Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Sang Jenderal Kehilangan Arah

Pemerintah baru Thailand di bawah PM Surayud Chulanont belum berhasil merumuskan arah kebijakan ekonominya. Di wilayah selatan aksi kekerasan masih berlanjut.

26 Februari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia pakar ekonomi terkemuka, dan Rabu pekan lalu ia mengambil keputusan penting: mundur dari kabinet PM Surayud Chulanont. Ya, Surayud kehilangan penasihat ekonominya yang piawai, Somkid Jatusripitak, setelah politik menggusur orang kepercayaannya.

Aliansi Rakyat untuk Demokrasi (PAD) menolak pengangkatan Somkid karena masa lalunya. Di masa Thaksin berkuasa, Somkid menjabat Menteri Keuangan. PAD menentang keras pemerintahan Thaksin hingga kudeta tak berdarah terjadi Desember 2006. Keputusan Surayud mengangkat Somkid dianggap mencederai perjuangan PAD yang punya andil menjatuhkan Thaksin. PAD menilai kebijakan ekonomi di masa Thaksin berlumur korupsi. Somkid dinilai turut menyumbang bobroknya perekonomian Thailand di masa itu.

Hingga pekan lalu, Surayud tak berkomentar. Kepada pers ia menjelaskan, setiap langkah yang diambil telah mendapat masukan dari semua kelompok politisi dan penekan. Dia harus mencermatinya karena pemerintahannya tidak memiliki basis dukungan dari partai politik.

Praktis sejak junta militer mengambil alih kekuasaan, belum ada kebijakan baru di bidang ekonomi yang dirumuskan. Para investor bingung atas ketidakjelasan arah kebijakan ekonomi Thailand. ”Pemerintah sepertinya belum mengerjakan pekerjaan rumahnya secara tepat,” kritik Thitinan Pongsudhirak, pakar ilmu politik Universitas Chulalongkorn.

Masih merupakan tanda tanya apakah kebijakan ekonomi di bawah junta militer itu akan menempuh jalan Indonesia, Filipina, Vietnam, atau Cina yang membuka pintu lebar-lebar bagi masuknya investor. Pekerjaan rumah lain yang tak kalah pentingnya adalah soal penyelesaian penjualan Shin Corp., perusahaan raksasa telekomunikasi milik keluarga Thaksin, ke Temasek, perusahaan milik pemerintah Singapura senilai US$ 1,9 miliar. Penjualan ini diduga sarat korupsi.

Sementara kehilangan arah dalam hal kebijakan ekonomi, pemerintah Thailand juga belum sanggup meredam konflik di selatan Thailand. Terpilihnya Jenderal Sonthi Boonyaratkalin yang beragama Islam sebagai Kepala Staf Angkatan Darat tak mampu merebut simpati masyarakat muslim di Provinsi Pattani, Yala, dan Narathiwat. Justru aksi pengeboman terus menghantam tiga provinsi itu tiga tahun terakhir.

”Kami bingung kenapa pemerintah tak mampu mengatasi pengeboman,” ujar Direktur Pesantren Lukman Hakim, Abdul Hafidz, kepada Tempo, Rabu Pekan lalu. ”Yang terjadi, kami tidak percaya pada pemerintah dan pemerintah tidak mempercayai kami.”

Bom yang meledak pada hari raya Imlek, Minggu, 18 Februari, menunjukkan tiadanya rasa saling percaya. Polisi menangkap tiga pria yang diduga sebagai pelaku pengeboman. Ketiganya, kata Komandan Angkatan Bersenjata Thailand di wilayah selatan, Letnan Jenderal Viroj Buajaroon, mengaku lebih dulu mendapat pelatihan dari Runda Kumpulan Kecil, organisasi jaringan teroris Jemaah Islamiyah yang berbasis di Indonesia.

Seminggu sebelum pengeboman, kelompok pemberontak yang menyebut dirinya Ratfah Yohnee Fighters menyebarkan selebaran berisi larangan bagi muslim Thai untuk membeli atau menyewa produk masyarakat Buddha Thai, termasuk tidak bekerja di perusahaan mereka.

Puncaknya, Rabu pekan lalu, kelompok pemberontak tanpa menyebutkan identitas membakar pabrik pengolahan karet di Yala. Perusahaan terbesar di selatan Thailand itu milik pengusaha Buddha Thai. Untuk kasus ini, polisi belum menangkap pelakunya.

Kepada Tempo, Hafidz menyesalkan pemerintah yang tak mau melibatkan masyarakat muslim Thai dalam penyelesaian aksi-aksi kekerasan di selatan Thailand. Hasilnya hanya stigma bahwa muslim Thai adalah dalang aksi-aksi kekerasan. Alhasil, penolakan terhadap pemerintahan junta militer semakin menguat di selatan Thailand.

Di tengah carut-marut ini, Jenderal Surayud makin sulit ditebak arah langkah-langkahnya.

Maria Rita (The Economist, Bangkok Post, BBC, Reuters)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus