Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DENG Xiaoping benar. Kalau menguntungkan, apa salahnya ekonomi kapitalis pun dikembangkan di Cina. Lihatlah, laju pertumbuhan ekonomi Cina kini mencapai angka 7%, dan cadangan devisanya berjumlah US$ 30 milyar. Baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan kemakmuran mulai terasa dalam kehidupan seharihari. Tahun 1980 setiap harinya hanya terjual 6.000 mesin cuci, sedangkan tahun 1989 tak kurang dari 34.000 unit terjual di negeri berpenduduk lebih dari 1 milyar orang itu. Tahun 1980 hanya sekitar 10.000 pesawat televisi terjual per hari. Angka itu menjadi 60.000 pada tahun 1989. Kecenderungan itu bermuara pada satu sumber: reformasi ekonomi. Sejak akhir 1970- an di bawah panji pembaruan pemerintah memperbolehkan sektor swasta turut ambil bagian dalam kegiatan ekonomi. Tak sampai tiga tahun, sekitar 60% dari kegiatan ekonomi sudah di tangan swasta. Selain itu, dinyatakannya Cina sebagai negara terbuka mendatangkan para investor asing dengan nilai investasi sekitar US$ 10 milyar. Untuk memberi tempat kepada para investor itu, dibangun lima zone ekonomi khusus di selatan. Pada akhir peninjauannya yang berlangsung selama dua pekan di Cina Selatan barubaru ini (lihat Isyarat buat Reformis) Deng Xiaoping mengatakan di Shanghai bahwa tak lama lagi akan dibentuk beberapa wilayah yang menyerupai Hong Kong, juga di selatan. Semua kebijaksanaan yang berbau kapitalis itu dijalankan di bawah semboyan "satu negara dua sistem." Tapi, tak ada sesuatu di dunia ini menggelinding dengan sempurna, juga di Cina. Bersamaan dengan berkembangnya bunga kapitalisme, "penyakit" kapitalisme pun muncul. Misalnya, terjadinya kesenjangan kemakmuran antara daerahdaerah yang terkena reformasi dan yang belum tersentuh oleh reformasi. Akibatnya, "ekonomi ganda" yang terjadi di Cina pada abad ke19 kini terulang. Pada abad ke-19 provinsi-provinsi selatan yang banyak bersentuhan dengan ekonomi Barat jauh lebih maju dan modern ketimbang yang di utara atau pedalaman Cina. Kesenjangan selatanutara ini sekarang muncul kembali. Dalam skala mikro, ketimpangan itu juga terlihat. Mereka yang beruntung bisa terjun ke dalam usaha swasta jelas menjadi kelas baru. Sedangkan orang yang tak mendapat bagian kue reformasi tetap saja payah. Padahal, masyarakat Cina seharusnya bersifat sosialistis, yang secara prinsip tak menerima adanya pengkelasan masyarakat. Bila konflik belum terjadi, mungkin hanya soal waktu. Gejala lain adalah munculnya ekonomi biaya tinggi. Di Beijing dan kota-kota besar lain, sewa rumah per bulan untuk keluarga kebanyakan hanyalah sekitar 1% dari penghasilannya per bulan. Sekarang, dengan adanya pembebasan harga, sewa tersebut sama dengan harga yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan sebuah pesta. Kongkretnya, sewa sebuah apartemen milik pemerintah dengan satu kamar naik 30 kali, atau 200 sampai 300 yuan (Rp 74.000wRp 99.000). Padahal, gaji hanya naik sekitar tiga kali dari gaji sebelum reformasi. Apa kata kaum reformis tentang ini ? Mereka selalu mengatakan, kesenjangan itu merupakan gejala sementara. Deng sendiri pernah mengatakan, memberi kemakmuran kepada sebagian orang untuk kemudian memakmurkan semua orang secara ideologis adalah benar. Menurut cetak biru perekonomian Cina, tahun 2050 nanti negeri ini akan menjadi negara modern yang makmur, menyamai negara-negara maju. Bedanya, kalau di negara maju tetap ada kemiskinan, janji Cina kemakmuran itu sama tinggi. Bila memang benar, saat itu Cina tentulah bukan negara komunis lagi. ADN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo