Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERDANA Menteri Hungaria Viktor Orbán menyambut kursi kepresidenan Dewan Uni Eropa, yang akan dipegang Hungaria selama Juli-Desember 2024, dengan satu seruan. “Semua orang senang bahwa sekarang giliran kita untuk membuat Eropa hebat lagi!” tulis Orbán di platform X pada Senin, 1 Juli 2024. Hungaria juga menetapkan “Membuat Eropa Hebat Lagi” sebagai slogan resmi Dewan Uni Eropa selama di bawah kepemimpinan negeri itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Viktor Orbán adalah pemimpin Fidesz-Aliansi Sipil Hungaria yang berhaluan kanan. Slogan itu sudah berulang kali diserukan Orbán dan partainya sejak 2010. Kini seruan itu merambah ke Uni Eropa, organisasi negara-negara Benua Biru, dan mendapat dukungan dari partai-partai kanan lain, seperti Reli Nasional, partai kanan Prancis pimpinan Marine Le Pen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pandangan politikus sayap kanan, mengembalikan kejayaan Eropa berarti mengedepankan kepentingan “warga asli” Eropa. Partai-partai itu umumnya juga menolak imigran; Islam; serta lesbian, gay, biseksual, dan transgender atau LGBT yang dianggap telah mengikis tradisi Eropa yang berakar pada Kristen. Mereka juga menentang upaya mitigasi perubahan iklim dan lingkungan. “Saya sungguh merasa menjadi orang asing di negeri sendiri. Saya telah mengalami islamisasi di lingkungan hidup saya,” kata Jordan Bardella, bintang muda partai Reli Nasional, seperti dikutip Al Jazeera.
Hal ini bersamaan dengan menguatnya partai-partai kanan dalam beberapa tahun terakhir di Eropa. Selain Reli Nasional di Prancis, ada Alternatif untuk Jerman di Jerman dan Partai Demokrat Swedia. Di beberapa negara, mereka bahkan keluar sebagai pemenang dalam pemilihan umum. Persaudaraan Italia pimpinan Giorgia Meloni menang di Italia dan Geert Wilders dari Partai Kebebasan (PVV) menang di Belanda.
Yang paling kentara adalah hasil pemilihan umum Parlemen Eropa, lembaga legislatif Uni Eropa, pada Juni 2024. Parlemen ini terdiri atas 720 legislator, yang dipilih oleh penduduk negara anggota Uni Eropa berdasarkan daerah pemilihan, yang umumnya merupakan satu negara. Proporsi wakil setiap daerah pemilihan ditentukan oleh jumlah penduduknya dengan batas minimum 6 dan maksimum 96 wakil. Jadi, makin banyak penduduk suatu negara, makin banyak pula wakilnya. Saat ini lima negara dengan wakil terbanyak adalah Jerman (96 orang), Prancis (81), Italia (76), Spanyol (61), dan Polandia (53).
Perhatian terutama tertuju pada pergeseran suara ke kanan di dua negara terbesar Uni Eropa, Jerman dan Prancis. Di Jerman, negara dengan ekonomi ketiga terbesar di dunia, partai sentris-kiri Partai Sosial Demokrat (SPD) pimpinan Kanselir Jerman Olaf Scholz kalah telak oleh CDU/CSU, koalisi partai konservatif Persatuan Demokrat Kristen Jerman dan Uni Sosial Kristen di Bayern, dan bahkan berada di bawah partai ultra-kanan Alternatif untuk Jerman (AfD). Sementara itu, di Prancis, koalisi partai liberal Renaisans pimpinan Presiden Emmanuel Macron kalah oleh partai ultra-kanan RN pimpinan Marine Le Pen.
“Angin kanan jelas telah berembus di Parlemen Eropa,” ucap Hans Vedder, profesor hukum ekonomi di University of Groningen, Belanda, yang juga ahli hukum Eropa, kepada Tempo pada Rabu, 31 Juli 2024.
Dari 720 kursi di Parlemen Eropa, seperempatnya kini diduduki oleh partai-partai yang berhaluan kanan sampai ekstrem kanan. Mereka berhimpun dalam blok-blok politik lintas partai dan lintas negara untuk memperkuat suara. Patriot untuk Eropa (PfE), yang digagas Viktor Orbán, adalah blok terbesar yang menguasai 84 kursi. Kelompok Konservatif dan Reformis Eropa (ECR) di posisi kedua dengan 78 kursi. Kelompok terkecil adalah Bangsa-bangsa Berdaulat Eropa (ESN) dengan 25 kursi yang diisi beberapa partai, seperti AfD dari Jerman, yang bahkan dianggap terlalu radikal oleh partai-partai kanan lain. Pada 2016, AfD didepak keluar dari koalisi ECR setelah seorang anggotanya menyatakan bahwa pengungsi ilegal “boleh ditembak”.
Walau ESN berideologi paling ekstrem, menurut Vedder, Patriot adalah koalisi yang paling harus diwaspadai. “Patriot berbahaya karena perilaku kanan mereka bisa mereka anggap normal dan tidak tabu lagi,” ujarnya.
Meskipun kelompok sayap kanan menguat, kelompok sayap tengah dan liberal masih dominan. Blok politik terbesar di Parlemen Eropa sekarang adalah Kelompok Partai Rakyat Eropa (EPP), koalisi partai Kristen, liberal, dan konservatif yang memiliki 188 kursi. Kelompok kedua terbesar adalah Aliansi Progresif Sosialis dan Demokrat (S&D) dengan 136 kursi. Selain itu, EPP sudah bertahun-tahun bekerja sama dengan grup sentris kiri Eropa Diperbarui (Renew), yang tahun ini meraih 77 kursi, blok politik terbesar kelima.
Kondisi berbeda terjadi di kelompok sayap kanan. “Di antara partai-partai sayap kanan terdapat banyak perbedaan pendapat,” kata Marijn Kruk, penulis Opstand: De populistische revolte en de strijd om de ziel van het Westen, kepada Tempo. Buku itu menggambarkan perkembangan gerakan kanan di Eropa. Partai-partai utama dalam koalisi Patriot, seperti Fidesz dan RN, jelas bersimpati terhadap Presiden Rusia Vladimir Putin dalam perang Rusia-Ukraina, sedangkan kebanyakan partai ECR memihak Ukraina.
Menurut Kruk, tokoh-tokoh partai ekstrem kanan biasanya bersuara lantang dan kadang mereka didengar oleh masyarakat. Tapi, pengarang Belanda itu melanjutkan, cara ini tidak terlalu efektif dalam institusi Uni Eropa. “Menggebrak meja tidak akan mengintimidasi pejabat Uni Eropa untuk mengikuti kemauan sebuah partai tanpa dasar yang solid,” tuturnya.
Uni Eropa lahir dari puing-puing Perang Dunia II setelah Kanselir Jerman Adolf Hitler dan partai Nazi-nya yang fasis dan rasis berusaha menguasai dunia bersama sekutunya, Italia dan Jepang. Badan yang dibentuk pada 1958 dengan tujuan menjaga perdamaian dan stabilitas setelah Perang Dunia II itu semula bernama Masyarakat Ekonomi Eropa. Namun, setelah menjadi Uni Eropa pada 1993, organisasi ini berkembang pula menjadi persekutuan politik.
Banyak warga Eropa tidak sadar betapa besar peran Uni Eropa dalam kehidupan sehari-hari mereka. “Telepon yang kita pakai, makanan yang kita santap, mobil yang kita tumpangi: semua terikat oleh standar yang seragam di semua negara Uni Eropa,” ucap Hans Vedder. Begitu juga perdagangan karena hukum bea-cukai dan perbatasan perdagangan Uni Eropa berlaku di semua negara anggota. Namun, Vedder melanjutkan, peraturan Uni Eropa yang bersangkutan dengan manusia, seperti imigran dan pengungsi, lebih longgar dan memberi kemungkinan negara anggota menyesuaikan kebijakan tersebut secara domestik.
Struktur kerja dan pembentukan kebijakan Uni Eropa, kata Marijn Kruk, memang dirancang sedemikian rupa “untuk sebanyak mungkin menghindari polarisasi dan drama politik, dan diproses berdasarkan kesaksamaan dan konsensus”. Akibatnya, walaupun sayap kanan di Parlemen Eropa bertekad mengubah beberapa kebijakan, seperti soal pengungsi dan lingkungan, hal itu akan ditentang keras blok politik lain.
Pada 18 Juli 2024, Ursula von der Leyen dari koalisi EPP dipilih kembali oleh Parlemen Eropa sebagai Presiden Komisi Eropa untuk periode 2024-2029. Pertemuan Viktor Orbán dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, yang dia sebut sebagai “misi perdamaian”, juga dikritik tajam oleh anggota Parlemen Eropa.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Arus Pasang Sayap Kanan Eropa"