Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Dari 34 Hari yang Panjang

Kehancuran akibat perang Hizbullah versus Israel tersebar di Beirut dan selatan Libanon. Inilah cerita negeri yang dikoyak konflik sektarian.

26 Februari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang anggota Hizbullah bernama Haji Abu Ali meminta saya menunggu di depan kantor Dewan Tertinggi Syiah di kawasan Harit Thariq, Beirut. Pukul satu siang. Sepuluh menit berselang, muncul seorang pemuda berpakaian serba hitam dengan skuter. Dia menoleh dan bertanya: ”Indonesia?” Dalam sekejap kami sudah bergerak beriringan: dia memandu di depan, saya mengikutinya.

Perjalanan cuma makan waktu lima menit. Di sebuah bangunan pemukiman, setelah lewat gang sempit yang hanya cukup satu mobil, kami berhenti. Tampak sebuah Mercedes hijau diparkir, mungkin milik Muhammad Ra’ad, salah satu pendiri Hizbullah yang akan saya wawancarai.

Kami mendaki anak tangga menuju lantai empat yang mengantar kami ke sebuah ruangan. Empat anggota Hizbullah tampak di sana. Tak lama, setelah menunggu 15 menit, saya pun melihat sosok yang bernama Ra’ad itu.

Menemui tokoh Hizbullah kadang bukan hal mudah. Sehari sebelumnya, saya mengunjungi kawasan yang sama, Harit Thariq, ke markas Hizbullah. Seseorang yang mengaku bernama Adnan Husaini datang menjemput. Kami berhenti di sebuah bangunan yang sedang diperbaiki. Lalu menuju ke lantai empat. Urusan saya ketika itu: mendaftar untuk mewawancarai Hasan Nasrallah. Setelah mengisi formulir, Wafa Hutait, petugas pendaftaran, memindai paspor dan kartu pers saya.

Kondisi politik yang tak menentu membuat Ra’ad dan elite politik lain membatasi diri tampil di muka umum. Rafiq Hariri, mantan Perdana Menteri Libanon, sebagai misal, tewas akibat bom mobil pada 14 Februari 2005. Sejak itu, ada lima contoh lain yang nasibnya sama, termasuk dua wartawan dan Menteri Perindustrian Pierre Gamayel.

Libanon kontemporer adalah negeri yang mustahil melupakan kekerasan. Lima belas tahun perang saudara, 1975–1990, menewaskan 100 ribu orang, 14 juta lainnya eksodus ke luar negeri. Juga, lima pembantaian besar, termasuk dua serangan Israel di kamp Sabra dan Shatila. Semua terekam dalam memori. Di Beirut sendiri, terutama di perbatasan Islam-Kristen, puing-puing, sisa-sisa bangunan rusak, selalu mengingatkan orang akan perang jahanam. Di sebuah lapangan terbuka di sisi jalan menuju kantor Kementerian Luar Negeri, tampak sejumlah bangkai bus.

Pengalaman terakhir tak kurang pahitnya: perang Hizbullah versus Israel, 12 Juli-14 Agustus 2006. Dua ribu warga sipil tewas dan Libanon merugi US$ 11,4 miliar (Rp 10,26 triliun)—sektor pariwisata yang menjadi andalan devisa ambruk seketika. Perang menggantikan musim turis (Mei-September).

Wilayah Libanon Selatan sebagai basis Hizbullah menderita kerusakan parah. Jalan tol yang menghubungkan Beirut dengan daerah selatan sulit dilalui. Jembatan dan bangunan-bangunan yang rusak masih tampak di kota Tyre, Nabatiyah, dan Qana. Di Qana yang bisa ditempuh dalam dua jam bermobil dari Beirut, perang Hizbullah-Israel membekaskan luka sangat dalam.

Di kota itulah Israel membantai warga sipil. Sebelumnya, pada 19 April 1996, 107 orang dan hampir 50 staf PBB menjadi korban. Serangan udara kali ini menewaskan 29 warga, termasuk 24 anak-anak. Para korban beragam, dari bayi 9 bulan sampai orang tua berusia 75 tahun. Mereka berasal dari dua keluarga besar: 11 orang dari keluarga Mahmud Ibrahim Hasyim, sisanya dari keluarga Hasan Husain Salhub.

Sana binti Ahmad Mahmud Salhub tak bisa lupa kejadiannya: pengeboman mulai berlangsung sekitar pukul satu dini hari, 30 Juli 2006. Kakeknya, Mahmud Salhub, menyuruh Sana dan dua saudaranya tetap berada di rumah dan melarang mereka mengungsi ke tempat lain. Sana ingat, mereka bertiga tak bisa tidur semalaman. ”Dalam semalam, terdengar enam bunyi ledakan,” kata Jamil Salami, tetangganya, 40 tahun.

Kejadian keesokan harinya membuat dia tidak bisa bernapas. Sana mendapati orang tua, kakek, dan saudara-saudaranya meninggal di bawah reruntuhan bangunan. Semua korban baru bisa dikuburkan dua minggu kemudian, 17 Agustus, setelah terjadi gencatan senjata.

Untuk mengobati kangen, Sana hanya bisa menatap foto keluarga yang tergantung di ruang tamu rumahnya. ”Kalau saya bertemu orang Israel, saya akan memotongnya kecil-kecil, perlahan-lahan,” kata gadis 14 tahun itu kepada Tempo, di rumah keluarganya yang menghadap ke lembah penuh pohon zaitun. Suaranya datar, sorot matanya penuh dendam.

Di Beirut sendiri, kerusakan paling parah terlihat di Harit Thariq, kawasan permukiman kelompok Syiah-Hizbullah. Sedikitnya, ada lima tanah kosong, tempat mereka menumpuk reruntuhan bangunan.

Perang telah usai, tapi Beirut belum lagi pulih. Dan sejauh ini, kota itu menunggu perbaikan besar-besaran. ”Masih terjadi tarik ulur antara Hizbullah dan pemerintah soal siapa yang harus membiayai,” kata Muhammad Zainal Aziz, staf lokal KBRI Beirut.

Tidak gampang bagi orang asing untuk memotret bangunan yang rusak. Seorang pemuda penjaga toko menggerakkan tangannya, melarang saya. Dia menggunakan bahasa tubuh, mengancam bahwa kamera saya akan dirampas dan diinjak-injak. ”Kita juga tidak boleh memotret tentara Hizbullah,” Aziz mengingatkan. Saya pun menjepret dari dalam mobil.

Suasana kadang terasa mencekam. Mereka mencurigai warga asing yang mencoba mendekati tokoh-tokoh Hizbullah. Ini terjadi ketika pada suatu malam saya mengunjungi toko milik Abdullah yang menjual pelbagai pernik Hizbullah dan Syiah. Mulai dari poster berbingkai, kaus, hingga gantungan kunci bergambar Hasan Nasrallah.

Sejumlah orang bolak-balik di depan toko seraya memandang curiga ke arah saya yang sedang melihat-lihat barang. Yang membuat khawatir, ada dua pemuda menenteng senapan otomatis memandangi saya. ”Dia (Abdullah) salah satu pentolan Hizbullah di daerah ini,” kata Muhammad Arkan, warga Indonesia yang tinggal di daerah Hizbullah. Anak-anak muda itu baru pergi setelah seorang kakek berpakaian dan kopiah putih membubarkan mereka.

Di negeri itu, senjata bebas beredar di mana-mana. Pada suatu siang, saya berpapasan dengan seorang pemuda yang dengan santainya menyeret senapan di tepi jalanan ramai. Malam sebelumnya, saya menemui seorang warga bernama Hasan di tempat bercukur; dia juga membawa pistol yang menyembul dari balik jaket hitamnya.

Saya juga menyaksikan senjata dijual bebas di toko milik Ahmad, warga Syiah. Sebelumnya, ia memiliki pabrik pembuatan peluru di Libanon Selatan, pabrik yang hancur dibom Israel, Juli tahun lalu.

Libanon negeri yang terbelah-belah. Rakyat Libanon membagi wilayahnya berdasarkan agama dan sekte, terutama setelah perang saudara. Di negeri itu ada 17 aliran agama dengan pelbagai sekte: 5 Islam (Syiah, Sunni Druze, Ismaili, Alawi); 11 Kristen (4 Ortodoks-Armenia, Yunani, Suriah, Nestoria-Assyiria; 6 Katolik-Armenia, Suriah, Kaldea, Yunani, Romawi, Maronit, dan 1 Protestan) dan Yahudi. Berdasar etnis, penduduk Libanon terdiri atas masyarakat Arab, Armenia, dan Kurdi.

Tiap-tiap wilayah pemukiman punya ciri tertentu. Di kawasan Syiah-Hizbullah banyak dijumpai poster besar Sayyid Hasan Nasrallah, Abbas al-Musawi, atau Musa Sadr. Di daerah Syiah-Amal, poster para imam Syiah itu selalu berdampingan dengan Nabih Berri, Ketua Partai Gerakan Amal sekaligus ketua parlemen. Gambar Perdana Menteri Fuad Siniora mendominasi daerah Sunni.

Polarisasi rakyat Libanon kembali muncul sejak pemilu Juni 2005. Kelompok mayoritas baru, koalisi Islam Sunni-Druze-Kristen yang didominasi kelompok pro-Hariri tidak cukup kuat mengendalikan seluruh proses politik di negara itu. Di samping itu, masih ada dua kelompok yang sangat menentukan perimbangan politik, yakni mayoritas Kristen yang dipimpin pensiunan Jenderal Michael Aoun (memperoleh tiga perempat suara Kristen) yang menganggap dirinya di pihak oposisi, dan blok Syiah, gabungan antara Gerakan Amal (Nabih Berri) dan Hizbullah (Hasan Nasrallah).

Kedua kelompok ini cukup kompak dalam menanggapi isu-isu strategis, seperti dukungan terhadap Presiden Emil Lahud dan perlucutan paramiliter Libanon (baca: Hizbullah). Terakhir, terkait Perang 34 hari barusan, koalisi Aoun, Nasrallah, dan Berri menuding pemerintah sebagai tidak proaktif mengatasi kerugian akibat perang itu. Lima menteri Syiah dan tiga menteri dari kubu Aoun mundur. Tidak puas sampai di situ, kelompok oposisi mengadakan demonstrasi besar-besaran yang melibatkan satu juta orang di Lapangan Martir, pusat Kota Beirut, sejak 8 Maret 2006. Enam hari berselang, giliran kubu pemerintah melakukan aksi serupa.

Situasi yang memanas memaksa tentara pemerintah membuat pos pemeriksaan di perbatasan Sunni-Syiah dan Islam-Kristen. Biasanya ditempatkan satu unit tank dengan lima tentara. Perdana Menteri Siniora tidak ingin mengambil risiko kembali meletusnya perang saudara.

Perang yang sering melanda Libanon telah membuat sebagian rakyatnya bosan. ”Saya muak dengan perang. Saya ingin hidup tenang dan damai,” kata Ali Jabir, warga Syiah di Beirut. Keinginan Ali dan sebagian warga Libanon lainnya didukung oleh pemerintah. Mereka membuat papan iklan dalam bahasa Arab dan Inggris yang bertulisan ”Saya Mencintai Hidup”.

l l l

Pesawat Airbus A-320 yang saya tumpangi dari Dubai, Uni Emirat Arab, mendarat di Bandar Udara Internasional Rafiq Hariri, Beirut, Libanon, pukul 09.30, awal Februari lalu. Pengamanan tampak ketat. Sekitar 20 tentara Libanon dalam dua barisan tampak sedang menerima instruksi dari sang komandan.

Di bagian imigrasi, petugas memeriksa dengan saksama paspor warga asing. Seorang petugas membuka lembar demi lembar yang sudah terisi dan memandangi saya selama kira-kira lima menit. ”Ahlan wa sahlan fi Lubnan (selamat datang di Libanon),” katanya. Saya pun bernapas lega.

Meski masih banyak bangunan yang rusak akibat perang, Beirut punya pemandangan yang menyejukkan. Perempuan-perempuan cantik berambut pirang. Mereka sangat mengikuti mode. ”Makanan dan iklim kami berbeda dengan negara Arab lainnya,” ujar Habib Karout, warga Kristen Beirut.

Selain gadis cantik, Beirut juga dipenuhi mobil-mobil mewah seperti Mercedes, BMW, dan Range Rover. ”Karena harganya murah, rata-rata tiap keluarga punya lebih dari satu mobil,” kata Habib. Di jalan raya, mereka biasa memacu mobil seperti dikejar setan. Mereka sering memutar sembarangan, saling mendahului di perempatan. ”Mungkin mereka sudah terbiasa berkejaran dengan bom,” gumam saya, berkelakar.

Faisal Assegaf (Beirut)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus