderat
hingga tak mempengaruhi inflasi dunia". Pendek kata, posisi Arab
Saudi --yang tentunya didukung oleh sahabat karibnya Emirat Abu
Dhabi -- tak berubah sejak konperensi di Bali. Hanya, seperti
kata Menteri Sulaiman, negerinya mempertimbangkan adanya
kenaikan harga tahun depan, "tergantung dari kedudukan para
anggota OPEC lainnya".
Tapi dari Caracas Menteri Pertambangan Dr Valentin Hernandez
akan memperjuangkan kenaikan harga pada pertemuan di Daha. "Kita
perlu mencapai persetujuan untuk menyesuaikan nilai ekspor
minyak di tahun 1977", kata Hernandez pertengahan September
lalu. Produksi Venezuela saat ini adalah sekitar 2,2 juta barrel
sehari dan sekitar juta barrel diekspor ke luar negeri,
terutama ke Pantai Barat AS.
Senada dengan Valentin Hernandez adalah Dr Moh. Nassier, pejabat
tinggi Departemen Perekonomian Kuwait, yang menilai "perlunya
harga dinaikkan untuk mengimbangi tingkat inflasi dunia yang
masih tinggi". Menurut Nassier perbedaan harga ekspor yang kini
terjadi, bisa menimbulkan persaingan yang saling memukul di
antara anggota OPEC, terutama ekspor yang ke Jepang dan Eropa
Barat. "Persaingan seperti itu sangat merugikan ekspor minyak
mentah jenis berat dari Kuwait". Seperti diketahui, minyak
mentah berat (heavy crude) -- yang tak semudah menjual minyak
jenis ringan seperti dimiliki Saudi -- juga banyak terdapat di
Venezuela dan Irak.
Maka kalau sebelum Desember para anggota Komisi Ekonomi OPEC
belum juga berhasil mencapai persesuaian dalam menggodok formula
Aljazair bisa dibayangkan perdebatan di Daha nanti akan sepahit
yang terjadi di Bali. Terutama antara blok Irak yang antara lain
didukung Libia dengan kelompok Saudi yang didukung Abu Dhabi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini